/3/ Kehidupan Seperti Apakah Kehidupan Sastra Itu?

Irsyad Ridho
Estafet
Published in
14 min readJan 6, 2022

Dalam bagian /3/ ini saya mau menunjukkan bahwa kehidupan sastra itu adalah tempat berlangsungnya komunikasi antar-penafsiran dari berbagai pihak yang terlibat di dalam lingkaran proses yang saya sebut sebelumnya sebagai “lembaga kepengarangan”. Kadang penafsiran dari satu pihak ditanggapi jauh lama setelahnya oleh penafsiran pihak lain, kadang bisa ditanggapi dengan segera. Kadang ditanggapi oleh sebagian pihak, kadang bisa juga oleh banyak pihak.

Pokoknya, penafsiran demi penafsiran berseliweran dan dapat saling dihubungkan untuk membangun penafsiran berikutnya yang mungkin berbeda. Tanpa penafsiran, kehidupan sastra akan terasa sunyi-senyap dan sia-sia sebab karya sastra hadir sebagai alasan manusia untuk saling berbincang dalam taraf pikiran yang lebih tinggi dan halus, yang tentu tidak menutup kemungkinan juga pada perbincangan yang simple, seperti omong-omong biasa untuk mengisi waktu nongkrong.

Untuk itu, saya akan mengambil beberapa kasus yang penting dan sudah dianggap klasik atau legendaris dalam kehidupan sastra Indonesia untuk memahami kerumitan atau seluk-beluk penafsiran yang terjadi di dalamnya.

Kredo Soetardji Calzoum Bachri: Permainan Ketiadaan Makna

Seorang pemuda kurus tapi tegap, dengan rambutnya yang ikal gondrong sebahu, terlihat awut-awutan. Kumis, cambang, dan jenggotnya juga terkesan tak terurus. Matanya nyalang, tapi juga menyimpan kedalaman. Dialah Sutardji Calzoum Bachri, yang pada awal 1973 mencanangkan sebuah kredo puisi yang mengejutkan. Dengan tegas dia menyatakan, “Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.”

Sutardji sedang membacakan puisinya. (Sumber Foto: di sini)

Sekarang, mari kita lihat bagaimana dia membebaskan kata dari pengertian. Dari kumpulan puisinya O Amuk Kapak, saya ambilkan dua buah puisinya, yang berjudul “Pot” dan “Luka”:

Nah, apa makna yang dapat kita berikan pada kedua puisi itu kira-kira?

Jika kita bertanya demikian, tentu saja itu adalah pertanyaan yang keliru. Sekali kita memberi makna pada puisi tersebut, pada saat itu pula kita telah turut membebani kata dengan pengertian, kita telah menjajah kata dengan pengertian. Mungkin ada yang tidak setuju dan membantah, “Tapi, bukankah kita perlu memberi makna pada sebuah puisi? Jika tidak, lantas untuk apa puisi itu?” Justru di situlah letak permainannya.

Sampul buku kumpulan puisi Sutardji O Amuk Kapak (Sumber Foto: goodreads)

Dengan memberi makna pada puisi Sutardji, kita tertangkap basah telah melanggar kredo puisi Sutardji itu sendiri. Di sini kita sedang dihadapkan dengan paradoks makna. Artinya, ketika kita memberi makna, kita telah melanggar kredo itu; tetapi ketika kita tidak memberi makna, kita pun tetap melanggarnya karena “tidak-memberi-makna” adalah suatu tindakan pemberian makna juga. Kita semua, sebagai para pembaca, telah terperangkap dalam penjara makna yang jalan keluarnya sudah tidak ada. Yang bisa kita lakukan hanya mengganti makna yang satu dengan makna yang lain, begitu seterusnya.

Apa boleh buat, kita sudah ditakdirkan menjadi makhluk yang memberi makna. Maka, persoalan yang perlu kita ajukan adalah: Bagaimanakah orang memberikan makna pada sesuatu? Bagaimanakah orang menafsirkan karya sastra?

“Seribu Kunang-kunang di Manhattan”: Antara Barat dan Timur?

Jane dan Marno sedang memandang ke luar jendela apartemen, menatap rembulan yang lewat.

