Hasrat dalam ^Saman^

Irsyad Ridho
Estafet
Published in
11 min readDec 23, 2021

Dalam sudut pandang teori psikoanalisis, hasrat tidak sama dengan insting meskipun keduanya berkaitan. Kemunculan hasrat dalam perkembangan jiwa manusia merupakan titik awal yang menentukan bagi perbedaan mendasar antara dunia manusia dan dunia hewan. Dalam dunia hewan, insting merupakan dorongan untuk hidup dan berkembang-biak dalam batas-batas alamiah yang bersifat tetap. Misalnya, insting seksual seekor kucing hanya muncul sebagai bagian dari dorongan alamiah untuk berkembang-biak.

Dalam dunia manusia, insting seksual itu diubah menjadi hasrat seksual melalui proses kebudayaan sehingga tidak selalu muncul untuk kepentingan perkembang-biakan semata, tetapi juga untuk tujuan-tujuan lain sesuai dengan perubahan dan keragaman kebudayaan masyarakat manusia itu sendiri. Misalnya, untuk tujuan ekonomi (seperti dalam kasus bisnis prostitusi dan industri pornografi), tujuan politik diskriminasi (seperti dalam kasus pemerkosaan massal), tujuan keagamaan (seperti dalam kasus pernikahan yang disahkan melalui hukum agama), tujuan mistik (seperti dalam kasus hubungan seksual sebagai syarat mendapatkan kekayaan atau kekuatan secara gaib), tujuan ilmiah (seperti dalam kasus hubungan seksual sebagai eksperimen di bidang medis), tujuan kenikmatan seksual semata (seperti dalam kasus masturbasi), dan sebagainya. Tujuan-tujuan lain ini kemudian turut membentuk cara manusia mengalami dan memaknai dorongan seksual dalam konteks sosial-historisnya. Dengan kata lain, dalam dunia manusia, hasrat tidak bisa dilepaskan dari historisitas kebudayaan.

Hubungan hasrat dan historisitas itu dapat kita telusuri melalui kajian terhadap pengarang dan karyanya. Dalam hal ini, psikoanalisis berpandangan bahwa karya sastra merupakan mimpi dengan mata terbuka, yang berarti bahwa karya sastra pada dasarnya merupakan pemenuhan hasrat ketaksadaran secara tersembunyi sekaligus kreatif. Penciptaan karya sastra sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan kebudayaan di dalam kehidupan masyarakat di pelbagai negara di dunia ini. Karya sastra sudah diakui dan diterima sebagai hasil dari proses kreatif yang mencerminkan tingkat peradaban dari sebuah masyarakat. Karena itu, melalui karya sastra, pemenuhan hasrat manusiawi diwujudkan dengan strategi estetis tertentu yang dapat diterima sebagai bagian dari pengembangan kesenian dan kebudayaan.

Sigmund Freud, “Pengarang Kreatif atau Pelamun” dalam Toeti Heraty (Editor), Hidup Matinya Sang Pengarang (Jakarta: Yayasan Obor, 2000). Freud menerapkan teorinya tentang proses kreatif itu dalam kajiannya tentang seniman besar Italia dalam bukunya yang berjudul Leonardo da Vinci: A Memory of His Childhood, Edisi Indonesia (Yogyakarta: Immortal dan Octopus, 2018).

Dalam esai ini, saya berupaya untuk memperlihatkan bagaimana hasrat terwujud melalui strategi estetis tertentu yang digunakan oleh pengarang novel Saman, yaitu Ayu Utami, dalam proses kreatifnya menciptakan novel tersebut.

