KRITIK PSIKOANALIS

Irsyad Ridho
Estafet
Published in
16 min readMay 12, 2024

Para sastrawan seringkali mengakui bahwa apa yang hendak mereka tulis tidak selalu dapat mereka ketahui dengan pasti. Bahkan, seringkali pula apa yang sudah mereka rencanakan hendak ditulis justru tidak mereka tulis ketika proses penulisan itu berlangsung. Misalnya, Subagio Sastrowardoyo, salah seorang penyair terkemuka kita, pernah menyatakan bahwa sajaknya ditulis dari penglihatan bayangan-bayangan batin yang datang dan pergi begitu saja di luar rencana yang disengaja. “Ketika saya mendapat ilham,” ujarnya kemudian, “kata-kata dengan dengan sendirinya menetes dari batin saya dan menyusun sendiri menjadi sajak.” Budi Darma, seorang novelis kita yang juga terkemuka, mengungkapkan pengalaman yang sama. Menurutnya, “dalam menulis memang saya yang menulis, akan tetapi seolah-olah saya didikte oleh suatu kekuatan yang tidak dapat saya kuasai, dan menggelincirkan saya ke proses keterbiusan. Apa yang saya tulis sering keluar tanpa rencana.” Kemudian, dia menambahkan, “Dan andaikata dalam proses keterbiusan itu saya mulai merencanakan sesuatu, yang terjadi dalam bentuk tulisan bukanlah yang saya rencanakan. Selalu ada yang meleset, selalu ada yang berkembang, dan selalu ada yang di luar dugaan.” Jadi, tampaknya ada sesuatu yang mendorong pengarang dalam proses kreatifnya dan sesuatu itu tidak sepenuhnya disadari oleh si pengarang itu sendiri.

Bagaimana dorongan semacam itu dijelaskan secara teoretis? Salah satu teori sastra yang banyak membahas perihal ini adalah teori sastra psikoanalisis atau kritik psikoanalisis. Teori ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Sigmund Freud (1856–1939), seorang dokter jiwa dari Wina, Austria. Esai ini berupaya untuk menjelaskan asumsi dan konsep utama dalam psikoanalisis secara sangat singkat dan dengan banyak penyederhanaan. Dari situ kita bisa menyimpulkan dengan agak tergesa bagaimana pandangan psikoanalisis tentang karya sastra.

Sigmund Freud ketika berusia 29 tahun. (© Freud Museum London)

1. Apakah Aku Benar-Benar Sadar?

Setiap disiplin ilmu memiliki anggapan dasar tentang kenyataan atau objek kajiannya, tidak terkecuali psikoanalisis. Sebagai salah satu disiplin ilmu tentang jiwa manusia, psikoanalisis mengajukan anggapan dasar yang kontroversial pada zamannya. Pada penghujung abad ke-19 di Eropa, pada zaman yang sangat mengagungkan rasio sebagai inti kesadaran, psikoanalisis malah menganggap bahwa ketaksadaran yang justru merupakan faktor yang sangat menentukan pikiran dan tindakan manusia. Bagaimana pskoanalisis bisa sampai pada anggapan semacam itu?

Sigmund Freud-lah yang menjadi pencetus anggapan itu. Bermula dari kekusutannya menghadapi kasus histeria, yakni salah satu jenis penyakit jiwa yang gejalanya terlihat sebagai gangguan fisik, seperti kejang-kejang, lumpuh, gangguan penciuman atau pernapasan, gangguan penglihatan, dan sebagainya. Freud lalu memutuskan untuk mencobakan teknik terapi baru pada pasien-pasien histerianya. Dalam teknik itu, pasien diminta untuk berbicara sebanyak-banyaknya tentang segala hal yang mungkin berhubungan dengan gejala penyakitnya. Bahkan, sekalipun hubungan itu tidak tampak jelas, si pasien tetap diminta untuk mengungkapkan segala pikiran yang terlintas di kepalanya. Teknik terapi seperti itu ternyata cukup berhasil. Salah seorang pasiennya menjuluki teknik itu sebagai talking cure atau “omongan manjur”. Sejak itu, Freud terus menyempurnakan tekniknya sampai membentuk suatu metode terapi jiwa yang kini kita kenal sebagai psikoanalisis.