“Bulan itu ungu, Marno.”

“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu?”

“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”

“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”

“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u!

Ayolah, bilanglah, ungu!”

“Kuning keemasan!”

“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”

Bagi Anda yang sudah mengenal dengan baik cerpen-cerpen Umar Kayam, tentu Anda tidak asing dengan percakapan Jane dan Marno di atas. Ya, ini memang saya kutip dari cerpennya yang terkenal, yaitu “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” yang terbit pada tahun 1965. Percakapan mereka hendak saya jadikan contoh untuk membahas persoalan penafsiran terhadap karya sastra.

Sampul buku kumcer Umar Kayam Seribu Kunang-kunang Di Manhattan (Tertarik? Silakan cek di sini).

Mengapa Jane berkata bahwa bulan itu ungu? Apakah pada saat itu bulannya memang pada kenyataanya ungu? Jika memang demikian, apakah dia sekadar bermaksud hendak memberitahu Marno bahwa warna bulan itu ungu, atau ada maksud lain dengan ucapannya itu? Mungkinkah Jane hanya sekadar iseng berbasi-basi dengan ucapannya itu karena sudah tidak ada bahan obrolan lain? Jadi, sebenarnya dia tidak terlalu peduli apakah warna bulan itu ungu atau bukan, yang penting ada bahan obrolan untuk memecah suasana sepi di antara mereka. Apakah demikian maksud dia sesungguhnya? Atau, ada maksud lain, misalnya, minta perhatian saja dari Marno? Kita tidak tahu pasti.

Selanjutnya, jika kita lihat jawaban Marno, yaitu “Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu?”, maka kita bisa menyimpulkan bahwa rupanya omongan tentang bulan ungu itu bukan sekali ini saja diajukan oleh Jane. Itu bisa kita simpulkan dari adanya kata “tetap” dalam jawaban Marno tersebut. Tapi, mengapa Marno tidak menyetujui saja pendapat Jane bahwa bulan itu ungu? Apakah Marno tidak mengerti bahwa Jane hanya sekadar basi-basi? Atau, Marno memang menangkap ada maksud lain dari ucapan Jane itu sehingga dia malah berbelit-belit dengan bertanya balik tentang warna lagit dan awan mendung?

Apakah pertanyaannya tentang warna langit dan mendung itu hanya sekadar menggali informasi tentang kenyataan warnanya, ataukah dia bermaksud menggoda Jane dengan mesra seperti layaknya dua kekasih yang menyatakan kemesraan mereka justru dengan cara pura-pura bertengkar? Atau, mungkinkah Marno justru tidak bermaksud menggoda Jane dengan mesra, tapi dia memang sedang tidak mood ngobrol dengan Jane? Sebenarnya Marno hanya memaksakan diri ngobrol bersama Jane sehingga ketidaksetujuan dia tentang warna bulan menunjukkan jarak yang ingin dia ambil terhadap Jane. Apakah demikian? Kita tidak tahu pasti.

Umar Kayam, sastrawan sekaligus profesor yang santai, sederhana, supel, dan kadang nakal. (Sumber Foto: di sini).

Umar Kayam, sebagai pengarang cerpen tersebut, memang tidak melengkapi percakapan kedua tokohnya itu dengan informasi tentang maksud ucapan mereka masing-masing. Kita, sebagai pembaca, hanya bisa menebak-nebak dari segala pilihan maksud yang mungkin dari ucapan-ucapan mereka, seperti yang sudah saya tawarkan sebagiannya di atas.

Dari contoh percakapan di atas, saya hanya bermaksud mengatakan bahwa dalam kehidupan pergaulan sehari-hari, kita selalu harus menebak maksud lawan bicara kita. Kadang-kadang tebakan kita tepat, tapi tidak jarang pula meleset. Jika tebakan kita tepat, percakapanpun akan terus berlangsung dengan asyik. Jika meleset, muncullah kesalahpahaman alias nggak nyambung, dan percakapan dapat berubah pelan-pelan menjadi pertengkaran yang sia-sia atau perasaan boring yang mematikan. Jadi, pemberian makna atau penafsiran dalam konteks ini dapat didefinisikan sebagai tebakan terhadap maksud yang tidak dinyatakan dalam ucapan. Ini baru pengertian awal yang umum.