Konteks Historis Kemunculan ^Saman^

Novel Saman terbit pertama kali pada tahun 1998 setelah dinyatakan sebagai pemenang pertama dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta pada tahun yang sama. Tahun 1998 adalah masa yang sangat genting dalam sejarah Indonesia, yaitu tumbangnya rezim Orde Baru setelah dihantam oleh krisis moneter yang parah dan dilawan oleh gerakan rakyat yang dimotori oleh mahasiswa. Novel Saman mengangkat konteks politik ini dengan menghadirkan tokoh Wisanggeni, seorang pastur yang kemudian keluar dari kepasturan untuk menjadi aktivis yang melibatkan diri dalam gerakan rakyat melawan Orde Baru.

Sebagai penganut Katholik dan jurnalis bawah tanah pada era itu, Ayu Utami memahami problem gereja Katholik dan kebobrokan rezim Orde Baru. Ayu mengkritik kedua lembaga kekuasaan itu dalam novelnya dengan cara menghidupkan dilema batin tokoh Wisanggeni dalam tahap-tahap perkembangan hidupnya sebagai pastur dan aktivis. Strategi estetis yang dia gunakan untuk menghidupkan dilema psikis tokoh ini adalah dengan mendobrak norma seksualitas yang berlaku dalam masyarakat heteroseks dan patriarki. Perpindahan dari sikap selibat seorang pastur menuju pengalaman seksual luar-nikah dari tokoh Wisanggeni diungkapkan dengan cara yang terus-terang sebagai perlawanan terhadap dominasi nilai-nilai patriarki dalam gereja Katholik. Pada sisi lain, pengalaman traumatis dalam penyiksaan militer Orde Baru memicu Wisanggeni untuk melepaskan diri dari kepasturan dan menempuh jalan spiritualitas baru.

Permainan Hasrat Falosentris: Ambivalensi dan Metafora

Kedua konteks historis itulah yang membentuk plot cerita novel Saman. Mengapa pengarang novel ini memilih strategi estetis seperti itu? Sejauh mana pilihan itu merupakan pilihan yang disadari? Apakah ketidaksadaran punya andil dalam hal ini? Esai ini berasumsi bahwa ada hasrat ketaksadaran yang turut beroperasi dalam strategi estetis novel ini, terutama yang menyangkut seksualitas dalam konteks historis novel ini. Untuk membuktikan hal ini, esai ini menganalisis data dari novel Saman itu sendiri beserta data dari tulisan Ayu Utami yang berjudul “Membantah Mantra, Membantah Subjek” yang berisi penjelasan tentang sikap kreatifnya dalam penciptaan novel Saman. Selain itu, esai ini juga menggunakan hasil kajian dari Katrin Bandel tentang novel Saman. Karena itu, saya mulai saja dari hasil kajian Katrin Bandel yang kemudian akan saya tafsir ulang dari sudut pandang psikoanalisis.

Ayu Utami, “Membantah Mantra, Membantah Subjek” dalam Jurnal Kalam, Edisi 12–1998, hlm. 116–124.

Dalam kajiannya atas novel Saman, Katrin Bandel memperlihatkan bahwa strategi pengungkapan seksualitas dalam novel tersebut bersifat ambivalen. Pada satu sisi, novel ini mengungkapkan sikap seksualitas yang hendak melawan norma seksualitas yang dominan, yaitu norma heteroseks dan patriarki. Namun, pada sisi lain, norma heteroseks dan patriarki itulah yang justru dipatuhi oleh novel ini. Katrin berasumsi bahwa ambivalensi ini tidak sepenuhnya disadari oleh Ayu Utami. Katrin menyayangkan hal ini sehingga dia menyimpulkan bahwa:

Saya tidak menemukan indikasi bahwa ambivalensi dalam representasi seksualitas di novel Saman/Larung merupakan ambivalensi yang disadari. Karena itu, mungkin lebih tepat kalau pesan eksplisit mengenai seksualitas yang terdapat dalam novel itu kita sebut sebuah pretensi. Kritik terhadap falosentrisme hanya terjadi di permukaan, atau dengan kata lain, kritik itu dengan sengaja dimasukkan dalam beberapa adegan. Di level yang lain, yang justru jauh lebih penting secara tekstual, novel Ayu sangat falosentris.