Sofa yang nyaman tempat para klien Freud berbaring. Di sinilah proses talking cure berlangsung. © Freud Museum London

Sengaja saya menyinggung penyakit histeria karena dari sanalah sebenarnya prinsip-prinsip psikoanalisis mulai dipancangkan, terutama yang berkaitan dengan konsep ketaksadaran. Karena itu, ada baiknya kita menengok teori Freud tentang penyakit tersebut. Menurut Freud, histeria merupakan penyakit yang muncul karena pengalaman masa silam yang menyakitkan (trauma). Ketika pengalaman itu terjadi, si pasien tidak dapat memberikan reaksi secara memadai karena sebab-sebab tertentu. Dengan kata lain, dia tidak dapat menyalurkan atau menerima perasaan sakit karena trauma tersebut sehingga dia berusaha untuk menekannya dari kesadaran dan seolah terlupakan. Tetapi, sebenarnya perasaan sakit tersebut tidak hilang begitu saja, malah terdampar di wilayah ketaksadaran. Penekanan perasaan sakit ke wilayah ketaksadaran ini disebut sebagai represi.

Jika represi berhasil dilakukan, gejala histeria tidak akan muncul. Namun, represi tidak selalu dapat dilakukan sepenuhnya. Sebagian energi dari perasaan sakit itu akan dapat keluar dari wilayah ketaksadaran dan kemudian meneratas jalan untuk kembali ke kesadaran melalui jalur yang tidak langsung atau jalur menyimpang, yakni melalui gejala gangguan fisik tertentu, seperti kelumpuhan, kejang-kejang, gangguan penciuman, dan sebagainya. Inilah gejala (symptom) histeria itu. Tentu saja, tidak semua gangguan fisik seperti ini merupakan gejala histeria. Jika penyebab fisik (seperti virus, gangguan syaraf, gangguan darah, dan sebagainya) dari gejala ini tidak ditemukan, maka barulah dapat dicurigai adanya penyebab psikis (kejiwaan) yang mengarah pada histeria.

Sebagai contoh, seorang pasien mengeluh bahwa pipinya selalu terasa perih. Setelah dilakukan pemeriksaan, tidak ditemukan sebab-sebab fisik tertentu. Akan tetapi, setelah melalui terapi psikoanalisis, diketahui bahwa gejala pipi perih itu ternyata muncul dari pengalaman traumatis si pasien yang pernah dimarahi oleh bos tempat dia bekerja. Si pasien merasa sangat malu dan marah atas perlakuan bosnya. Dia merasa harga dirinya benar- benar diinjak. Dia tidak terima diperlakukan demikian dan ingin rasanya dia menampar bosnya, tetapi dia tidak mampu berbuat apa-apa untuk membalas perlakuan itu karena takut akan dipecat. Perasaan terhina, malu, dan marah itu bercampur-aduk dalam kesadarannnya, tetapi tak dapat dia salurkan atau dia terima. Akhirnya, perasaan itu ditekan begitu saja dan seolah-olah dilupakan. Dengan kata lain, perasaan itu direpresi. Represinya ternyata tidak berhasil karena beberapa bulan kemudian muncul gejala pipi perih.

Gejala ini membuktikan bahwa energi ketaksadaran yang dikandung oleh perasaan sakit yang dulu itu mencari jalan penyaluran secara menyimpang, yakni melalui gangguan pipi perih. Gejala ini menunjukkan bahwa keinginan si pasien untuk menampar bosnya disalurkan secara terbalik dengan menampar pipinya sendiri. Cara pembalikan semacam ini bisa dikatakan sebagai upaya jiwa si pasien untuk menyalurkan dorongan perasaannya secara menyimpang. Si pasien tidak menyadari hal ini dan terapi membantu pasien untuk menyadarinya. Jadi, apa yang dilakukan Freud terhadap para pasiennya pada dasarnya adalah membantu mereka menyadari represi itu sehingga dorongan semula yang berhubungan dengan kejadian tertentu di masa lalu dapat disadari kembali dan dapat disalurkan secara rasional. Itulah yang terjadi dalam teknik terapi “omongan manjur”.

Jadi, sebagai kesimpulan sementara, dapat kita katakan bahwa ketaksadaran adalah suatu kondisi kejiwaan yang menyimpan berbagai dorongan perasaan yang direpresi atau ditekan dan oleh karenanya sama sekali tidak disadari oleh si pasien.

