/1/ Kehidupan Seperti Apakah Kehidupan Sastra Itu?

Irsyad Ridho
Estafet
Published in
5 min readDec 16, 2021

Kita hidup. Telanjur hidup. Dan, di dalamnya kita menghidupi sekaligus dihidupi oleh kerja tubuh-pikiran-perasaan kita sendiri, juga tubuh-pikiran-perasaan orang-orang lain. Semuanya berjejalin, kadang-kadang terasa seperti benang-kusut, kadang-kadang terbayang bagai sebuah desain rumit nan indah-menakjubkan. Di sana kehidupan sastra hanyalah salah satu ranah kerja yang memiliki seluk-beluk dan kerumitannya sendiri. Aktivitas kerja seperti apakah kehidupan sastra itu? Sederhana saja. Sesederhana arti kata “sastra” itu sendiri, yaitu “tulisan”. Jadi, kehidupan sastra adalah kehidupan yang tumbuh dari kerja tulis-menulis.

Kita berbelanja. Kita saling bertukar hasil kerja. Jejaring pertukaran hasil kerja membentuk kehidupan. (Sumber foto: di sini)

Ada kalanya kerja sastra dipersempit menjadi sebatas aktivitas menghasilkan tulisan fiksi. Ada kalanya juga diperluas ke wilayah kerja yang seolah tanpa batas. Sejauh ada tulisan, tentang apa pun itu, di situ ada kerja sastra. Mulai dari coretan keluh-kesah dan makian di dinding toilet atau di reruntuhan tembok pinggir jalan sampai naskah pidato presiden, itulah sastra. Mulai dari tulisan merk celana dalam sampai surat cinta bocah ingusan di medsos yang banyak salah ketiknya, itulah sastra juga. Sejauh di situ terpatri keringat orang yang berpikir, merasa, dan menulis, di situlah kehidupan sastra sedang berdenyut. Tarik-ulur antara pengertian yang dipersempit dan yang diperluas itu pun merupakan bagian dari kehidupan sastra itu sendiri.

Jadi, kehidupan seperti apakah kehidupan sastra itu? Di sini saya mau sedikit berbagi tentang hal ini melalui ilustrasi sederhana.

Bayangkanlah ada seorang anak muda yang ingin memasuki kehidupan sastra. Dia bertekad menjadi seorang pengarang. Dia sudah pernah menulis beberapa karya puisi dan cerpen. Namun, tidak ada seorang pun yang tahu. Dia masih menyimpan karyanya untuk dirinya sendiri. Kini dia mulai berpikir untuk menerbitkan karyanya. Maka, dia mulai membuat blog pribadi yang memuat tulisan-tulisannya. Beberapa temannya mulai menyukai puisi-puisinya, ada juga yang tertarik dengan cerpen- cerpennya. Sebagian karyanya ada yang diminta oleh media internal organisasi di sekolah atau kampusnya untuk dimuat.

Pelan-pelan karangannya sudah diketahui oleh lebih banyak orang. Ada yang memberikan emotikon suka, ada yang memberi komentar pendek bernada positif, tapi ada pula yang berkomentar panjang-lebar mengkritik karyanya, dan ada juga yang responnya biasa-biasa saja. Pengarang muda kita ini kini mulai sadar bahwa dia harus lebih banyak belajar lagi agar karyanya lebih baik dan berkembang.

Ketika mulai lebih percaya diri, dia terdorong untuk mengirimkan karyanya ke koran dan majalah ternama, baik cetak maupun daring. Di sini karangannya disaring atau dinilai oleh para redaktur yang biasanya juga adalah para pengarang dan kritikus yang sudah terkemuka. Jika ternyata dimuat, bolehlah dia merasa senang karena kepengarangannya mulai diperhitungkan.

Apakah ini saat yang tepat untuk mencoba menawarkan karangan ke penerbit buku? Mungkin inilah saatnya, pikir si penulis baru kita ini. Maka, diapun harus berhadapan dengan saringan para editor di penerbit. Di sini rupanya dia gagal karena para editor itu menganggap karangannya tidak punya nilai jual yang cukup tinggi. Mereka tentu tidak mau dimarahi si pemilik modal penerbitan itu gara- gara rugi, ‘kan? 😁

Mari kita teruskan kisah perjalanan penulis baru kita ini. Dia mulai memperbaiki karangannya, mengubahnya di sana-sini, membanding-bandingkannya dengan karangan lain yang sudah dianggap orang lebih bagus, dan mencoba menciptakan inovasi dan gaya yang khas miliknya sendiri.

