Grup Penghuni Kompleks, Tukang Nasi Uduk, dan Mr. Cepek

Tentang definisi cerita menurut naratologi struktural.

Irsyad Ridho
Estafet
7 min readOct 17, 2022

--

Apa itu cerita? Ini pertanyaan yang susah-susah gampang. Sebab, semua orang tampaknya sudah tahu saja apa itu cerita. Sebuah definisi hanya akan bikin repot. Tapi, apalah artinya menjadi akademisi cerita kalau tidak bikin repot. Jadi, inilah definisinya.

1. LINGKARAN LUAR DAN LINGKARAN DALAM

Setelah perdebatan panjang selama bertahun-tahun, konon para ahli kajian cerita (khususnya para ahli naratologi dalam perspektif teori struktural) sampai pada kesepakatan bahwa cerita adalah rangkaian peristiwa. Susah-susah berdebat, ujung-ujungnya sesimpel itu. Eit, nanti dulu. Itu masih keliru. Cerita itu bukanlah rangkaian peristiwa, tetapi penuturan rangkaian peristiwa. Jadi, ada dua makhluk di sini: penuturan plus rangkaian peristiwa. Sepertinya definisi ini sudah mulai terasa seperti pikiran orang kuliahan, ‘kan?

Bayangkan ada kecelakaan motor di pertigaan Jalan Rawamangun Muka Barat, persis di samping tembok lapangan golf legendaris itu. Untungnya, tidak ada korban jiwa, cuma lecet-lecet sedikit. Masing-masing pengendara motor yang nahas itu digotong oleh warga sekitar yang melihat kejadian. Setelah diberi minum air putih dan teh manis, keduanya tampak sudah siap membelah jalanan Jakarta kembali, takut terlambat sampai di tempat kerja. Kini, tinggallah warga Rawamangun yang kelihatan masih antusias. Mereka duduk-duduk di warung pinggir jalan dan berbalas cerita tentang peristiwa barusan.

Peta Lokasi TKP (di sini)

Peristiwa kecelakaannya sendiri sudah lewat dan kini tinggallah penuturannya saja. Itulah cerita: penuturan rangkaian peristiwa. Jadi, ketika kita mendengar atau membaca sebuah cerita, jangan terjebak hanya pada rangkaian peristiwanya yang seru, tetapi sadari juga bahwa keseruan itu justru terasa karena cara penuturannya. Sayangnya, karena rangkaian peristiwa dan cara penuturannya itu terucapkan begitu saja ketika orang bercerita dan kita juga mendengarkan atau membacanya begitu saja kalimat demi kalimat, kita seringkali tidak menyadari lagi bahwa kedua dimensi itu sebenarnya bisa dipisahkan. Di sinilah kita perlu melakukan analisis, memisahkan apa yang sebenarnya bisa dipisahkan, mengupas kulit di permukaan untuk sampai ke lapisan di bagian dalam. Namun, jangan dibayangkan seperti buah duren. Di sini lapisan luar dan dalamnya sama-sama penting, sama-sama enak.

Jadi, bayangkanlah cerita itu seperti struktur melingkar yang terdiri dari lingkaran dalam dan lingkaran luar. Lingkaran dalam berisi rangkaian peristiwa, sedangkan lingkaran luar merupakan penuturannya. Kalau mau menggunakan istilah teknis yang digunakan oleh para ahli kajian cerita, lingkaran luar yang merupakan penuturan itu mereka sebut TATARAN PENCERITAAN, sedangkan lingkaran dalam yang berisi rangkaian peristiwa itu mereka sebut TATARAN RIWAYAT. Sebenarnya mereka menawarkan macam-macam istilah teknis yang maksudnya sebenarnya kurang-lebih sama saja. Jadi, tidak perlulah kita bikin panjang-lebar di sini. Yang penting, mereka maunya seperti bagan ini:

Bagan tentang Struktur Cerita

2. LINGKARAN DALAM

Kita kembali saja ke contoh peristiwa kecelakaan sepeda motor di pertigaan itu. Peristiwa tabrakannya itu sendiri pasti didahului oleh peristiwa sebelumnya, entah apa. Peristiwa setelah tabrakan merupakan peristiwa tersendiri pula. Jadi, setidaknya ada tiga peristiwa yang terangkai menjadi satu.

