MEMAHAMI TULISAN ESAI SASTRA

Irsyad Ridho
Estafet
Published in
12 min readNov 21, 2023

Ketika seseorang sudah selesai membaca sebuah cerpen, misalnya, biasanya dia mempunyai penilaian tersendiri tentang cerpen tersebut, yaitu tentang bagus tidaknya cerpen itu, tentang apakah cerpen itu menarik, membosankan, atau biasa saja. Penilaian itu biasanya dapat kita dengar dari komentar yang dia berikan, misalnya: “Ah, jalan ceritanya membosankan. Permulaannya sih memang seru, tapi tengah dan akhirnya mudah ketebak.” Pembaca yang lain mungkin akan memberikan penilaian negatif yang berbeda, misalnya: “Saya tidak suka dengan penggambaran tokoh-tokohnya, kelihatan terlalu sempurna. Itu tidak sesuai dengan kenyataan sehari-hari.”

Namun, pembaca lain mungkin saja melihat aspek yang bagus dari cerpen yang sama dan memberikan penilaian positif, misalnya: “Jalan ceritanya memang agak membosankan, tetapi saya suka dialog-dialognya yang mendalam. Kita bisa belajar banyak tentang kehidupan dari dialog- dialog itu.” Ada juga pembaca lain yang memberi penilaian positif dari segi lain, misalnya: “Kekuatan cerpen ini memang bukan pada jalan ceritanya, tetapi pada cara menggambarkan setting-nya yang sangat rinci sehingga kita bisa merasa seolah- olah berada di dalamnya.”

Contoh di atas juga bisa berlangsung terhadap karya sastra yang lain, seperti drama dan puisi. Pada dasarnya ilmu sastra dibangun dan dikembangkan melalui penafsiran dan penilaian terhadap karya sastra. Seorang pengarang sastra tentu menghendaki agar karyanya dibaca oleh banyak pembaca. Para pembaca pun berhak mengungkapkan penafsiran dan penilaiannya terhadap karya sastra yang sudah dibacanya. Di antara para pembaca yang banyak itu, biasanya ada beberapa orang yang mengungkapkan penafsiran dan penilaiannya secara panjang lebar dan mendalam dengan mengemukakan kriteria dan alasan-alasan penafsiran dan penilaiannya secara sistematis. Pembaca semacam ini sangat diperlukan oleh pengarang maupun pembaca pada umumnya karena komentar-komentarnya yang mendalam itu justru, di satu pihak, dapat memberi inspirasi bagi pengarang untuk mengembangkan karyanya selanjutnya dan, di pihak lain, dapat membantu pembaca umum atau pembaca awam untuk mengembangkan pengetahuan dan selera sastranya. Pembaca yang sangat khusus ini biasanya selalu berupaya untuk meningkatkan kecintaannya pada karya sastra dan terus mengasah daya kritisnya terhadap karya sastra yang ada sehingga dia mampu memberikan penafsiran dan penilaian yang seimbang, mendalam, dan inspiratif. Pembaca semacam ini dikenal sebagai “kritikus sastra”. Nah, penafsiran dan penilaian dari kritikus sastra itu biasanya dikemukakan secara tertulis dan disebut sebagai “esai sastra”.

Esai Sastra sebagai Tulisan Teoretis

Dalam upayanya untuk menulis esai sastra, seorang kritikus sastra akan menafsir dan menilai karya sastra dengan kriteria atau dasar alasan tertentu. Kriteria itulah yang merupakan teori sastra yang digunakannya dalam menafsir dan menilai karya sastra yang sudah dibacanya. Jadi, tulisan esai sastra sebenarnya merupakan tulisan teoretis. Pembaca awam sebenarnya juga menggunakan teori tertentu ketika menilai karya sastra, tetapi seringkali mereka tidak menyadarinya dan, karena itu, tidak mengungkapkannya dalam penilaian mereka. Berbeda dengan pembaca awam, kritikus sastra memang menyadari teori yang digunakannya dan berusaha mengungkapkannnya secara sistematis di dalam penafsiran maupun penilaiannya sehingga kritikus lain, pengarang, dan pembaca pada umumnya dapat memahami dengan jelas susunan argumentasinya.

