Cerpen “Riwayat Kesendirian”: Bereksperimen dengan ^Shudder-Sweet^

Irsyad Ridho
Estafet
Published in
11 min readDec 21, 2021

Meskipun kelihatannya manusia yang satu dan manusia yang lain mengalami peristiwa yang sama, tetapi cara mereka merasakan dan memaknai peristiwa itu sebenarnya bisa berbeda-beda. Pengalaman masa lalunya, harapan hidupnya, pergaulannya, pengetahuannya, kepeduliannya, kecemasannya, pokoknya banyak hal akan memberikan efek yang berbeda terhadap bagaimana dia merasakan dan memberi makna pada peristiwa yang dialaminya. Karena itu, penghayatan manusia atas pengalamannya tidak bisa dipukul rata. Dalam konteks studi sastra, keunikan atau kekhasan pengalaman manusiawi itulah yang hendak ditangkap oleh kajian stilistika.

Ketika seseorang ingin menilai sebuah karya sastra berdasarkan kajian stilistika, dia akan menganggap bahwa kekuatan dari karya tersebut terletak pada seberapa unik pengalaman manusiawi dapat diungkapkan oleh karya itu. Itulah mengapa pengungkapan yang klise dan streotipe (tipikal) tidak akan dipandang bagus karena dianggap tidak lahir dari penggalian yang dalam terhadap keunikan pengalaman manusiawi. Klise lahir dari kemalasan mengeksplorasi kemungkinan bahasa sehingga hanya mengandalkan cara pengungkapan yang sudah ada, yang sudah menjadi tradisi atau konvensi.

Bagaimana keunikan itu dapat ditangkap dan dinilai dari sebuah cerita, cerpen misalnya? Di sinilah kajian stilistika cerita bisa membantu dengan teorinya tentang bagaimana bahasa berkaitan dengan pengalaman. Dalam esai ini saya mencoba menjajal kaitan tersebut melalui sebuah konsep yang penting dalam stilistika cerita, yaitu transitivitas, untuk membongkar sekaligus menilai keunikan salah satu cerpen karya Eka Kurniawan, yaitu “Riwayat Kesendirian”.

Proyek Eksperimental Cerita Horor

“Riwayat Kesendirian” adalah salah satu cerpen di dalam kumcer Kumpulan Budak Setan (2016). Cerpen-cerpen dalam kumcer ini memang dibuat dengan kesadaran yang kuat dari para pengarangnya tentang batas-batas genre horor dan di sini mereka mencoba bereksperimen untuk menggeser batas-batas tersebut.

Dalam eksperimen mereka, penerobosan dan pembauran masalah pernikahan, asmara, dan seksualitas, di satu sisi, dan penerobosan dunia natural dan supranatural, di sisi lain, sangat disadari untuk dijelajahi lebih jauh. Misalnya, Intan Paramaditha membuat pembauran yang mencekam, memuakkan, dan mengerikan dalam cerpennya yang berjudul “Si Manis dan Lelaki Ketujuh”. Dalam cerpen ini, motif balas dendam diolah sedemikian rupa untuk menghasilkan efek pembalikan yang mencekam dan mengerikan. Dalam cerpen tersebut, yang pada akhirnya menjadi hantu gentayangan bukanlah Si Manis yang penuh dendam, melainkan justru si lelaki pemerkosa yang mati lemas tak berdaya di dalam lemari yang terkunci. Kita tahu pada akhirnya bahwa si hantu gentayangan itulah yang menjadi narator dalam cerpen tersebut. Cerpen Intan ini memperlihatkan bagaimana kenikmatan seksual tidak bisa dibedakan dengan siksaan yang menyakitkan, bagaimana asmara hanyalah kamuflase bagi kekerasan dan dominasi, dan bagaimana pernikahan bukanlah tempat yang aman bagi kesetiaan.

Berbeda dengan Intan, Eka Kurniawan bereksperimen melalui cerpen “Riwayat Kesendirian” dengan mencoba membaurkan genre roman dan horor sehingga menghasilkan semacam efek ketakutan yang manis, shudder-sweet. Motif balas dendam yang tipikal dalam genre horor tidak muncul di sini meskipun sebenarnya si hantu dibunuh oleh suaminya sendiri yang tidak dicintainya. Dalam genre horor yang dominan, yang dijelajahi adalah perasaan marah, benci, dan balas dendam. Melalui genre ini, kita diperlihatkan pada aspek patologis dari cinta, yaitu kepemilikan (posesif), dominasi, kekerasan, kebencian, keterhinaan, yang semua itu pada dasarnya dilandasi oleh perasaan takut (fear), misalnya takut kehilangan, takut diabaikan, takut siksaan, dan takut kutukan. Semua kerumitan perasaan takut itu kemudian diwujudkan melalui kemunculan sosok yang khas dalam cerita horor, yaitu hantu. Eka, saya kira, berupaya untuk menerobos batas tipikal ini.

