#KKL-Sasindo-UNJ-2024

Berusaha Bangkit Kembali

Kunjungan ke Komunitas Pelangi Sastra Malang

Nabila Ramadhina
Estafet

--

Cuaca Malang pada hari sebelumnya sedang mendung, malamnya juga hujan deras. Kami terpaksa tidak bisa melanjutkan perjalanan ke tujuan sebelumnya yang sudah direncanakan. Kami khawatir kunjungan hari ini, 22 April 2024, ke Komunitas Pelangi Sastra Malang juga akan terhambat. Namun, di luar dugaan, pagi ini langit Malang berubah sangat cerah. Bus kami langsung meluncur ke Kafe Pustaka di Universitas Negeri Malang, tempat kami akan menemui Denny Mizhar (selanjutnya kami panggil Mas Denny), salah satu pendiri Komunitas Pelangi Sastra Malang.

Menuju Kafe Pustaka Universitas Negeri Malang, menemui Komunitas Pelangi Sastra Malang. (Dok. Tim KKL)

Komunitas ini ingin merangkul keberagaman yang ada di kota Malang melalui pengembangan literasi. Itulah yang tercermin dalam namanya: “Pelangi”, warna-warni. Karena itu, kami tertarik memilih Komunitas Pelangi Sastra sebagai salah satu mitra KKL (Kuliah Kerja Lapangan) kami. Melalui pengalaman mereka, kami berharap dapat memahami lebih jauh persoalan penulisan kreatif dan penyuntingan buku sastra.

Asal Mula

Bermula dari nongkrong, Mas Denny dan kawan-kawannya kerap juga membahas persoalan sastra yang kemudian berujung pada munculnya ide untuk membangun sebuah komunitas sastra.

“Komunitas Pelangi Sastra ini berdiri pada tahun 2010, tetapi sebenarnya orang-orang yang menghidupkannya sudah aktif sebelumnya di komunitas yang lain. Ada namanya Komunitas Mozaik. Komunitas Mozaik ini bergerak di berbagai kesenian, ada teater, sastra, ada penerbitan juga waktu itu. Kita sudah aktif di beberapa komunitas dan kita sudah sering nongkrong bareng dengan teman-teman terutama di rumah almarhum Ratna Indraswari Ibrahim, seorang sastrawan di kota Malang.” Mas Denny memulai ceritanya dalam wawancara bersama anggota tim KKL kami, Renaldi Saputra dan Varell Lubert Giuliano.

Kegiatan pertama yang dilakukan Pelangi Sastra adalah “Membaca Wahyu”, yaitu mencari dan mengetik ulang karya-karya dari Wahyu Prasetya (salah seorang penyair terkemuka di Malang) untuk kemudian diulas oleh kritikus sastra. Selanjutnya, diadakan acara “Pelangi Sastra On Stage” yang membicarakan karya-karya dari Wahyu Prasetya. Kegiatan tersebut mendapat sambutan yang antusias dari para pegiat dan penggemar sastra di Malang. Karena itu, “Pelangi Sastra On Stage” selanjutnya pun terus diselenggarakan. Berdasarkan momentum tersebut tercetuslah ide tentang Komunitas Pelangi Sastra.

Mas Denny Mizhar sedang diwawancarai oleh Varell Lubert Giuliano dan timnya. (Dok. Tim KKL)

Sebagai sebuah komunitas, Pelangi Sastra terus berupaya mengembangkan kegiatannya. Berbagai diskusi sastra terus digelar, mencakup banyak persoalan sastra. Mas Denny bercerita, Pelangi Sastra dulu sempat mengadakan acara diskusi tentang kisah Sitti Nurbaya setelah membaca ulang novelnya. Selain itu, mereka juga sempat mengadakan acara diskusi tentang kaitan antara sastra dan ekologi. Mereka juga pernah mengadakan panggung kreasi, seperti panggung pembacaan puisi dan prosa. Dalam kegiatan ini, Pelangi Sastra berkolaborasi dengan rekan-rekan seniman di bidang musik untuk acara pembacaan puisi dan kawan-kawan komunitas teater untuk acara pembacaan prosa.

Pelangi Sastra pun sempat mempunyai program kelas menulis puisi, kelas menulis cerpen, kelas menulis esai, dan kelas penerjemahan. Bahkan, Pelangi Sastra juga pernah menyelenggarakan acara Forum Membaca Novel. Dalam forum itu, Pelangi Sastra menerapkan sistem satu orang membaca dan yang lainnya menyimak. Setelah selesai membacakan novel pilihan, mereka kemudian mendiskusikan hal-hal menarik dari novel tersebut.