Photo by Marcos Paulo Prado on Unsplash

Esai sastra yang ditulis para ahli sastra tentu saja tidak hanya berisi tentang penafsiran atau penilaian terhadap kualitas karya sastra tertentu, tetapi juga beragam persoalan lain yang ada dalam kehidupan sastra itu sendiri. Pendeknya, melalui esai sastra, para ahli sastra berupaya mengemukakan argumentasinya tentang hubungan satu fenomena dengan fenomena lain yang berlangsung dalam kehidupan sastra. Ada yang tertarik menghubungkan fenomena kehidupan pengarang dengan karya sastra yang dibuatnya. Misalnya, mereka mencoba menjawab persoalan sejauh mana perkembangan pengalaman pengarang mempengaruhi karyanya. Namun, ada yang lebih tertarik menghubungkan antara karya sastra dengan konteks sosial-historis secara umum, bukan hanya dengan kehidupan pengarangnya secara khusus. Mereka, misalnya, mencoba mempertanyakan apakah karya sastra Indonesia di masa sebelum kemerdekaan memang punya perbedaan yang mendasar dengan karya sastra Indonesia setelah kemerdekaan, seberapa jauh konteks kemerdekaan memang berpengaruh dalam mengubah wajah kesusastraan Indonesia. Ada juga ahli sastra yang berminat mengutak-atik persoalan tentang genre sastra tertentu. Mereka berkutat dengan pertanyaan, misalnya, mengapa genre cerita detektif tidak terlalu berkembang di Indonesia jika dibandingkan dengan genre cerita roman dan horor. Sejauh mana kaidah atau pola genre tertentu dapat dibedakan dari genre yang lain? Apa penentu perbedaannya? Sejauh mana pola itu berkaitan dengan pola berpikir atau pola kebudayaan dari suatu masyarakat? Atau, ahli yang lain mungkin lebih ingin meneliti persoalan mengapa sastrawan yang satu bisa lebih terkenal daripada sastrawan yang lain. Mengapa novel yang satu bisa best-seller, sedangkan novel yang lain tidak laku.

Atau persoalan ini: Jika puisi Chairil Anwar memang berbeda dengan puisi Amir Hamzah, di mana letak perbedaannya? Adakah gaya tertentu yang membedakannya? Mengapa novel dari pengarang tertentu dilarang oleh pemerintah? Apakah itu berkaitan dengan isi dan gaya novelnya ataukah karena faktor lain? Apakah memang ada yang disebut dengan sastra Indonesia itu? Mengapa ada orang yang bisa membuat puisi dengan baik, sementara ada orang lain yang tidak bisa sama sekali? Apa sebenarnya yang ada di dalam pikiran penggemar novel XYZ sehingga mereka begitu tergila-gila membacanya? Apa? Mengapa? Bagaimana? Kapan? Mungkinkah? Pokoknya, segala macam persoalan kehidupan sastra dapat diangkat dalam tulisan esai sastra.

Pada uraian berikut ini saya mencoba menjelaskan bagaimana esai sastra ditata dalam suatu struktur tulisan. Kemudian, sebagai contoh, saya akan membahas salah satu esai sastra yang ditulis oleh Andries Teeuw, salah seorang kritikus sastra Indonesia yang terkemuka sejak tahun 1970-an.

Struktur Tulisan Esai Sastra

Setiap argumentasi dalam esai sastra pada dasarnya mengandung proposisi teoretis yang dilahirkan melalui upaya yang gigih dalam berpikir. Upaya tersebut sering disebut sebagai proses berpikir kritis. Kemampuan berpikir semacam itu sebenarnya dapat dilatih dan diasah terus-menerus. Sebagai langkah awal, kita dapat melatihnya dengan mengajukan empat pertanyaan mendasar setiap kali kita berhadapan dengan argumentasi yang dikemukakan dalam esai sastra, yaitu:

(1) apa masalahnya,
(2) apa kesimpulannya,
(3) apa alasan atau buktinya, dan
(4) apa asumsi teoretisnya.