Lantas, apa maksud Umar Kayam mencantumkan percakapan tentang bulan ungu itu di permulaan cerpennya?

Sekelompok pengarang muda, yaitu A.S. Laksana, Hasif Amini, dan Sitok Srengenge, berkunjung ke rumah Umar Kayam pada tahun 2002. Mereka bermaksud mewawancarai pengarang Indonesia yang sudah sepuh itu. Salah satu pertanyaan yang rupanya juga menggelitik mereka adalah apa maksud Umar Kayam mencantumkan percakapan tentang bulan ungu itu di permulaan cerpennya. Memang tidak persis seperti itu rumusan pertanyaan mereka, tapi saya kira maksudnya mirip begitu. Saya kutipkan saja tanya-jawab mereka tentang hal itu di sini.

Pertanyaan:

Dalam “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”, ada percakapan antara Jane, perempuan New York, dan Marno, lelaki Jawa, yang seringkali tidak pernah ketemu. Apakah anda bermaksud bicara soal perbedaan cara pandang Timur dan Barat, misalnya, yang diwakili oleh perbedaan antara Jane dan Marno dalam memahami warna bulan dan sebagainya?

Jawaban:

Boleh saja kalau mau diartikan demikian. Saya sekadar mau cerita tentang kesedihan, keterasingan orang di lingkungan yang lain. Marno mewakili suatu lingkungan lain di New York, dan Jane seorang bule New York. Perempuan itu, meskipun sudah cerai, referensinya masih tetap bekas suaminya. Itu nulisnya susah payah betul. Menggambarkan orang kesepian, membayangkan kesedihan di New York, caranya bagaimana? Saya kemudian memotret diri saya sendiri. Membayangkan orang asing kesepian di New York, ya akhirnya saya menengok kehidupan saya dengan istri saya. Ngapain saya ini, sekolah kok jauh-jauh.

Wawancara dengan Umar Kayam dimuat dalam jurnal Prosa Edisi 1 (Jakarta: Metafor, 2002).

Tampaknya tebakan si penanya agak meleset. Mereka mengira bahwa maksud Umar Kayam dengan cerpennya itu adalah ingin menggambarkan perbedaan cara pandang Timur dan Barat. Meskipun Umar Kayam tidak menyalahkan tebakan mereka, tapi dia sebenarnya punya maksud tersendiri, yaitu “sekadar mau cerita tentang kesedihan, keterasingan orang di lingkungan yang lain”. Jika demikian, apakah tebakan si penanya itu sia-sia belaka? Saya kira, di sinilah letak uniknya karya sastra. Meskipun tebakan makna yang diajukan oleh si penanya itu tidak sama dengan yang dimaksudkan si pengarang, justru kemelesetan itu telah membuka kemungkinan makna yang lain. Karya sastra memang menghendaki terbukanya kemungkinan makna.

Istilah “Permainan Tentang” ini dikemukakan oleh Jonathan Culler dalam buku ini. Silakan lihat di sini.

Seorang ahli sastra terkemuka dari Inggris, Jonathan Culler, menyebut hal ini sebagai “Permainan Tentang”. Dalam hal ini, maksudnya adalah meskipun si pengarang mengatakan bahwa karyanya TENTANG kesedihan dan keterasingan, bukan berarti si pembaca tidak boleh mengartikannya dengan cara lain, yaitu TENTANG perbedaan cara pandang Timur dan Barat. Terbukanya kemungkinan makna yang lain itu justru akan mendorong dan memberi kesempatan bagi berkembangnya tingkat pertukaran pemikiran dan pergaulan yang lebih maju dan sehat dalam masyarakat.

Tapi, bagaimana jika “Permainan Tentang” itu justru menimbulkan pertikaian yang berbahaya?