Kita tentu bisa bertanya lebih jauh: jika gejala histeria itu dipengaruhi oleh kejadian traumatis tertentu di masa lalu, kejadian traumatis macam apa yang bisa memengaruhi pembentukan gejala itu? Di sinilah kita akan berhadapan dengan teori Freud tentang seksualitas. Hampir dalam setiap kasus histeria yang ditanganinya, Freud mendapati bahwa kejadian traumatis tersebut berkaitan dengan kehidupan seksualitas masa kecil. Oleh karena itu, dia pun mengajukan teorinya yang kontroversial pada saat itu, yakni teori tentang seksualitas infantil (infantil=bersifat bayi). Dalam pandangannya, dorongan seksual sebenarnya telah dimiliki oleh anak-anak dalam usianya yang paling dini. Freud memahami seksualitas secara luas, tidak dalam pengertian sempit sebagai semata-mata dorongan untuk bersetubuh. Seksualitas dalam pengertian Freud adalah “semua dorongan yang berpusat pada cinta dalam pengertian yang paling luas, yang komponen utamanya tidak hanya cinta seksual (persetubuhan sebagai tujuannya), tetapi juga cinta pada diri sendiri, cinta pada orang tua atau anak, persahabatan, hasrat terhadap benda-benda, dan bahkan hasrat terhadap ide-ide abstrak.”

Di samping itu, menurut Freud, setiap manusia akan mengalami berbagai tahap dalam perkembangan seksualitasnya. Misalnya, pada masa bayi, seorang manusia sangat tergantung pada susu ibunya. Dia mengalami kedekatan perasaan yang sangat kuat dengan susu ibunya. Oleh karena itu, proses penyapihan dapat menjadi pengalaman traumatis bagi si bayi karena dalam proses tersebut dia dipisahkan dari sesuatu yang selama ini dia cintai. Dia dipaksa untuk tidak lagi tergantung atau cinta pada susu ibu dan harus dapat mengalihkan kecintaannya itu kepada sesuatu yang lain, misalnya nasi. Jika proses ini berjalan lancar, si anak akan dapat menerima nasi sebagai pengganti kecintaan dia pada susu ibu. Jika tidak, akan muncul semacam gejala kompromi, misalnya senang mengisap jari tangan. Gejala ini dikatakan kompromi karena si anak berada dalam keadaan dilematis, yakni di satu sisi dia harus menyenangi nasi, di sisi lain dia masih terikat pada susu ibu tapi tidak boleh lagi menyusu. Akhirnya, komprominya adalah mengisap jari tangan sebagai kenangan terhadap susu ibu yang dulu.

Selanjutnya pada masa perkembangan yang lebih tinggi, seorang anak manja, misalnya, terpaksa harus mandiri karena dia sudah mulai remaja. Perpindahan dari tahap kemanjaan ke tahap kemandirian ini bisa menjadi trauma tersendiri baginya dan apabila perpindahan ini tidak berjalan lancar, maka gangguan- gangguan emosional atau kejiwaan mungkin saja muncul di masa dewasanya.

Begitulah seterusnya, dalam setiap tahap perkembangan dari anak-anak sampai dewasa, manusia akan terus mengalami berbagai perasaan sakit karena harus dipisahkan dari sesuatu yang selama ini dicintainya. Agar tetap sehat dan normal, dia harus belajar menerima rasa sakit itu dan mengganti atau mengalihkan sesuatu yang dulu dicintai dengan sesuatu yang lain agar kenangan tentang kecintaan yang dulu itu tetap hidup tetapi tidak mengganggu. Namun, tidak selamanya manusia dapat bertahan dengan segala rasa sakitnya sehingga pada tahap-tahap perkembangan seksualitasnya dapat saja tersimpan sandungan- sandungan yang berisi hasrat atau dorongan yang tertahan atau tidak tersalurkan secara memadai dan semua ini kemudian membentuk kondisi kejiwaan yang kita sebut ketaksadaran.

Dengan demikian, dari uraian tentang perkembangan seksualitas tadi, kita dapat mendefinisikan ketaksadaran secara lebih lengkap, yaitu suatu kondisi kejiwaan yang menyimpan berbagai dorongan perasaan yang direpresi yang berasal dari berbagai pengalaman menyakitkan di sepanjang perkembangan seksualitas manusia. Di sini konsep ketaksadaran didefinisikan tidak hanya dalam kaitan dengan represi, tetapi juga dengan perkembangan seksualitas manusia.