Keempat pertanyaan itu perlu kita ajukan karena esai sastra memang disusun dengan memperhitungkan keempat hal itu. Jadi, setiap kali kita membaca esai sastra, pertama-tama kita harus melacak di bagian mana penulis esai itu mengajukan pokok persoalan atau masalah yang menjadi inti tulisannya. Jika kita berhasil menemukannya, itu artinya kita telah dapat memahami tulisan tersebut. Namun, kadang-kadang tidak mudah menemukannya karena penulisnya tidak selalu mengungkapkannya secara eksplisit. Di samping itu, sebuah esai kadang-kadang tidak hanya mengajukan satu masalah, tetapi bisa juga lebih dari satu masalah yang saling berkaitan. Untuk itu, kita perlu banyak membaca esai yang ditulis oleh para kritikus sastra agar dapat lebih terlatih untuk menentukan masalah yang mereka kemukakan.

Setelah masalahnya dapat kita temukan, kita harus dapat menemukan jawaban si penulis esai terhadap masalah yang diajukannya. Jawaban itulah yang merupakan kesimpulan esai tersebut. Tentu saja, kesimpulan itu diambilnya berdasarkan alasan-alasan tertentu. Kita harus pula mampu menemukan alasan-alasan yang dikemukakannya.

Hubungan antara kesimpulan dan alasan disebut argumentasi. Biasanya kita cenderung menyetujui suatu argumentasi jika kita mempunyai anggapan tersembunyi yang sama dengan si pembuat argumentasi itu. Anggapan tersembunyi yang seringkali sudah dipandang benar itulah yang dimaksud dengan asumsi dasar. Dalam tulisan esai sastra, asumsi harus dinyatakan dengan jelas sehingga pembaca menjadi mengerti sudut pandang teori apa yang digunakan oleh si penulis dalam membangun argumentasinya. Namun, kadang-kadang penulis esai sastra juga mengemukakan asumsinya secara tersirat/implisit karena dia merasa bahwa pembacanya sudah mengerti sebagai sesama orang yang sudah belajar teori sastra. Dalam ilmu sastra ada beberapa teori sastra yang utama, seperti teori stilistika, strukturalisme, teori ideologi, pascastrukturalisme, teori sastra psikoanalisis, dan sebagainya. Apapun asumsinya teoretisnya, itu akan menentukan kesimpulan dan alasan yang dikemukakan dalam sebuah esai sastra.

Pembahasan Contoh Esai Sastra: “Pamplet untuk P dan K”

Bagaimana struktur tulisan esai sastra tersebut diterapkan oleh para kritikus sastra? Kita akan melihat contohnya secara langsung dari esai Andries Teeuw yang berjudul “Pamplet untuk P dan K”. Esai ini merupakan penafsiran dan penilaiannya terhadap sebuah puisi karya WS Rendra yang berjudul “Sajak Lisong”. Perlu diketahui bahwa P dan K adalah sebutan untuk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada era 1970-an ketika puisi ini pertama kali diterbitkan di koran pada tahun 1978. Pada saat itu para mahasiswa di Jakarta dan Bandung sedang berdemonstrasi untuk menolak kecurangan Pemilu tahun 1977 dan kehidupan negara Orde Baru yang bersifat otoriter-militeristik. Rendra memberikan simpatinya pada gerakan mahasiswa melalui puisi- puisinya. Karena itu, Rendra menyebut puisinya pada saat itu sebagai puisi pamplet.

Infografis diambil dari Tirto.id

Dalam momen seperti itulah Teeuw kemudian menuliskan esainya ini yang kemudian diterbitkan pada tahun 1980 dalam buku Tergantung Pada Kata. Teeuw sendiri sebenarnya adalah orang Belanda yang sudah lama mempelajari sastra Indonesia dan banyak mengajar di beberapa perguruan tinggi di Indonesia pada era 1970-an sampai 1980-an. Dalam esainya ini Teeuw mendasarkan argumentasinya pada asumsi teori stilistika. Mari kita bahas tahap demi tahap sesuai dengan struktur tulisan esai sastra yang sudah kita pelajari di atas. Namun, sebelum itu silakan baca dulu esai Teeuw tersebut di tautan ini.