Mengadili H.B. Jassin, Mengadili Imajinasi

Pada tahun 1968 majalah Sastra yang dipimpin oleh H.B. Jassin, kritikus kawakan sastra Indonesia, memuat cerpen yang berjudul “Langit Makin Mendung” yang dikarang oleh seseorang yang hanya dicantumkan nama samarannya: Kipandjikusmin. Cerpen tersebut kemudian mendapat tanggapan ramai di surat kabar. Dalam waktu yang cukup panjang mereka mengadakan polemik di surat kabar mengenai cerpen itu. H.B. Jassin sendiri juga ikut berpartisipasi dalam polemik tersebut.

Secara garis besar, mereka terbagi dalam dua kutub, yaitu pihak yang memandang bahwa cerpen tersebut telah bermaksud menghina agama Islam dan pihak yang berpendapat bahwa cerpen tersebut justru bermaksud mengingatkan orang agar kembali menjalankan Islam dengan benar. Masalahnya rupanya berpusat pada bentuk cerpen ini yang mempersonifikasikan Tuhan, Jibril, dan Nabi Muhammad dengan cara yang satir karikatural. Polemik yang produktif itu kemudian berubah menjadi serangan politis, pelarangan majalah Sastra, dan tuntutan hukum terhadap H.B. Jassin pada tahun 1970, yang saat itu tetap pada komitmen moralnya untuk tidak mengungkapkan identitas Kipandjikusmin yang sebenarnya di hadapan pengadilan. Dalam pembelaan dirinya, H.B. Jassin menyatakan bahwa personifikasi Tuhan di dalam cerpen itu tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang real, melainkan itu harus dilihat sebagai bagian dari dunia fiksi, dunia imajinasi, yang mempunyai kaidah logikanya sendiri.

HB Jassin di hadapan pengadilan pada tahun 1970. (Sumber Foto: di sini)

Dari peristiwa ini kita bisa menyimpulkan bahwa tindakan pemberian makna terhadap karya sastra pada dasarnya dipengaruhi oleh sejauh mana seorang pembaca memahami kode-kode fiksional yang mendasari bentuk karya tersebut, yang dalam kasus ini adalah personifikasi Tuhan, Malaikat, dan Nabi dengan cara satir karikatural. Perbedaan dalam memahami kode-kode tersebut dengan sendirinya akan menghasilkan perbedaan dalam pemberian makna.

Polemik cerpen “Langit Makin Mendung” itu dikumpulkan dalam buku ini: Muhidin M. Dahlan dan Mujib Hermani (Editor), Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin (Jakarta: Melibas, 2004).

Kode-kode tersebut seringkali cukup rumit, seperti yang terlihat pada puisi Sutardji yang telah kita bicarakan di bagian terdahulu. Dalam kasus puisi Sutardji, yang terjadi justru adalah pembaharuan kode. Sutardji sengaja menentang konvensi penciptaan dan pemaknaan puisi yang berlaku sebelumnya dan berusaha menawarkan konvensi atau kode-kode fiksional yang baru yang harus dipecahkan maknanya oleh komunitas pengarang dan kritikus/ahli sastra itu sendiri. Dalam sejarahnya, komunitas ini memang menjunjung tinggi sikap kebaruan terus-menerus yang menjiwai kemerdekaan kreativitas. H.B. Jassin juga berada dalam komunitas ini sehingga keputusannya untuk memuat cerpen “Langit Makin Mendung” itu dapat dipandang sebagai bagian dari penghargaannya terhadap kemerdekaan kreativitas.

Namun, tidak semua kalangan dalam masyarakat memiliki sikap hidup seperti itu. Sebagian kalangan memilih untuk mempertahankan apa yang mereka anggap sebagai konvensi luhur dalam kehidupan mereka, yang tidak boleh berubah. Dalam hal ini, personifikasi satir karikatural ala cerpen “Langit Makin Mendung” tampaknya telah dipandang melanggar konvensi tersebut, yaitu konvensi untuk tetap menggambarkan Tuhan, Malaikat, dan Nabi dengan cara yang agung.