Ilustrasi Falosentrisme (Sumber foto: Surviving segment of one of three colossal limestone statues of the god Min excavated from his key temple site at Coptos (modern Qift) in Egypt. Dating from around 3300 bc, the whole statue would have stood about 4 m tall. Ashmolean Museum, AN 1894.105e.)

Di sini saya hanya mengutipkan salah satu bukti yang dikemukakan Katrin untuk memberi gambaran konkret tentang apa yang dia maksud dengan ambivalensi seksualitas itu, yaitu ketika Katrin menafsirkan peristiwa pemberian patung kecil yang menyerupai alat kelamin laki-laki oleh pastur Wisanggeni untuk digunakan sebagai alat masturbasi bagi tokoh Upi, seorang perempuan yang mengalami cacat mental. Menurut Katrin, sikap pastur Wisanggeni itu merupakan upaya penyempitan makna bagi pengalaman seksual Upi yang sebenarnya lebih berorientasi pada kenikmatan tubuhnya sendiri melalui aktivitas masturbasi dengan bermacam benda yang mungkin dia temui, seperti pohon, tiang listrik, pagar, atau sudut tembok. Dengan kata lain, tindakan seksual yang dilakukan oleh Upi lebih bersifat mandiri dan terkondisi oleh sifat alat kelamin perempuan, tidak tergantung pada hubungan dengan laki-laki semata seperti yang dituntut dalam norma seksualitas yang dominan dalam masyarakat patriarki. Pemberian patung kecil yang berkonotasi alat kelamin laki-laki itu justru telah mematahkan kemandirian seksual tersebut dan mengikatkannya ke ketergantungan pada sosok laki-laki. Menurut Katrin, Ayu Utami telah jatuh pada falosentrisme dalam penggambaran adegan ini karena tidak memberikan peluang untuk melihat adegan itu dari sudut pandang narator lain yang memungkinkan pembaca bisa memahami adegan tersebut sebagai penyempitan makna yang dilakukan oleh pastur Wisanggeni semata, bukan oleh pengarang novel ini sendiri.

Dari kajian Katrin tersebut, saya terbantu untuk menyimpulkan bahwa struktur novel pada dasarnya bekerja pada dua level, yaitu kesadaran dan ketaksadaran. Pada titik inilah saya ingin menafsirkan ambivalensi yang dikemukakan oleh Katrin itu dari sisi teori psikoanalisis. Jika memang benar bahwa Ayu Utami tidak menyadari falosentrismenya — seperti yang disimpulkan oleh Katrin — padahal Ayu sendiri adalah seorang feminis yang menentang falosentrisme, maka bagaimana ambivalensi ini dapat dijelaskan?

Pertama-tama, secara psikoanalisis dapat dikatakan bahwa dalam diri seorang feminis, prinsip feminisme telah terinternalisasi sebagai kesadaran (ego) dalam struktur psikisnya, yang kemudian berkembang sebagiannya menjadi superego. Lambat laun superego ini kemudian berfungsi merepresi hasrat seksual yang terlarang menurut superego feminisme tersebut. Hasrat terlarang yang dimaksud di sini tidak lain adalah seksualitas yang falosentris. Dalam masyarakat patriarki, yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu bahwa falosentrisme itulah yang menjadi superego, sedangkan hasrat terlarangnya adalah seksualitas yang anti-falosentris. Misalnya, hasrat perempuan untuk merasakan kenikmatan seksual dipandang sebagai sesuatu yang tabu atau terlarang dalam masyarakat patriarki. Feminisme pada dasarnya berupaya membalik proses psikis yang terjadi dalam masyarakat patriarki itu. Namun, proses pembalikan itu tidak terjadi dengan mudah dalam diri seseorang, tetapi merupakan upaya pergulatan yang terus-menerus. Karena itu, ambivalensi selalu terjadi dan justru merupakan tanda pergulatan itu sendiri.