Ketika ada sayembara novel yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga sastra yang terpandang, dia pun mengirimkan karangannya. Para juri sayembara (yang tentu saja terdiri dari para sastrawan dan ahli sastra yang terkemuka) rupanya jatuh hati pada karangannya. Tanpa disangka sama sekali olehnya, karangannya ternyata diputuskan sebagai pemenang pertama sayembara itu.

Para pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018 berfoto bersama para juri dan panitia sayembara (sumber foto: di sini)

Status kepengarangannya kini meningkat sudah. Maka, datanglah tawaran dari penerbit. Kini dia tidak perlu menawarkan diri lagi, tapi penerbit itulah yang datang meminta karangannya untuk diterbitkan. Pasar pembaca yang lebih banyak pun mulai terbayang di depan matanya.

Karangannya ternyata juga menarik minat seorang kritikus/ahli sastra. Si ahli itu kemudian menuliskan sebuah kajian yang cukup kontroversial tentang karangannya. Kajian tersebut dimuat di sebuah jurnal ilmu sastra dan kebudayaan yang terkenal dan kemudian mendapat tanggapan dari beberapa ahli sastra lain di dalam forum-forum diskusi akademis yang cukup bergengsi. Nama penulis kita ini lantas menjadi terkenal.

Meski agak kikuk dengan keterkenalannya yang mendadak itu, dia tetap mencoba tenang dan rendah hati. Beberapa kali dia mendapat undangan wawancara di radio dan televisi untuk membicarakan karyanya. Perlahan tapi pasti, dia mulai menyadari bagaimana rasanya dan apa artinya pengakuan orang terhadap karyanya.

Pergaulannya menjadi lebih luas. Ketika datang tawaran bahwa karangannya akan difilmkan, dia mulai menimbang-nimbang apakah sinema dapat mengungkapkan inti karangannya secara sama baiknya dengan media tulis yang dia geluti selama ini. Dalam perundingan dengan pihak pemilik modal perusahaan film dan sutradara, sadarlah dia bahwa kompromi dengan kepentingan ekonomi tidak dapat dia elakkan dengan mudah. Maka, filmnyapun diputar dan menuai banyak kontroversi.

Contoh film yang cukup popular sekaligus kotroversial yang diangkat dari novel. (sumber foto: imdb.com)

Begitulah kira-kira perjalanan yang mungkin dialami oleh seorang penulis baru sampai akhirnya dia diakui sebagai pengarang. Dia harus melewati semacam tangga kepengarangan yang dibuat oleh lembaga kepengarangan (authorship) dalam masyarakat.

Kepengarangannya akan makin diakui jika karangannya masuk ke dalam kurikulum sekolah atau universitas melalui kebijakan negara dalam bidang pendidikan. Jika lembaga kepengarangan di luar negeri juga menganggap karangannya penting, maka tentu akan ada upaya penerjemahan atas karyanya. Jika karyanya dipandang memberi pengaruh yang besar dalam pembaharuan pemikiran dan kebudayaan, maka bukan tidak mungkin penghargaa bergengsi pada tingkat nasional maupun internasional akan dia peroleh juga.

Namun, semua itu tentu tidak dia capai dengan gampang karena di dalam lembaga kepengarangan itu terjalin berbagai kepentingan di antara banyak pihak, seperti negara, pemilik modal, kritikus/ahli sastra, dan juga khalayak pembaca. Kepentingan-kepentingan itu kadang-kadang saling membatasi, kadang-kadang juga memberi peluang. Kerumitan hubungan antar-pihak di dalam lembaga kepengarangan itu bisa dibayangkan seperti bagan di bawah ini.

Begitulah gambaran ringkas dan sederhana dari sebuah kehidupan yang disebut KEHIDUPAN SASTRA. Mau gambaran yang lebih rumit? Silakan lanjut baca yang ini.

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Dosen. Naratolog. Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.