Perbedaan dua kelompok di atas dapat dianalogikan dengan cerita anekdot ini. Ada seorang mahasiswi saya dari Slovakia yang sedang mengikuti program pertukaran pelajar di Indonesia. Dia memilih Jakarta untuk tempat belajarnya. Selama di Jakarta, dia mulai menyadari bahwa persoalan berat yang harus dia hadapi adalah makanan di kota ini ternyata terlalu pedas baginya. Maka, ketika suatu kali dia memesan nasi goreng yang lewat dan tukang nasi goreng itu bertanya, “Pedas nggak, Neng?”, dia langsung menjawab dengan tegas, “Nggak pedas!” Tetapi, ketika dia makan, nasi goreng itu ternyata tetap terasa pedas. Tentu saja dia protes.

“Saya ‘kan sudah bilang nggak pedas, tapi mengapa masih pedas juga?”

“Lho, itu memang sudah nggak pedas, Neng.”

“Tapi ini tetap pedas!”

“Wah, kalo begitu ya nggak usah dikasih cabe dong, Neng.”

“Ya, memang. Saya tidak mau ada cabe!”

“Oh, bilang dong dari tadi.”

“Tadi ‘kan saya sudah bilang!”

“Tadi Neng bilangnya nggak pedas, bukannya nggak pake cabe.”

Dengan agak bersungut-sungut si tukang nasi goreng akhirnya membuatkan nasi goreng baru sesuai dengan permintaan si mahasiswi. Sementara itu, si mahasiswi menyadari sudah ada kesalahpahaman sehingga dia merasa tidak enak hati karena sudah marah-marah. Ketika dia kemudian bermaksud membayar seharga dua porsi nasi goreng, si tukang nasi goreng ternyata hanya memintanya membayar satu porsi nasi goreng. Sejak itulah si mahasiswi menjadi pelanggan berat nasi gorengnya.

Tukang nasi goreng sedang beraksi. (Sumber Foto: di sini)

Sebagai orang Indonesia, Anda tentu bisa memahami apa artinya “nggak pedas” dalam situasi tersebut. Pada umumnya orang Indonesia, tidak mungkin tidak makan dengan bumbu cabe. Hanya ukuran pedasnya saja yang berbeda-beda. Tapi, bagi orang dari budaya yang berbeda, seperti Slovakia yang sangat tidak terbiasa makan pedas, ungkapan “nggak pedas” akan mereka pahami secara harfiah sebagai memang “nggak pake cabe”. Di sinilah letak kesalahpahaman si mahasiswi dan si tukang nasi goreng. Kedua belah pihak tidak saling memahami bawaan budaya masing-masing yang dapat mempengaruhi makna dari ungkapan “nggak pedas”.

Demikianlah pula yang terjadi dengan pro-kontra cerpen “Langit Makin Mendung”. Kedua pihak membawa konvensi budayanya masing-masing dalam memahami ungkapan personifikasi yang satir karikatural dalam cerpen tersebut, yaitu sebagai penghinaan terhadap agama Islam, di satu pihak, dan sebagai ajakan untuk menjalankan agama Islam dengan baik, di pihak lain.

Suwarsih Djojopuspito dan Amir Hamzah: Identitas yang Ambigu

Bandung, 1935. Sulastri sangat kecewa dan sedih karena karangannya ditolak oleh penerbit Balai Pustaka. Dia tidak mengerti mengapa mereka menolak karangannya yang sudah dia karang sangat bersungguh-sungguh. Dia merasa terpukul dan mengira dirinya begitu bodoh.

Suaminya, Sudarmo, menganggap istrinya terlalu berlebihan. Menurut Sudarmo, seharusnya Sulastri tidak perlu terlalu kecewa dan larut dalam kesedihan karena penilaian redaktur Balai Pustaka bukan segala-galanya dan lagipula para redaktur itu tidak mengerti pembaharuan sastra yang telah ditawarkan istrinya. Tapi, bagi Sulastri, masalahnya rupanya lebih dari itu. Yang lebih menyakitkan adalah bahwa dia harus berpisah dari bahasanya sendiri, yaitu bahasa Sunda. Itu artinya dia harus mengarang dalam bahasa Belanda, bahasa kaum terpelajar pada masa itu.

“Dar, inilah titik peralihan dalam hidupku. Aku telah berpisah dengan bahasa Sunda,” katanya pada suaminya.

“Tulislah dalam bahasa apa pun juga. Bahasa Sunda paling-paling tinggal sebagai bahasa daerah saja. Dan juga, yang penting bukan bahasanya, tetapi apa yang kau ingin katakan,” sahut suaminya menyemangati.