<iframe src=”https://unjac.sharepoint.com/sites/TeoriSastra116-1SI1/_layouts/15/embed.aspx?UniqueId=ec76b093-ed45-47b0-b642-1f7fa575a743" width=”640" height=”360" frameborder=”0" scrolling=”no” allowfullscreen title=”Pamplet untuk P dan K — Teeuw.pdf”></iframe>

Berikut ini adalah pembahasan saya tentang struktur esai sastra yang dibuat oleh A. Teeuw yang berjudul “Pamplet untuk P dan K”. Saya akan menjelaskan secara bertahap tentang masalah, kesimpulan, alasan, dan asumsi yang terdapat dalam esai tersebut.

(1) Apa masalah yang diajukan oleh Teeuw dalam esainya?

Masalah dalam esai biasanya diajukan pada bagian awal atau pendahuluan. Teeuw mengajukan masalahnya pada paragraf ke-4. Coba perhatikan paragraf tersebut. Di sana dia mengatakan bahwa dia tertarik mengkaji puisi Rendra itu karena keunikannya atau perbedaannya yang menonjol dengan kebanyakan puisi modern Indonesia sebelumnya. Jadi, jika dirumuskan dalam kalimat tanya, masalahnya dapat dirumuskan begini: apa keunikan puisi Rendra yang berjudul “Sajak Lisong” itu?

Ketika kita membaca esai sastra, penulisnya tidak selalu mengatakan masalahnya dengan kalimat tanya. Karena itu, kita sendirilah yang harus merumuskan ulang dengan kalimat tanya agar arah persoalannya menjadi lebih jelas dan tajam. Kalimat tanya akan memaksa kita memilih kata tanya, seperti apa, bagaimana, di mana, kapan, dan mengapa, sehingga akan membuat pikiran kita terarah kepada kesimpulan atau jawaban tertentu.

Selain itu, masalah dalam esai perlu diberikan latar belakangnya sehingga masalah itu tidak begitu saja muncul tanpa alasan, tetapi ada kaitan dengan fenomena umum dalam kehidupan sastra maupun dengan alasan ketertarikan pribadi dari si penulisnya sendiri. Dalam esainya, pertama-tama Teeuw memberikan kaitan dengan kajian lain yang sudah dilakukan orang tentang karya-karya Rendra (lihat paragraf ke-1). Dalam hal ini dia menyebut kajian Rainer Carle dari Jerman yang sudah memperlihatkan adanya perubahan dalam puisi-puisi Rendra ke arah tema protes sosial. Selanjutnya, Teeuw juga mengaitkan masalahnya dengan keterkejutan dia sendiri terhadap perubahan gaya puisi Rendra itu. Dia mengatakan begini dalam paragraf ke-2:

“Bagi seorang pembaca seperti saya, yang sangat gemar, malahan cinta akan puisi lirik Rendra yang lebih dahulu ditulisnya, sajak pamplet penyair merupakan kejutan yang tidak kecil; saya seakan-akan kehilangan rahasia puisi lamanya, rahasia pengasingan bahasa melalui lirik yang sangat individual dan orisinal.”

Yang dimaksudkan oleh Teeuw di sini adalah puisi-puisi lirik Rendra, seperti yang termuat dalam Empat Kumpulan Sajak, Balada Orang-orang Tercinta, dan Sajak-sajak Sepatu Tua. Salah satunya sudah pernah kalian baca, yaitu “Serenada Hijau”. Keterkejutan Teeuw ini kemudian menjadi pendorong baginya untuk memahami dan mengkaji lebih jauh ciri puisi Rendra yang baru. Dari sini kita pun menjadi mengerti mengapa Teeuw mengajukan masalahnya, yaitu apa keunikan puisi-puisi Rendra yang baru itu yang salah satunya hendak dia ulas, yaitu “Sajak Lisong”.

(2) Apa kesimpulan yang diambil oleh Teeuw terhadap masalah tersebut?