2. Mengapa Aku Bermimpi?

Perlu dimaklumi sejak awal bahwa kita tidak dapat mengamati ketaksadaran secara langsung. Kita hanya dapat mengamatinya dari akibat-akibat yang ditimbulkannya dalam pikiran dan perasaan seseorang ketika dia mengungkapkannya melalui bahasa atau dalam tindakan yang dapat dilaporkan atau diamati. Dengan kata lain, kita hanya dapat menafsirkan gerak ketaksadaran itu dari perkataan dan tindakan seseorang. Hal ini tidaklah gampang. Ketika menganalisis para pasiennya, Freud harus menghadapi banyak sekali informasi yang diperoleh dari perkataan dan tindakan mereka. Dari semua informasi itu, dia harus melacak mana yang memberikan petunjuk baginya untuk sampai pada peristiwa traumatis yang direpresi yang memang sama-sama tidak diketahui, baik oleh Freud sebagai analis maupun oleh pasiennnya sendiri. Alhasil, terapi psikoanalisis itu bagai mencari jarum dalam jerami.

Dari sekian banyak petunjuk, ternyata mimpi para pasiennya sangat penting dalam upaya pelacakan sebab-musabab gejala histeria mereka. Mimpi, yang selama ini terabaikan dan dianggap sebagai kenyataan yang tidak berguna, ternyata menjadi sangat bermakna dalam psikoanalisis. Freud kemudian membuat kajian tersendiri tentang mimpi dan, dengan begitu, dia pun merambah keluar dari disiplin ilmunya menuju kaitan yang lebih erat dengan sastra. Oleh karena itu, sebelum sampai pada uraian tentang hubungan psikoanalisis dan sastra, sebaiknya kita bicarakan dulu bagaimana kajian Freud tentang mimpi.

Dalam kajiannya tentang mimpi dari para pasiennya, Freud sampai pada kesimpulan bahwa mimpi tidak lain adalah pemenuhan hasrat. Dengan kata lain, hasrat yang tidak terpenuhi pada siang hari akan terpenuhi pada malam harinya melalui mimpi. Jadi seaneh atau semisterius apapun tampaknya mimpi yang kita alami, tujuannya adalah untuk memenuhi hasrat kita.

Bagaimana mimpi dapat memenuhi hasrat kita? Itulah yang coba dipecahkan oleh Freud melalui metode penafsiran mimpinya.

Pertama-tama, apa yang sehari-hari kita sebut sebagai mimpi, dalam metode penafsiran Freud sebenarnya hanyalah mimpi-manifes, yakni gambaran mimpi yang kita ingat ketika kita bangun dari tidur. Di balik mimpi-manifes itu, dan yang sesungguhnya menggerakkannya, terdapatlah mimpi-laten, yaitu pikiran-mimpi yang bersifat tak sadar yang di dalamnya berkumpul hasrat-hasrat yang nanti diwujudkan melalui mimpi-manifes. Kemudian, ada yang disebut pekerjaan-mimpi, yakni proses perubahan kandungan mimpi-laten menjadi kandungan mimpi-manifes dalam bentuknya yang sudah terdistorsi (tersamar) sehingga tidak dapat dikenali oleh sensor kesadaran yang bekerja melawan pemenuhan hasrat. Proses penyensoran kemunculan hasrat dalam bentuknya yang asli itulah yang telah disebut di atas sebagai represi. Kita memang lebih gampang melihat adanya pemenuhan hasrat dalam mimpi yang tidak terdistorsi. Tetapi, menurut Freud, dalam mimpi yang aneh pun sebenarnya pemenuhan hasrat itu terjadi, cuma dalam bentuk yang terdistorsi.

Sebagai contoh, seorang anak ingin sekali dibelikan mobil-mobilan ketika melihat sebuah mobil-mobilan di pasar. Tetapi, oleh ibunya dia dimarahi dan tidak boleh beli mobil-mobilan. Malamnya, si anak ini bermimpi main mobil-mobilan. Contoh mimpi semacam ini gampang dan jelas sekali untuk menunjukkan bahwa mimpi memang merupakan pemenuhan hasrat.