Sulastri mulai mendapatkan lagi dorongan tekadnya berkarya. Dia menyadari bahwa meskipun dia akan menulis dalam bahasa Belanda, dia akan menulis tentang pengalaman hidupnya, yaitu pengalaman menjadi manusia yang merdeka, manusia Indonesia.

Sulastri bukanlah tokoh nyata, dia adalah tokoh fiksi dalam novel Buiten het Gareel (Di Luar Jalur) karangan Suwarsih Djojopuspito yang terbit pada 1940 di Belanda. Novel ini memang ditulis dalam bahasa Belanda, tetapi menceritakan pengalaman manusia baru, manusia Indonesia, pada era 1930an. Di tengah tekanan pemerintah Belanda yang kian meningkat terhadap pergerakan nasional Indonesia, beberapa intelektual muda, termasuk Sulastri dan suaminya, gigih mendirikan sekolah untuk kaum pribumi agar gagasan dan semangat pergerakan nasional tetap menyala. Pengalaman guru-guru muda itu terpapar dalam Buiten het Gareel yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1975 menjadi Manusia Bebas.

Suwarsih dan novelnya Manusia Bebas (Sunmber Foto: di sini)

Saya sengaja mengambil kutipan percakapan Sulastri dan Sudarmo dari novel tersebut untuk membahas persoalan: apa itu budaya? Pertama-tama, budaya adalah bahasa. Bahasa yang dimaksud di sini adalah segala rekaman pikiran, perasaan, dan pengalaman orang-orang dalam sebuah masyarakat tertentu. Bahasa di sini tidaklah hanya mencakup apa yang tertulis, tetapi juga yang dilisankan.

Namun, tidak hanya itu, kita juga bisa melihat perwujudan bahasa dalam berbagai benda-benda yang digunakan orang dalam kehidupan sehari-hari mereka: pakaian, perhiasan, makanan, tempat tinggal, kendaraan, peralatan, dan sebagainya. Benda-benda itu punya daya untuk menyatakan siapa dan bagaimana mereka hidup. Semua itu bukan semata-mata benda, tetapi benda yang memberi makna kepada mereka dan diberi makna oleh mereka. Karena itu, benda-benda itu telah menjadi bahasa.

Ketika Sulastri memutuskan untuk mengarang dalam bahasa Belanda dan tidak lagi dalam bahasa Sunda, dia merasa bahwa titik peralihan dalam hidupnya telah terjadi. Artinya, dia akan memasuki budaya baru yang membuat dia berpikir dengan cara baru, yaitu cara yang ditentukan bahasa baru tersebut. Tetapi, apakah secara otomatis dia berubah menjadi orang Belanda?

Persoalannya tidak sesederhana itu. Kebelandaan tidak hanya ditentukan oleh bahasa lisan atau tulisan, tetapi juga oleh keseluruhan benda-benda yang membentuk identitas sebagai orang Belanda. Salah satu ‘benda’ pentingnya dalam konteks ini adalah warna kulit tubuh. Dalam konteks kolonial Belanda di Indonesia, perbedaan kulit atau perbedaan ras sangat menentukan tinggi-rendahnya kedudukan atau status sosial seseorang di dalam masyarakat. Jadi, kulit telah menjadi bahasa karena telah diberi makna, yaitu sebagai penanda hierarki sosial. Dengan kata lain, hierarki ras adalah bagian dari kebudayaan kolonial.

Sulastri mustahil menjadi Belanda, meskipun bisa berbahasa Belanda karena tubuh dan pengalamannya berada dalam posisi orang terjajah. Di lain sisi, karena Sulastri adalah pihak terjajah dan ras yang dianggap rendah (pribumi Sunda) dalam budaya kolonial, maka perpindahannya ke bahasa Belanda membuat dia mampu memahami alam pikiran penjajahnya. Di sinilah, dia mengalami lompatan kesadaran, yaitu ia tidak lagi menjadi pihak terjajah dan bukan pula penjajah, tapi sepenuhnya ia memahami keduanya. Dia menjadi manusia baru: manusia merdeka, manusia yang bebas. Terbentuklah sebuah identitas baru. Identitas yang dia maksud tatkala berkata kepada suaminya, “Dar, inilah titik peralihan dalam hidupku.”