Bagan tentang Lingkaran Dalam dari Struktur Cerita

Namanya juga makhluk yang telanjur punya akal, biasanya kita akan mencari hubungan sebab-akibat yang logis antara tabrakan itu sendiri dengan apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya. Maka, kita punya formula rangkaian waktu yang sudah standar di seluruh dunia, yaitu awal-tengah-akhir. Semua cerita yang dibuat manusia mana pun pada dasarnya mengikuti formula ini.

“Untungnya, mereka selamat. Pasti mereka sudah berdoa sebelum berangkat kerja. Jadi, tabrakannya nggak fatal.”

Begitu salah satu komentar dari seorang penghuni kompleks perumahan yang kebetulan lewat hendak sarapan di pertigaan itu. Komentar singkat ini terdiri dari 3 kalimat yang sebenarnya mengandung 3 rangkaian peristiwa dalam rangkaian waktu awal-tengah-akhir. Analisisnya begini:

“Sebenarnya tadi itu motor yang hitam banting stir mau menghindari mobil di depannya yang ngerem mendadak di pertigaan. Sementara, motor yang merah datang dari samping nggak lihat. Nah, braaak! Untungnya, mereka nggak ngebut. Kalau ngebut, tabrakannya bisa fatal tuh.”

Seorang penjual nasi uduk yang biasa mangkal di pinggir jalan Rawamangun itu ikut berkomentar. Komentarnya bisa dianalisis begini:

Mr. Cepek yang memang tepat berada di tengah-tengah TKP alias pertigaan itu tak mau ketinggalan ikut memberi komentar.

“Mereka sih dua-duanya berdoa sebelum berangkat kerja, tapi yang nyetir mobil kayaknya lupa berdoa. Hehe… Jadinya, dia malah bikin orang tabrakan. Hehe… Lumayan sakit tuh motor yang merah. Paling nggak, biaya urut mah bakal keluar dah tuh. Di Jakarta mah ngebut nggak ngebut lu tetap celaka. Hehe…”

Komentarnya bisa dianalisis begini:

Jika ketiga macam komentar itu dibuatkan bagannya, kira-kira akan tampak seperti ini:

Bagan tentang Lingkaran Dalam dari Struktur Tiga Cerita

3. LINGKARAN LUAR

Setelah dijejerkan begitu, bisa kelihatan ‘kan cara penuturan yang berbeda dari ketiga warga itu? Masing-masing penutur memilih peristiwa awal dan akhir yang berbeda untuk dirangkaikan pada peristiwa tengah yang sama.

Cara penuturan mereka juga sekaligus menggambarkan sikap atau sudut pandang mereka dalam memaknai peristiwa tabrakan itu. Coba kita cek kata-kata mereka satu per satu.

Si penghuni kompleks itu menggunakan kata “untungnya”. Artinya, dia menilai bahwa meskipun kedua pengendara motor itu telah mengalami tabrakan, tetapi mereka tetap beruntung karena selamat. Dan, keselamatan mereka itu disebabkan oleh doa mereka. Si penutur di sini sudah menggunakan kata “pasti” ketika mengatakan “Pasti mereka sudah berdoa…” karena dia sudah merasa yakin bahwa keselamatan mereka disebabkan oleh doa. Mari kita sebut sudut pandang seperti ini sebagai sudut pandang NORMATIF sebab si penutur sudah lebih dulu menganggap bahwa doa SEHARUSNYA membawa keselamatan, terlepas dari apa pun faktor empiris yang menjadi penyebab keselamatan si korban.