Anda barangkali juga pernah mempunyai mimpi yang jelas seperti itu. Misalnya, suatu hari Anda bingung karena belum mengerjakan tugas kuliah, padahal besok sudah harus dikumpulkan dan Anda sendiri sebenarnya enggan sekali mengerjakannya. Pada akhirnya Anda memang tidak mengerjakannya karena keburu tertidur lelap. Anda bermimpi menyerahkan tugas kepada dosen Anda yang tersenyum senang. Cukup relate? 🤣

Jika mimpi semacam ini pernah Anda alami, maka tidak sulit bagi Anda untuk memahami bahwa mimpi memang merupakan pemenuhan hasrat. Dalam mimpi semacam ini hubungan antara mimpi-manifes dan mimpi-laten diungkapkan secara langsung tanpa halangan, yakni inginnya mobil-mobilan, mimpinya juga mobil-mobilan; inginnya tugas kuliah selesai, mimpinya juga tugas kuliah selesai. Dalam kasus seperti ini, pekerjaan-mimpi tidak mengubah tampilan mimpi-laten dalam mimpi-manifes, tampilannya sama saja.

Akan tetapi, pada umumnya mimpi kita tidak tampil dalam bentuk yang jelas seperti pada contoh tersebut. Mimpi kita seringkali muncul dalam bentuk yang samar, aneh, dan membingungkan sehingga kita sendiri sulit menentukan hasrat mana yang sedang dipenuhinya.

Sebagai contoh dapat diambil sebuah mimpi yang dialami oleh seorang pasien dari dr. Brill (Brill adalah salah seorang murid Freud). Si pasien adalah seorang manajer yang sudah bertahun-tahun bekerja di sebuah perusahaan. Suatu ketika perusahaannya akan melakukan reorganisasi menjadi perusahaan baru dan si manajer kita ini harus bersaing dengan manajer-manajer lain untuk menduduki posisi tertentu dalam organisasi perusahaan yang baru. Karena itu dia harus mengajukan proposal tentang pengembangan organisasi baru itu di hadapan sebuah panitia/komite khusus perusahaan (board of trustee). Jika proposalnya ditolak, maka tidak ada posisi untuknya. Itu artinya dia tidak akan dipekerjakan lagi di perusahaan tersebut. Malam harinya, sehari sebelum dia harus menghadap panitia, dia bermimpi berselancar di laut lepas. Sebesar apapun ombak yang menerjang, dia selalu dapat berkelit dan meluncur dengan mantap di atas papan selancarnya.

Menurut Brill yang menganalisis mimpi manajer ini, mimpi tersebut adalah pemenuhan hasrat si manajer untuk berhasil di hadapan panitia perusahaan. Akan tetapi, mimpi-manifesnya tampil secara tidak langsung atau tersamar. Panitia perusahaan diubah menjadi papan selancar, sedangkan segala pertanyaan yang mungkin diajukan oleh panitia itu diubah menjadi ombak laut. Jadi, mimpi-manifesnya menunjukkan bahwa apapun pertanyaan yang diajukan, dia dapat menjawabnya dengan memuaskan. Dengan kata lain, dia dapat mengendalikan panitia perusahaan itu seperti dia dapat mengendalikan papan selancar (ingat: dalam bahasa Inggris, kata “board” memang bisa berarti panitia/komite, bisa juga papan). Demikianlah meskipun mimpi-manifes tampil dalam bentuk yang berbeda dari mimpi-laten, mimpi tersebut tetap dapat memenuhi hasrat si manajer untuk berhasil di hadapan panitia perusahaan.

Karena mimpi-manifes seringkali tampil secara tidak langsung, terdistorsi, atau tersamar, maka kita sulit menafsirkannya atau menghubungkannya dengan hasrat mana yang sedang dipenuhinya. Jika si manajer tidak memberikan informasi tentang masalah-masalah hidupnya, termasuk masalah posisinya dalam perusahaan, tentu kita sulit untuk menafsirkan mimpi berselancar tersebut. Di samping itu, perlu ditekankan di sini bahwa penafsiran mimpi berselancar seperti dikemukan oleh Brill di atas hanya berlaku bagi diri si manajer, tidak dapat berlaku bagi orang lain. Jadi, meskipun orang lain pernah mimpi berselancar juga, belum tentu tafsirannya seperti di atas. Menafsirkan mimpi, dalam pandangan Freud, bukanlah seperti mencari tafsirannya dalam kamus mimpi. Tidak ada kamus mimpi semacam itu karena, menurut Freud, simbol-simbol atau tampilan-tampilan mimpi akan bermakna secara khas hanya bagi si pemimpi yang bersangkutan dan makna itu harus dilacak dari pengalaman hidup si pemimpi itu yang tentu saja akan berbeda dengan pengalaman hidup si pemimpi lain.