Fungi balas dendam yang dilakukan oleh sosok hantu dalam genre horor merupakan penanda yang penting bagi munculnya penerobosan batas dunia natural dan dunia supranatural. Namun, batas itu bisa juga diterobos oleh tokoh manusianya sendiri yang, misalnya, meminta bantuan hantu untuk mencapai keinginannya. Jadi, hantu itu sendiri bisa menempati fungsi yang berbeda-beda dalam struktur cerita. Karena itu, bagi saya, perasaan takut yang dimainkan dalam cerita horor pada dasarnya hanyalah efek dari fungsi penerobosan tersebut. Ketika genre horor seperti ini dipadukan dengan genre roman, seperti yang coba dilakukan oleh Eka, efek yang saya maksud itu mulai berkurang meski tidak hilang sama sekali.

Dalam genre roman, perasaan asmara dipisahkan dari pernikahan dan hubungan seksual. Asmara dibuat berdiri sendiri atau otonom sehingga muncul istilah “cinta sejati” atau “cinta yang murni”. Kesejatian cinta di sini seringkali sangat dihubungkan dengan kemesraan, kepedulian/perhatian, pengorbanan, dan kerelaan. Karena itu, keintiman fisik — seperti tatapan, sentuhan, pelukan, dan ciuman — sangat diperhitungkan dan dijaga agar tidak terjebak ke dalam penggambaran yang berkonotasi seksual. Dalam cerita roman, keintiman fisik itu digunakan untuk mengacu pada makna kemesraan, bukan seksualitas. Selain itu, dalam cerita roman, pernikahan yang tidak didasarkan pada cinta sejati juga akan ditolak, dipandang sebagai bukan pernikahan suci. Meskipun bisa saja akhir dari sebuah cerita roman adalah pernikahan, yang tetap dipentingkan dalam keseluruhan struktur ceritanya tetap saja adalah proses kemunculan, perkembangan, dan jatuh-bangunnya perasaan asmara itu sendiri.

Misalnya, dalam pola cerita asmara tak sampai, terdapat kecenderungan bahwa cinta yang bertepuk sebelah tangan itu cenderung diterima dengan rela oleh tokoh-tokohnya. Tentu saja, konflik tetap ada di tengah cerita, tetapi konflik itu dapat diselesaikan dengan munculnya kerelaan si tokoh pada akhir cerita. Dengan motif kerelaan seperti itu, cinta yang diceritakan menjadi semakin sejati atau murni. Begitu efek yang dikehendaki.

Mengombinasikan antara efek balas dendam dan efek kerelaan dari dua genre yang berbeda itu ke dalam bangunan sebuah cerpen merupakan celah eksperimentasi yang menantang. Sejauh mana Eka berhasil menjelajahi celah kemungkinan itu dalam cerpen “Riwayat Kesendirian” yang dibuatnya? Ke sanalah saya mencoba mengarahkan argumentasi dalam esai ini.

Menyusuri Jalur-jalur Stilistis

Untuk menjawab persoalan tersebut, pertama-tama saya perlu menemukan titik penyimpangan dari konvensi genre horor yang paling jelas kelihatan. Dalam hal ini, saya kembali pada kaidah umum genre ini, yaitu bahwa sekuen cerita horor digerakkan oleh fungsi ancaman atau serangan dari pihak makhluk supranatural (hantu) terhadap dunia natural manusia. Dalam cerpen “Riwayat Kesendirian”, penyimpangan pada titik itulah yang dapat dilihat dengan jelas, yaitu hilangnya fungsi ancaman dari sang hantu meskipun dikotomi natural versus supranatural tetap dipertahankan. Hilangnya fungsi ancaman membuat dikotomi tersebut tidak lagi bersifat hierarkis, tetapi menjadi dua wilayah yang berdampingan atau setara. Posisi baru ini dimungkinkan oleh masuknya kaidah lain, yaitu dari genre roman.