Si penjual nasi uduk justru memilih untuk mempertimbangkan bukti empiris sebagai faktor penyebab keselamatan kedua pengendara motor itu, yaitu tidak mengebut. Karena tidak mengebut, pengendara motor yang satu masih bisa menghindari mobil yang mengerem mendadak meski tetap menabrak motor yang lain. Meski tertabrak karena kurang awas, pengendara motor yang lain itu tetap selamat sebab dia tidak mengebut. Ini semua adalah bukti empiris yang dia lihat. Meskipun berbeda alasan, sikap akhir si penjual nasi uduk ini sebenarnya sama dengan sikap si warga kompleks, yaitu sama-sama menilai kedua pengendara motor sebagai orang yang beruntung. Mereka sama-sama menggunakan kata “untungnya”. Mari kita sebut sudut pandang si penjual nasi uduk ini sebagai sudut pandang EMPIRIS sebab dia menganggap bahwa faktor empirislah yang menjadi penyebab keselamatan si korban. Lagipula, dia juga tidak tahu pasti apakah si pengendara motor itu berdoa atau tidak.

Si Mr. Cepek menawarkan sudut pandang yang berbeda dari kedua penutur tersebut. Penutur ketiga ini agak rumit. Dia tidak menolak sepenuhnya sudut pandang kedua penutur sebelumnya, malah menyalinnya kembali dalam tuturannya. “Mereka sih dua-duanya berdoa sebelum berangkat kerja…,” begitu katanya. Kalimat ini sebenarnya kurang-lebih menyalin kembali kalimat dari si penghuni kompleks. Namun, dia kemudian menambahkan kalimat lain yang mengejutkan yang tidak diperhitungkan oleh kedua penutur sebelumnya, yaitu faktor si pengendara mobil: “… tapi, yang nyetir mobil kayaknya lupa berdoa. Hehe…”.

Mr. Cepek di pertigaan golf Rawamangun Muka Barat atawa The Meaningful Useless (dicomot tanpa izin dari sini.)

Kalimat tambahan ini dia sertai pula dengan suara tertawa dan pilihan kata “kayaknya” yang sebenarnya berfungsi untuk membedakan diri dengan pilihan kata “pasti” yang sebelumnya digunakan oleh si penghuni kompleks. Dia ingin bilang di sini bahwa sebenarnya kita tidak bisa memastikan apakah si pengendara mobil maupun si pengendara motor itu berdoa atau tidak sebelumnya. Karena itu, dia tertawa untuk menyindir kepastian normatif dari sikap si penutur sebelumnya. Di sini si Mr. Cepek sebenarnya sudah membuat guyonan atau candaan yang parodis.

Selain itu, si Mr. Cepek juga membedakan diri dengan sikap kedua penutur sebelumnya dalam hal keselamatan. Bagi si Mr. Cepek, jalanan di Jakarta itu pada dasarnya keos, sebuah kekacauan yang membuat orang-orang di jalanan itu tetap berada di bawah bayang-bayang kecelakaan. Celaka tetap saja celaka, sedikit atau banyak. Tidak perlu dimanis-maniskan sebagai keberuntungan. Begitu kira-kira sudut pandang si Mr. Cepek. “Di Jakarta mah ngebut nggak ngebut lu tetap celaka,” ujarnya sambil tertawa. Di sini kelihatan dia memparodikan sudut pandang empiris dari si tukang nasi uduk. Maka, mari kita sebut saja sudut pandang Mr. Cepek ini sebagai sudut pandang PARODI. Dia tidak menolak sepenuhnya sudut pandang kedua penutur sebelumnya, tetapi dia mempermainkannya melalui sikap kritis yang berjarak untuk memperlihatkan keterbatasan dari kedua penuturan tersebut. Silakan berdoa dan silakan tidak mengebut, tetapi celaka tetap celaka.

Nah, itulah cerita: penuturan rangkaian peristiwa. Dengan esai ini, saya sudah menunaikan tugas untuk memperumit sesuatu yang sebenarnya sederhana. Sebab, semua orang sudah tahu saja apa itu cerita, jadi tidak perlu dibuatkan definisi segala. Dibikin gampang saja. Gitu aja kok repot. ✌️

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Dosen. Naratolog. Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.