Dalam kasus novel Saman, terutama dalam adegan Upi di atas, hasrat falosentris yang direpresi itu rupanya menyusup secara tersamar melalui penceritaan tentang moralitas Wisanggeni yang berupaya untuk membuat seksualitas Upi menjadi lebih beradab, yaitu sesuai dengan norma patriarkis-falosentrisme. Dapat dikatakan di sini bahwa Ayu Utami sebagai pengarang tenggelam ke dalam posisi falosentrisme Wisanggeni sehingga dia kehilangan daya kritis dari perspektif feminismenya, yang menurut Katrin Bandel, seharusnya tetap dapat diungkapkan oleh Ayu melalui “suara lain yang menyoroti peristiwa itu dari perspektif lain”. Maksudnya, dari perspektif anti-falosentrisme.

Namun, itu tidak dilakukan oleh Ayu karena dia tidak menyadari beroperasinya hasrat falosentris itu. Dengan kata lain, dia luruh ke dalam tokohnya, seperti diakuinya dalam tulisan tentang proses kreatifnya:

Ada yang belum terumuskan. Saya rupanya sungguh tidak tahu kapan saya menjadi Saman atau Yasmin atau Laila atau Shakuntala. Saya pun tidak tahu kapan saya menjadi pengarang dan kapan penonton. Barangkali kadang dengan susah payah saya mencoba menjadi si karakter namun tidak berhasil. Kali lain mungkin saya begitu tersedot tanpa saya sadari. Saya tak tahu bagaimana mekanisme itu bekerja dalam diri saya. Yang saya rasakan adalah pengarang yang luruh, yang baur.

Melalui perspektif psikoanalisis, luruhnya Ayu ke dalam tokoh-tokohnya justru membuka modus psikis yang “ditunggu-tunggu” oleh hasrat falosentris untuk menemukan jalan bagi pemenuhannya. Dalam novel Saman, seperti ditunjukkan oleh Katrin, hasrat falosentris ternyata terus-menerus dipenuhi. Di sini saya ingin menambahkan bahwa pemenuhan hasrat falosentris itu sebenarnya terjadi melalui samaran yang tidak dikenali oleh superego feminisnya Ayu Utami sendiri. Begitulah mekanisme psikisnya.

Lantas, jika hasrat falosentris terpenuhi melalui penyamaran, maka bagaimanakah strategi penyamarannya? Untuk menjawab persoalan ini, saya perlu mempertimbangkan sebagian alat estetis kesusastraan yang digunakan dalam novel Saman, yaitu metafora. Metafora menjadi penting di sini karena — dalam pandangan psikoanalisis — bentuk, cara, atau gaya berbahasa merupakan arena tempat pembatasan sekaligus pemenuhan hasrat.

Dalam hal fungsi metafora secara psikis, perlu dipahami bahwa teori psikoanalisis memandang hubungan antara hasrat dan objek yang dihasrati sebenarnya tidak terjadi secara langsung, tetapi selalu diperantarai oleh bahasa. Misalnya, jika seorang laki-laki jatuh cinta pada tetangganya yang baru, sebenarnya bukan sosok real tetangga itu yang dia cintai, melainkan citra atau representasi dari diri si tetangga baru itulah yang menjadi objek dari hasrat cintanya. Representasi itu terbangun melalui makna-makna yang sudah lama terbangun dalam diri seseorang itu berdasarkan pengalaman masa lalunya yang mengandung efek perasaan (afeksi) yang kuat. Bisa saja representasi itu berupa afeksi dari hubungan dengan ibu si lelaki itu sehingga hasrat cintanya pada tetangganya itu hanyalah hasrat terhadap representasi ibunya.