Kesimpulan dalam sebuah esai sastra pada dasarnya adalah jawaban yang diberikan oleh penulisnya terhadap masalah yang diangkatnya. Teeuw secara tegas mengambil kesimpulan bahwa keunikan puisi Rendra itu terletak pada sifat atau gaya retorikanya. Kesimpulan ini dia kemukakan pada paragraf ke-4 yang kemudian diperjelas lagi pada paragraf ke-5 dalam esainya. Saya kutipkan kesimpulan Teeuw itu di sini:

…sebuah sajak retorik yang dengan jelas memperlihatkan perbedaan asasi dalam hal teknik kepenyairan dengan puisi lirik.

Lagi pula saya menganggap perkembangan yang baru dalam puisi Rendra penting sebagai gejala yang mungkin menunjukkan kecenderungan baru yang lebih umum sebab dalam rangka puisi sebagai bentuk sastra yang dibacakan, dinikmati ramai-ramai, misalnya dalam poetry reading (yang sebetulnya merupakan lanjutan dari tradisi lama di Indonesia: sastra sebagai performing art) tuntutan teknik sastra juga berlainan; tidak kebetulanlah puisi Rendra yang dibacakannya begitu jelas bersifat retorik.

Kesimpulan inilah yang menjadi proposisi penting dari argumentasi Teeuw dalam esainya. Terhadap proposisi itulah para pembaca esai ini kemudian dapat setuju atau tidak. Namun, sebelum kita menyetujuinya atau tidak, sebaiknya kita memahami dulu alasan-alasan atau bukti-bukti yang diberikan oleh Teeuw untuk menunjukkan bahwa keunikan atau ciri khas puisi Rendra yang baru itu memang ditentukan oleh sifat atau gaya retorikanya.

(3) Apa alasan/bukti yang digunakan Teeuw untuk mendukung kesimpulannya?

Dalam sebuah esai sastra, memberikan alasan atau bukti itu merupakan bagian yang paling penting sehingga mengambil porsi terbanyak dari kesuluruhan esai. Tanpa bukti yang kuat, kesimpulan dari si penulis esai tidak dapat diterima orang. Atau, setidaknya, jika kesimpulannya tetap dirasa benar, tetap saja pembaca yang kritis akan menunda persetujuannya karena bukti-buktinya tidak cukup kuat.

Karena itu, Teeuw berusaha mengemukakan alasan/bukti yang meyakinkan agar kesimpulannya tentang ciri khas puisi Rendra sebagai sebuah puisi yang bergaya retoris dapat disetujui orang dengan baik. Dia menguraikan alasan-alasannya secara rinci dari paragraf ke-6 sampai paragraf ke-24. Kerincian adalah salah satu faktor yang dapat memperkuat bukti. Karena itu, penulis esai akan berusaha semaksimal mungkin untuk memperinci alasannya. Dengan begitu, aspek empiris dari pembuktian telah dapat dicapai. Apa saja isi alasan/bukti tersebut, silakan kalian ringkaskan sendiri dari paragraf-paragraf panjang itu.

Namun, kerincian bukti tidak dengan sendirinya dapat memperkuat argumen jika tidak didasarkan pada asumsi teoretis yang rasional. Nah, pada titik itulah kita perlu mengecek apa asumsi teoretis yang digunakan oleh si penulis esai.

(4) Apa asumsi teoretis yang dijadikan dasar oleh Teeuw untuk membangun argumentasi dalam esainya?

Ketika kita mampu menangkap hubungan antara kesimpulan dan alasan yang diberikan oleh penulis esai, kita sebenarnya sudah bisa memahami bangunan argumentasinya dan, dengan begitu, kita juga dapat menduga asumsi teoretis yang menjadi dasarnya. Karena kalian sudah mempelajari teori stilistika, kalian bisa menghubungkan konsep-konsep yang digunakan oleh Teeuw dengan teori tersebut ketika dia menguraikan alasan-alasan dalam esainya. Di sana dia berkali-kali menekankan pada peralatan estetis yang digunakan dalam puisi Rendra itu untuk mencapai efek retorisnya, yaitu kesejajaran (paralelisme) yang diikat oleh dua perspektif waktu (pagi dan sore/malam) dan tema kritik terhadap pendidikan dan kebudayaan/kesenian sebagai dua kegiatan utama Departemen P dan K. Dengan rinci, Teeuw membahas aspek paralelisme itu dalam hubungan setiap bait dan baris dalam puisi Rendra itu.