Saya ambilkan contoh mimpi yang lain. Seseorang mengatakan bahwa dalam mimpinya dia berusaha mencegah orang tuanya untuk tidak naik ke sebuah kapal karena dia tahu kapal itu akan tenggelam. Tetapi, orang tuanya tidak menggubris kata-katanya. Mereka tetap naik ke kapal itu dan kemudian tewas tenggelam. Jika mimpi ini kemudian disertai dengan tambahan informasi dari pengalaman hidup si pemimpi bahwa dia selalu tidak akur dengan orang tuanya, maka mimpi ini dapat ditafsirkan sebagai pemenuhan hasratnya untuk memberontak pada orang tuanya dengan cara mengenyahkan mereka. Akan tetapi, tentu saja hasrat semacam ini tidak dibolehkan secara moral sehingga mimpi membuat tampilan yang lebih diterima secara moral, yakni bukan dia yang mengenyahkan orang tuanya, melainkan orang tuanya sendirilah yang tidak mau menggubris kata-katanya sehingga mereka tewas tenggelam. Dengan tampilan terbalik semacam itu, mimpi-manifes telah berhasil menipu sensor moral dan kemudian memenuhi hasrat pemberontakan yang selama ini direpresi.

Karena mimpi seringkali tampil dalam bentuk tersamar untuk dapat menyalurkan hasrat yang direpresi, maka pengertian mimpi menurut psikoanalisis dapat disimpulkan secara lebih lengkap sebagai pemenuhan secara tersamar atas hasrat yang direpresi.

3. Apa yang Ada dalam Jiwaku?

Secara perlahan-lahan dalam berkembangan selanjutnya Freud memperluas cakupan psikoanalisis ke wilayah kejiwaan orang normal, tidak lagi terbatas pada pasien penyakit jiwa. Hal ini sudah terlihat ketika dia mempelajari mimpi. Dengan demikian, psikoanalisis berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu tentang jiwa manusia secara umum, tidak lagi sebagai metode terapi penyakit jiwa semata. Pandangannya tentang ketaksadaran masih dipertahankan, tetapi penjelasannya kini menjadi lebih luas untuk menjangkau kejiwaan manusia pada umumnya.

Dalam upaya menjelaskan keadaan jiwa secara umum itu, psikoanalisis mengajukan anggapan dasar bahwa selalu terdapat suatu konflik dalam jiwa manusia, yaitu konflik antara dorongan naluri manusia dan kekuatan luar atau kekuatan realitas. Dorongan naluri itu berupa dorongan seksual dan dorongan agresi, sedangkan kekuatan realitas merupakan nilai-nilai moral dalam masyarakat dan keadaan fisik material (benda-benda). Dengan adanya konflik tersebut, psikoanalisis sebenarnya memandang jiwa manusia sebagai sesuatu yang dinamis, mengalami perkembangan terus-menerus untuk mengatasi konflik.

Dinamika jiwa itu dijelaskan oleh Freud melalui teorinya tentang tiga unsur fungsional yang membangun jiwa manusia, yaitu id, ego, dan superego. Id merupakan sumber utama energi psikis (jiwa). Di sini berkumpul wujud-wujud psikis dari dorongan naluri manusia. Dorongan naluri yang muncul akan sgera disalurkan oleh id untuk mencapai kepuasan agar kedaan tegang yang disebabkan oleh dorongan tersebut dapat diredakan. Dalam mencapai peredaan ketegangan ini, id hanya tunduk pada prinsip kesenangan. Prinsip ini menyebabkan id bersifat tidak rasional, asosial, amoral, tidak terarah, dan mengehndaki peredaan ketegangan secepat mungkin. Dengan sifat-sifat ini, dapat dikatakan bahwa id bekerja secara tidak sadar.