Semua ini tentu saja berlangsung dalam wilayah ketaksadaran dan dapat terpenuhi melalui metafora-metafora yang mewadahi representasi dari objek hasrat itu. Sebagai contoh, bisa saja si lelaki tanpa sadar mengibaratkan hubungan dia dengan ibunya selama ini melalui metafora penyelamatan, yaitu bahwa dia membayangkan dirinya sebagai sosok yang akan menyelamatkan ibunya dari penderitaan. Representasi metaforis seperti ini akan sesuai dengan citra ibu yang penuh pengorbanan namun tidak berdaya, yang selanjutnya dapat saja terkait dengan citra raut wajah yang melankolis. Mekanisme psikis seperti ini selanjutnya dapat mempengaruhi hasrat cintanya pada perempuan lain, yaitu si tetangga baru, sejauh si tetangga itu sesuai dengan representasi metaforis yang sudah ada dalam pengalaman ketaksadarannya dengan citra ibunya.

Sekarang kita kembali ke kasus novel Saman. Salah satu metafora penting yang banyak digunakan dalam novel ini adalah metafora hutan. Di sini saya hanya mengambilkan satu episode yang memuat metafora ini, yaitu episode genting pada masa kanak-kanak Wisanggeni yang menyangkut peristiwa matinya atau hilangnya adik-adik Wisanggeni secara berturut-turut, yang dalam cerita dikatakan diambil oleh jin/makhluk halus.

Uraian saya tentang episode metaforan hutan ini merupakan penafsiran kembali atas tulisan saya yang berjudul “Saman, Hutan, dan Identitas yang Bergelincir” dalam DKJ (Editor), Dari Zaman Citra ke Metafiksi: Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ (Jakarta: KPG, 2010).

Episode ini dapat dibaca sebagai penceritaan tentang momen-momen kritis dalam fase Oedipus tokoh Wisanggeni. Dari sisi itu, dapat ditafsirkan bahwa jin atau makhluk halus yang diceritakan dalam episode tersebut sebenarnya tidak lain adalah Wisanggeni sendiri, atau lebih tepatnya adalah hasrat ketaksadaran Wisanggeni sendiri untuk memiliki atau bersatu dengan ibunya dan untuk menyingkirkan pesaingnya, yakni adik- adiknya dan ayahnya. Tetapi, oleh kekuatan moral superego, hasrat ini direpresi dan muncul melalui cara penceritaan yang terselubung atau terbalik dari sang narator (kesadaran), yaitu bukan Wisanggeni yang membunuh Adik, melainkan Jin dari hutan; sementara itu, kebencian pada Bapak direpresi dan diganti dengan identifikasi terhadap citra Bapak.

Sikap moral yang khas dari sang ayah yang berkaitan dengan hilangnya adik-adik Wisanggeni adalah kerelaan ayahnya menanggung penderitaan. Ayah Wisanggeni sama sekali tidak menyalahkan sang istri atas peristiwa itu dan dia tetap menunjukkan sikap kasih pada istrinya. Sikap inilah yang sebenarnya diserap sebagai citra Bapak oleh Wisanggeni dan mengendap menjadi superegonya sampai dia dewasa. Oleh karena itu, keputusan Wisanggeni untuk menjadi pastor di kemudian hari dapat dipandang sebagai perwujudan yang wajar dari tuntutan superego masa kecilnya yang merupakan konsekuensi dari penyelesaian kompleks Oedipusnya. Menjadi pastor baginya berarti mewujudkan ajaran kasih dalam kenyataan.

Dalam proses psikis tersebut terbentuklah dua identitas yang berlawanan yang muncul secara simultan dalam diri Wisanggeni, yakni “Wisanggeni sebagai Jin” dan “Wisanggeni sebagai Bapak”. Pada level kesadaran (penuturan narator) identitas pertama tidak diakui, sedangkan identitas kedua diakui, seperti terungkap dalam penuturan narator ini: “Sejak Ibu kehilangan bayi kedua, sejak ia merasakan kehadiran sesuatu yang lain yang mengunjungi ibunya, Wis semakin dekat pada ayahnya.” Identitas kedua ini merupakan hasil dari proses identifikasi terhadap citra Bapak seperti yang telah dikemukakan di atas.