Nah, novel yang dia karang — merekam pikiran, perasaan, dan pengalaman manusia baru — merupakan salah satu benda kebudayaan dari masyarakat baru yang sedang dibangun oleh manusia yang bebas tersebut. Kerena itu, selain berarti bahasa, budaya juga adalah identitas. Dalam pengalaman Sulastri — dan tentu saja Suwarsih, pengarangnya — identitas itu tidaklah stabil atau ajeg, identitas barunya selalu berada dalam ketegangan dengan identitas ke-Sunda-an dan ke-Belanda-an yang melingkupi dirinya pada saat itu.

Kebanyakan para cendekia muda Indonesia awal abad ke-20 mengalami hal serupa. Mereka bergelut dengan identitas kedaerahan mereka yang feodal, di satu sisi, dan identitas ke-Belanda-an yang kolonial, di sisi lain. Amir Hamzah, salah satu penyair yang menamakan diri Pujangga Baru, mengungkapkan dalam sebagian bait puisinya berjudul Gema tentang betapa perihnya menghidupi identitas baru itu:

Hancur badanku

Zahir badanku

dari gelombang dua berimbang

akulah buih dicampakkan tepuk

akulah titik rampatan mega

suara sunyi di rimba raya

Akulah gema tiada berupa

Jauh sebelumnya, Kartini juga telah merasakan kepedihan yang sama. Dalam salah satu suratnya tertanggal 13 Januari 1900, dia mengumpamakan kepedihan atas identitas baru itu melalui Ginonjing, salah satu komposisi gamelan Jawa:

Aku mendengarkan Ginonjing ribuan kali tapi tak ada satupun bunyi yang bisa kutirukan. Sekarang suara gamelan itu sudah berlabuh, aku juga tak bisa mengingat satu suara pun, semuanya hilang dari ingatanku; rintihan suara yang menyayat hatiku itu di saat yang sama terdengar sangat melankolis. Aku tidak bisa mendengarkan Ginonjing tanpa turut hanyut bersamanya. Aku hanya butuh mendengar musik awalnya saja lalu aku akan langsung terbuai dalam pesonanya. Aku tak ingin mendengar lagu yang menyedihkan itu tapi ternyata, aku harus, aku harus, aku harus mendengar getarannya yang bercerita tentang masa silam dan masa datang, seolah suara itu adalah getar napas gamelan yang berhembus menyingkap tirai penutup masa depanku. Dan seperti cerahnya hari, angan masa depanku sudah hilang sebelum benak mataku. Menggigil sendi tulangku, melihat sosok gelap yang bangkit di depanku. Aku tidak mau melihat tapi mataku tetap terbelalak dan, di hadapan kakiku ternganga jurang dalam yang membuatku pening; tapi, jika aku tengadahkan kepalaku, terbentanglah bentaran langit biru di atasku dan sinar emas sang surya yang membuai kapas awan putih dan terbitlah cahaya dalam hatiku sekali lagi!

Amir Hamzah dan Kartini (Sumber Foto: di sini dan di sini)

Identitas diri pada dasarnya memang tidak bisa kita klaim begitu saja secara sepihak karena dalam kehidupan sosial terdapat kehadiran identitas yang lain. Jika identitas yang lain itu lebih mendominasi dan menekan identitas diri kita, maka beridentitas menjadi sesuatu yang tidak mudah. Identitas diri akan terus-menerus berada dalam ketegangan antara penerimaan dan pengabaian dari pihak identitas yang lain. Demikianlah posisi identitas dalam kebudayaan. Dalam konteks para cendekia muda di awal pergerakan nasional Indonesia, identitas diri baru yang masih belia sudah langsung berhadapan dengan tarikan dominasi identitas feodal dan kolonial. Kartini telah menegaskan jauh-jauh hari bahwa “siapapun yang terpilih oleh nasib menjadi ibu rohani untuk melahirkan ‘yang baru’ harus menanggung derita.”

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Dosen. Naratolog. Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.