Berbeda dengan id, ego merupakan alam sadar manusia. Ego berfungsi menangguhkan untuk sementara usaha pencapaian kepuasan yang diinginkan id sehingga dapat sesuai dengan keadaan kenyataan atau lingkungan. Karena itulah ego bekerja berdasarkan prinsip realitas. Di samping nyesuaikan dorongan id dengan kenyataan, ego juga menyesuaikan dorongan id dengan tuntutan superego.

Superego terbentuk melalui proses internalisasi individu terhadap sistem nilai moral yang diterapkan oleh lingkungan sosial, terutama orang tua. Dengan demikian, superego berfungsi untuk mengawasi ego, dalam arti memberi penghargaan atau hukuman atas tindakan ego dalam menyalurkan dorongan id. Kita dapat merasakan efek dari bekerjanya superego itu ketika kita mengalami rasa tentram, rasa bersalah, dan rasa rendah diri.

Ketiga unsur jiwa itu terus-menerus saling memengaruhi dan berpadu selama kehidupan seseorang sehingga membentuk ciri kepribadiannya. Dengan kata lain, selama kehidupan sesorang, egonya akan terus berusaha menyelesaikan konflik id dengan kenyataan dan konflik id dengan superego. Freud mengumpamakan id, superego,dan kenyataan sebagai tiga tirani bagi ego. Konflik ego terhadap ketiga tirani itu merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan dan bahkan terkadang sangat menyakitkan. Pengalaman demikian disebut oleh Freud sebagai kecemasan (anxiety). Kecemasan hanya dirasakan oleh ego dan berfungsi sebagai semacam tanda bahaya bagi ego. Apabila tanda bahaya itu muncul dalam kesadaran, ego dapat mengambil tindakan untuk menghadapinya, yakni untuk meredakan kecemasan. Tindakan yang dilakukan ego untuk mengatasi kecemasan ini disebut sebagai mekanisme pertahanan ego.

Terdapat beberapa macam mekanisme pertahanan ego. Dua di antaranya yang penting disebut di sini adalah introyeksi dan proyeksi. Introyeksi adalah proses penyerapan superego atau ukuran-ukuran moral orang tua oleh anak. Dalam proses perkembangannya, seorang anak mengalami ketergantungan yang kuat pada orang tuanya. Karena itu, anak akan sangat takut atau cemas jika orang tua mengabaikannya. Hukuman orang tua kepada anak dapat dipandang oleh si anak sebagai salah satu bentuk pengabaian. Si anak seolah- olah merasa bahwa apabila dia melakukan suatu tindakan yang akan mendatangkan hukuman orang tuanya, maka orang tuanya tidak akan memberikan kasih sayang atau mengabaikannya. Perasaan akan diabaikan oleh orang tua itu menimbulkan kecemasan dalam ego si anak dan kemudian mendorong egonya untuk melakukan introyeksi. Dengan introyeksi, anak berdamai atau patuh pada kehendak orang tuanya dan menjadikan nilai moral orang tuanya sebagai bagian dari identitas dirinya.

Adapun mekanisme pertahanan ego yang kedua, yakni proyeksi, merupakan tindakan ego untuk menegasi atau tidak mau mengakui kecemasan yang muncul. Misalnya, ketika sesorang terbebani rasa bersalah, egonya dapat melakukan penyangkalan terhadap rasa bersalah itu sampai pada taraf tertentu yang membuat dirinya tetap merasa tenang, seolah-olah rasa bersalah itu tidak ada, yaitu dengan cara menimpakan rasa bersalah itu kepada orang lain. Kesadarannya seolah-olah mengatakan bahwa yang bersalah bukan dirinya, tetapi orang lain. Anda pernah ‘kan melihat seorang anak kecil yang menuduh temannyalah yang menumpahkan air ke lantai, bukan dia. Padahal, yang sebenarnya terjadi dia sendirilah yang sudah melakukan itu.

Mekanisme jiwa seperti pompa sepeda.