Pengembangan Komunitas

Setelah aktif melakukan berbagai kegiatan di Pelangi Sastra, Mas Denny dan tim melakukan beberapa pengembangan, yaitu berupaya untuk menghidupkan komunitas dengan cara membuat penerbitan. Usaha penerbitan tersebut mendorong mereka untuk membangun toko buku sendiri yang bernama Griya Buku Pelangi Sastra. Menurut Mas Denny, sebenarnya tidak ada genre khusus yang disasar oleh penerbit Pelangi Sastra. Karena itu, selain menerbitkan karya sastra, mereka juga menerbitkan karya humaniora dan esai-esai musik. Lagipula redaksi dan para editor yang ada di Pelangi Sastra Malang adalah para pekerja lepas atau freelancer.

Pada tahun 2014 Pelangi Sastra Malang menerbitkan buku kumpulan puisi karya Prof. Djoko Saryono, berjudul Kemelut Cinta Rahwana. Inilah buku terbitan pertama mereka. Setelah itu, mereka berupaya untuk tidak hanya menerbitkan karya-karya dari kawan-kawan Pelangi Sastra Malang sendiri, tetapi juga menerbitkan karya dari teman-teman di Jawa Timur. Melalui usaha ini, penerbitan di Pelangi Sastra juga punya fungsi dokumentasi, yaitu mendokumentasikan karya-karya literasi tidak hanya di kota Malang, melainkan bisa meluas juga ke seluruh Jawa Timur.

“Pelangi Sastra Malang itu awalnya sebuah komunitas. Karena ingin hidup, lalu kami membuat usaha untuk menumbuhkan keinginan terus berkarya atau menjalin teman-teman untuk mempublikasikan karya-karya mereka,” ujar Mas Denny kepada Syiva Amalia, salah satu tim pewawancara KKL.

Untuk memantapkan kegiatannya, Pelangi Sastra secara sengaja mencari penulis-penulis muda di kota Malang dengan kriteria tertentu, seperti gemar menulis atau mengikuti lomba kepenulisan. Hal ini dimaksudkan agar penulis tersebut setidaknya sudah kenal dengan dunia kepenulisan meskipun baru kulitnya saja. Karya-karya mereka selanjutnya akan dibaca, dinilai, dan disunting lebih dahulu oleh para editor di Pelangi Sastra Malang. Kalau potensial, akan diterbitkan. Berbeda dengan struktur penerbitan resmi, Pelangi Sastra Malang lebih berfungsi sebagai tempat bagi para freelancer penerbitan untuk berkomunitas. Semua proses penerbitan dilakukan secara lepas, tetapi mereka berkomunitas di Pelangi Sastra Malang.

Suasana santai sambil berdiskusi dan membaca di Kafe Pustaka. (Dok. Tim KKL)

Sebagai bagian dari kerja penerbitan, Komunitas Pelangi Sastra juga mendorong penulisan kreatif dan kerja penyuntingan. Beberapa buku sudah ditulis dan diterbitkan sendiri oleh komunitas ini. Sehingga komunitas ini tidak hanya, mengumpulkan para penulis, namun komunitas ini juga membuat tulisan, menyunting tulisan, hingga menerbitkan tulisan dengan nama penerbit mereka sendiri. Hal ini membuat kami sangat tertarik untuk mengunjungi, dan mengulik banyak hal dari komunitas Pelangi Sastra ini.

Dalam menyebarkan pentingnya literasi, Pelangi Sastra tidak hanya membuat acara-acara yang bisa dijangkau oleh orang-orang di lingkungan kota, tetapi juga melakukan ekspedisi ke kampung-kampung, misalnya di sekitar wilayah Batu, Malang. Salah satu kegiatan mereka di sana, misalnya, adalah pengenalan terhadap sastra. Beberapa penulis Malang diundang untuk bersama-sama menulis puisi, mengenalkan buku, dan karya sastra kepada anak-anak. Puisi-puisi yang dihasilkan dari kegiatan ini kemudian disatukan dan diterbitkan sebagai kumpulan puisi dengan judul Mata Air. Tidak hanya si penulis cilik yang senang, orang tua mereka pun sangat bangga dengan pencapaian anaknya meskipun barangkali si orang tua tidak terlalu paham apa yang sudah ditulis anaknya.