Cara seperti ini merupakan cara khas kajian stilistika. Bahkan, sebenarnya Teeuw sudah pula mempertegas teori yang dia gunakan ketika dia menyatakannya pada bagian awal esainya (lihat paragraf ke-3). Saya kutipkan di sini secara khusus bagian dari paragraf itu yang mengacu pada teori yang dia gunakan (lihat yang saya garis-bawahi):

Tetapi jangan kita salah paham: menurut judul naskah kumpulan puisi terakhir: Pamplet Penyair Rendra di sini pun berbicara selaku penyair; dia membina dunia yang bagaimana pun sifat retoriknya, bagaimanapun miripnya dengan dunia nyata, tetap merupakan dunia rekaan, yang dapat dan harus kita kupas dan tafsirkan serta nilai dengan peralatan dan teknik ilmu sastra, bukan dengan peralatan ilmu sosial atau politik.

Apa yang dia maksud di situ sebenarnya mengacu pada teori stilistika meskipun dia tidak menyebutkannya secara eksplisit. Memang, biasanya penulis esai yang jeli akan berusaha menghindari peristilahan yang asing bagi pembaca umum/awam jika esainya memang akan diterbitkan untuk pembaca umum juga. Dia akan berusaha menggunakan bahasa yang lebih akrab atau sudah dikenal oleh pembaca umum. Kalaupun dia ingin menggunakan peristilah khusus ilmu sastra, dia akan menggunakannya dengan cara memberikan pengertiannya secara jelas dan sederhana. Namun, jika tulisan itu dimuat di dalam sebuah terbitan ilmiah yang khusus, seperti jurnal ilmiah, maka si penulis akan menyadari bahwa para pembacanya adalah para ahli atau mahasiswa di bidang tersebut sehingga dia akan cenderung menggunakan peristilahan khusus secara langsung tanpa perlu khawatir pebacanya akan bingung. Dalam konteks tulisan Teeuw ini, penerbitannya memang dimaksudkan untuk pembaca umum.

Ringkasan

Jika diringkaskan, struktur argumentasi esai A. Teeuw itu adalah sebagai berikut:

  • Apa masalah yang diajukan oleh Teeuw dalam esainya itu? Pada bagian mana dia mengatakannya? Masalah yang diajukan Teeuw adalah apa keunikan puisi Rendra yang berjudul “Sajak Lisong”. Teeuw mengajukan masalah tersebut pada paragraf ke-4 dalam esainya.
  • Apa kesimpulan yang diambil oleh Teeuw terhadap masalah tersebut? Di mana dia mengatakannya? Teeuw mengambil kesimpulan bahwa keunikan puisi Rendra itu terletak pada sifat atau gaya retorikanya. Kesimpulan ini dia kemukakan pada paragraf ke-4 yang kemudian diperjelas lagi pada paragraf ke-5 dalam esainya.
  • Apa alasan/bukti yang digunakan Teeuw untuk mendukung kesimpulannya? Di bagian mana dia menguraikannya? Teeuw mengajukan alasan/bukti dari segi paralelisme. Dia mengatakan bahwa peralatan estetis yang digunakan dalam puisi Rendra itu untuk mencapai efek retorisnya adalah kesejajaran (paralelisme) yang diikat oleh dua perspektif waktu (pagi dan sore/malam) dan tema kritik terhadap pendidikan dan kebudayaan/kesenian sebagai dua kegiatan utama Departemen P dan K. Dengan rinci, Teeuw membahas aspek paralelisme itu dalam hubungan setiap bait dan baris dalam puisi Rendra itu dan dia menguraikan alasan-alasannya itu dari paragraf ke-6 sampai paragraf ke-24.
  • Apa asumsi teoretis yang mendasari argumentasinya? Pada bagian mana asumsi itu dikemukakan oleh Teeuw dalam esainya? Teeuw menggunakan asumsi teori stilistika dan mengemukakannya pada bagian awal esainya, yaitu paragraf ke-3.

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.