Yang menarik adalah identitas “Wisanggeni sebagai Jin” yang erat berkaitan metafora tentang hutan. Dalam perspektif ibunya Wisanggeni, hutan itu tidak berkesan menakutkan, tidak misterius, dan dapat dipahami. Meskipun Wisanggeni dilarang ibunya main ke hutan karena di sana ada jin dan peri, namun makhluk gaib itu tidak ditampilkan dalam kesan yang aneh dan menakutkan, melainkan mirip manusia: “Ibu menasihati dia agar jangan bermain terlalu jauh ke dalam. Karena ada seratus ular di sana, ia bertanya. Bukan, jawab ibunya. Karena jin dan peri hidup di sana. Seperti apakah mereka? Mereka hampir seperti kita.”

Meskipun demikian, hutan tersebut tetap menyisakan kemisteriusan bagi Wisanggeni karena dia tidak mampu membedakan pohon-pohon dan tidak mampu melihat jin dan peri. Kemisteriusan hutan ini kadang-kadang sepadan dengan kemisteriusan sosok ibunya sendiri, yang diceritakan sebagai “sosok yang tak selalu dapat dijelaskan oleh akal. Ia sering nampak tidak berada di tempat ia ada, atau berada di tempat ia tidak ada.” Ibunya juga digambarkan sebagai orang yang masih mempraktikkan kepercayaan tradisional yang dalam pandangan ayah Wisanggeni disebut sebagai “tahayul”. Sosok ibu yang terkadang misterius dan irrasional inilah yang ditangkap oleh ketaksadaran Wisanggeni sebagai citra atau representasi ibunya. Representasi inilah yang dihasrati oleh Wisanggeni, tetapi hasrat ini tentu saja merupakan hasrat yang terlarang sehingga harus direpresi oleh superegonya. Proses represi ini terjadi melalui penentangan ayahnya terhadap representasi hutan ibu. Dalam representasi ayahnya, hutan ditampilkan dengan sangat menakutkan dan berisi ular yang dikonotasikan dengan sosok Iblis yang harus dihindari atau dilawan. Hal ini juga sesuai dengan sosok ayah Wisanggeni yang religius-modern yang menjauhi segala tahayul.

Dari analisis di atas, dapat dilihat betapa hutan digunakan oleh Ayu Utami sebagai metafora untuk mengungkapkan dilema psikis tokoh Wisanggeni di masa kecilnya. Dengan demikian, metafora hutan telah menjadi arena pembatasan sekaligus pemenuhan hasrat, yaitu hasrat bersatu dengan citra ibu direpresi oleh superego yang dinternalisasi dari citra ayah. Konflik ini menyatu di dalam metafora hutan sehingga menimbulkan efek ambivalensi, yaitu bahwa hutan bisa berarti representasi ibu, tetapi juga bisa berarti representasi ayah.

Gambar sampul novel Saman (Sumber: di sini)

Penggunaan metafora dalam fungsi yang ambivalen seperti itu tampaknya cukup intensif digunakan dalam novel Saman, seperti yang sudah diperlihatkan juga oleh Katrin Bandel. Saya menganggap bahwa metafora yang berefek ambivalen itu merupakan strategi estetis yang digunakan Ayu Utami yang merupakan bagian dari ciri proses kreatifnya yang cenderung meluruhkan diri pengarang ke dalam dilema psikis tokoh-tokohnya beserta hasrat-hasrat mereka. Dengan demikian, hasrat falosentris si pengarang juga turut terpenuhi melalui samaran atau kedok metafora yang pada level kesadaran justru dapat dirasakan sebagai penentangan terhadap falosentrisme itu sendiri.

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Dosen. Naratolog. Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.