Terminal Sastra

Berkat kegiatan-kegiatan yang sudah banyak dilakukan, Pelangi Sastra Malang lama-lama dijadikan seperti “terminal” sastra di Malang, tempat orang-orang bertemu, datang dan pergi, membicarakan sastra dan kebudayaan.

“Yang namanya komunitas itu ya jatuh bangun. Kita membayangkan komunitas itu seperti terminal, orang keluar masuk di komunitas ini, tetapi kita tidak bisa mencegah karena memang tidak dapat apa apa, kita juga tidak membayar mereka, tidak ada nilai ekonomisnya. Akan tetapi, ada beberapa orang yang bertahan bukan karena nilai ekonomis, tetapi dia mempunyai prinsip, agar kita bisa berdiskusi tentang kesusastraan, agar bisa terus dinamis, mendinamiskan wacana-wacana yang berkembang pada saat ini, memberikan ruang pada penulis-penulis buku agar karyanya dibaca oleh khalayak umum, “ ungkap Mas Denny ketika menjelaskan persoalan regenerasi dalam komunitas, salah satu persoalan yang membuatnya khawatir tentang masa depan komunitas.

Regenerasi memang menjadi masalah utama di banyak komunitas. Apalagi karena kebanyakan komunitas tidak memikirkan tentang nilai ekonomis, masih banyak anak muda yang kurang berminat untuk bergabung dengan komunitas, khususnya komunitas sastra.

Selain persoalan regenerasi, pandemi Covid-19 juga menjadi salah satu faktor yang membuat kegiatan komunitas di Pelangi Sastra beberapa tahun belakangan ini makin berkurang. Tidak ubahnya seperti terminal yang sepi penumpang. Meski sudah terbiasa melakukan kegiatan luring sebagai sifat utama Pelangi Sastra Malang, misalnya Pekan Sastra Kota Malang yang menggelar acara sastra seminggu penuh, masa pandemi Covid yang panjang memaksa mereka beralih ke acara-acara daring. Pekan Sastra Kota Malang dialihkan ke platform digital. Mas Denny menjelaskan bahwa bagian penerbitan Pelangi Sastra Malang, untungnya, tidak mengalami dampak signifikan akibat pandemi karena penerbitan mereka termasuk ke dalam penerbit indie, bukan penerbit mayor. Ritme penjualan tetap sama dengan masa sebelum pandemi.

Seluruh anggota tim KKL kelompok Pelangi Sastra berfoto bersama sebelum melanjutkan perjalanan ke mitra KKL berikutnya. (Dok. Tim KKL)

Kini, harapan Si Terminal akan ramainya penumpang setelah pandemi Covid kian mencuat. Kelas-kelas kepenulisan yang selama pandemi sempat ditutup, sekarang dibuka kembali. Pekan Sastra Kota Malang kini diperluas menjadi Festival Sastra Kota Malang dan sukses digelar tahun lalu dan sekarang akan diupayakan lebih meriah pada tahun 2024 ini. Harapan kini makin terbuka untuk bisa menerbitkan karya-karya dari penulis dan melanjutkan misi memasyarakatkan sastra melalui berbagai bentuk kegiatan demi merangkul segala keberagaman yang ada, seperti tagline atau slogan Pelangi Sastra itu sendiri: “sastra untuk kemanusiaan”.

Pasti Ada Jalan

Di akhir pertemuan, Mas Denny sempat berpesan kepada kami, “Prinsipnya: hal yang baik, keinginan yang baik dan yang diupayakan, pasti akan ada jalannya.” Pesan ini memotivasi kami untuk tidak menyerah dalam mewujudkan keinginan dan untuk jeli melihat momentum. Pelangi Sastra yang berawal dari kegiatan yang tampaknya sepele, yaitu nongkrong, ternyata bisa memunculkan momentum yang berdampak cukup besar dalam membantu banyak orang, khususnya para penulis, pegiat, dan penggemar sastra. ^^^

Tim KKL-Mitra Pelangi Sastra
Renaldi Saputra, Varell Lubert Giuliano, Syawal Fitri Desdini, Amanda Pradhitya Warman, Nathania Luvena Lais, Diva Tatyana Phadmavati, Nabila Ramadhina Masha, Meyvika Andara Seruni, Muhammad Dafa Anugrah, Nur Andini Setiawati, Amelia Putri, Farah Fauziah, Farrel Taruna Candra, Narisya Azzahra Putri, Pita Rizqi Dwi Cahyaningtyas, Rehzy Rahmawati, Syelvina Gusmarani, Syiva Amalia, Tiara Novitasari, dan Wella Nindya.

--

--