Melalui metafora yang sederhana, jika struktur jiwa manusia itu dapat diandaikan seperti sebuah pompa sepeda, maka tubuh manusia adalah seperti ban sepeda. Udara yang didorong dari pompa akan membuat ban sepeda mengencang sehingga dapat digunakan dengan baik. Jika tidak ada aliran udara dari pompa, maka ban yang kempes tidak akan dapat berfungsi dengan baik. Begitulah pula tubuh manusia tidak akan berfungsi dengan baik jika jiwa tidak beroperasi. Mekanisme beroperasinya jiwa itu sendiri dapat dibayangkan seperti torak pompa yang digerakkan untuk mendorong udara yang ada di dalam silinder pompa agar memgalir ke ban sepeda. Namun, agar udara dapat mengalir dengan baik, katup atau klep pompa harus berada dalam tekanan yang pas. Jika klepnya terlalu longgar, udara akan bocor sehingga tidak mengalir ke ban. Sebaliknya, jika terlalu kencang, torak tidak bisa digerakkan ke bawah sehingga udara juga tidak akan mengalir ke ban. Torak dapat diibaratkan sebagai ego, klep sebagai superego (represi), sedangkan udara di dalam silinder dapat diibaratkan sebagai id. Tubuh manusia akan berfungsi dengan baik jika energi dari hasrat (id) dapat mengalir dengan lancar karena digerakkan oleh ego dan dibatasi dengan tekanan (represi) yang pas dari superego. Jika superego terlalu menekan, ego akan lumpuh dan hasrat menjadi tidak berdaya. Sebaliknya, jika superego terlalu longgar, ego akan bekerja sia-sia dan hasrat akan bocor ke mana-mana tak terkendali.

4. Bagaimana Karya Sastra Tercipta?

Sekarang, bagaimana dengan karya sastra? Berdasarkan penjelasan di atas, teori psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra dapat diperlakukan sebagai symptom (gejala) dari jiwa pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Jadi, bukan bersifat patologis (penyakit), tetapi justru suatu proses kreatif. Dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya, akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri. Akan tetapi, harus diingat bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri dan seringkali dalam bentuk yang sudah terdistorsi. Dengan kata lain, ketaksadarannya bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Di sini psikoanalisis menyejajarkan karya sastra dengan mimpi sehingga tujuan karya sastra dianggap sama dengan tujuan mimpi, yakni pemenuhan hasrat ketaksadaran si sastrawan. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.

Oleh karena itu, seseorang yang hendak menggunakan teori psikoanalisis untuk menganalisis karya sastra akan memperlakukan karya tersebut sebagai jalan masuk untuk memahami atau menyingkap keadaan jiwa sastrawan penciptanya. Atau, dengan kata lain, karya sastra dapat memberikan petunjuk ke arah ketaksadaran pengarang. Bukankah sudah biasa dikatakan bahwa karya sastra adalah ungkapan jiwa pengarangnya? Psikoanalisis menawarkan penjelasan yang lebih rumit dan dalam tentang proses pengungkapan jiwa itu.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa meskipun karya sastra dapat disejajarkan dengan gejala pada histeria dan mimpi, bukan berarti bahwa ketiganya sama persis. Persamaannya hanya terletak pada prinsip pemenuhan hasrat ketaksadaran. Namun, cara pemenuhannya sangat berbeda. Cara pemenuhan melalui gejala histeria tentu tidak dianggap sehat dan normal oleh masyarakat dan pemenuhan melalui mimpi hanyalah sia-sia, sedangkan pemenuhan melalui karya sastra dianggap kreatif dan berharga dalam masyarakat. Jadi, dengan asumsi seperti ini, teori psikoanalisis membuka telah membuka jalan bagi para ilmuwan untuk memahami karya sastra dan proses kreatif pengarangnya dengan lebih jeli. Freud membuka jalan bagi para kritikus sastra untuk membangun teori yang lebih jeli tentang hubungan karya sastra dan jiwa pengarangnya dan bahkan dengan sukma zaman.###

Catatan Ujung

Uraian saya dalam esai ini mengambil acuan pada beberapa bagian dalam buku Sigmund Freud, The Basic Writings of Sigmund Freud (New York: Modern Library, 1938) dan buku A.A. Brill, Basic Principles of Psychoanalysis (New York: Washington Square Press, 1960).

Penjelasan saya pada bagian akhir tentang hubungan psikoanalisis dan karya sastra masih sangat singkat dan perlu pengembangan. Namun, sebelum itu dapat saya lakukan, silakan baca buku yang sangat informatif dan mendalam dari Max Milner yang berjudul Freud dan Interpretasi Sastra (Jakarta: Intermasa, 1992).

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Dosen. Naratolog. Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.