Photo by Nathan Wright on Unsplash

Letak penyimpangan itu dapat dengan jelas dibuktikan melalui analisis pola urutan logis peristiwa (plot atau fabula) dalam cerpen ini. Di sini, sosok hantu tetap dimunculkan, tetapi dengan fungsi yang khas yang diambil dari genre roman, yaitu hadir untuk jatuh cinta, bukan untuk membalas dendam. Akhir cerpen ini memperlihatkan hal itu, yaitu ketika tokoh Aku merasa arwah Ina Mia datang dan menemaninya dalam kesendirian di apartemen. Kehadiran hantu Ina Mia di sini tidak diperlihatkan sebagai kehadiran yang mengancam, tetapi justru kehadiran yang intim. Bahkan, peristiwa-peristiwa kardinal yang lain memperlihatkan masuknya ciri sekuen cerita roman secara lebih dominan, yaitu: tokoh Ina Mia menumpang tinggal di kos tokoh Aku untuk menghindari pernikahan paksa; karena disangka berselingkuh dengan Ina Mia, hubungan Aku dan pacarnya putus; Ina Mia kembali ke kampungnya dan dinikahkan dengan lelaki yang tidak dicintainya; tokoh Aku merasa bersalah kepada Ina Mia dan menemuinya secara sembunyi-sembunyi dan mereka saling jatuh cinta. Rangkaian peristiwa seperti itu merupakan pola sekuen genre cerita roman dua sejoli yang akhirnya bisa bertemu kembali setelah mengalami hubungan asmara palsu dengan pasangan lain. Pola plot semacam ini merupakan kaidah yang umum dalam cerita roman. Bahkan, peristiwa selanjutnya, yaitu tewasnya Ina Mia karena dibunuh oleh suaminya, justru memungkinkan cintanya dengan tokoh Aku dapat bersatu kembali. Hanya pada titik ini saja kaidah horor berlangsung, yaitu diterobosnya batas dunia natural dan supranatural. Namun, penerobosan itu, sekali lagi, tidak bersifat ancaman, melainkan keintiman yang mesra.

Namun, analisis plot saja tidaklah cukup untuk memperlihatkan upaya eksperimentasi gaya atau keunikan dari cerpen ini karena itu terlalu jelas alias konsekuensi logis saja dari kombinasi horor dan roman. Karena itu, saya merasa perlu untuk beranjak memperhitungkan aspek urutan tekstual dari peristiwanya. Urutan tekstual yang saya maksud di sini bukanlah plot, tetapi bagaimana peristiwa dituturkan di dalam teks demi teks atau paragraf demi paragrafnya (istilahnya: sujet).

Dari segi sujet, cerpen ini dimulai dengan peristiwa kemunculan arwah/hantu Ina Mia di kamar apartemen tokoh Aku di masa kini. Kemudian, terjadi sorot balik (flashback) yang menceritakan peristiwa pertemuan awal tokoh Aku dengan Ina Mia di masa lalu. Sebelum berlanjut ke peristiwa konflik tokoh Aku dan pacarnya yang mengakibatkan Ina Mia minggat, urutan sujetnya berpindah lagi ke kemunculan arwah/hantu Ina Mia di kamar apartemen tokoh Aku di masa kini. Selanjutnya, terjadi sorot balik lagi sampai dengan peristiwa tewasnya Ina Mia. Dengan demikian, titik penyimpangan dalam genre, seperti yang sudah saya kemukakan di atas, terletak pada peristiwa kemunculan hantu Ina Mia di masa kini cerita yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang diselingi oleh sorot balik itu. Tepatnya, teks yang berada pada paragraf 1–10 pada halaman 21–22 dan pada paragraf 28–40 pada halaman 24–26 di buku kumcernya (akan saya kutipkan pada uraian terakhir esai ini).

Jadi, sekarang saya sudah menemukan korpus data stilistis yang spesifik dalam cerpen ini yang saya perkirakan memiliki efek/fungsi estetis, yang kemudian memungkinkan saya untuk menilai sejauh mana cerpen ini berhasil atau tidak dalam mengeksplorasi peluang eksperimentasi yang disasarnya. Paragraf 1–10 akan saya sebut korpus pertama, sedangkan paragraf 28–40 korpus kedua. Saya menduga di kedua korpus inilah Eka melakukan kulikan bahasa secara lebih gigih untuk membangun efek estetis dalam cerpen ini. Akan saya tunjukkan hal itu dengan bantuan konsep transitivitas.

Namun, sebelum itu, saya mau memperhitungkan dulu aspek lain yang juga penting, yaitu sikap narator cerpen ini. Perlu diingat bahwa aspek stilistis (yaitu bentuk bahasa yang berefek estetis) apa pun yang ada dalam sebuah cerita tidak dapat dilepaskan dari konteks komunikasinya. Karena itu, siapa narator yang bercerita dan bagaimana posisi atau sikapnya terhadap apa yang diceritakannya sebenarnya sangat penting untuk diperhitungkan dalam proses kajian stilistika.

Dari segi sikap narator ini, saya menangkap bahwa strategi pembauran genre yang dipilih oleh Eka berdampak pada hilangnya deskripsi yang menakutkan oleh narator mengenai sosok hantu, yang biasanya selalu menjadi bagian penting dalam konvensi genre horor. Namun, cerpen ini tetap berupaya menyisakan suasana yang menakutkan itu melalui kemisteriusan kehadiran sosok hantu itu sendiri. Efek ini dibangun melalui teknik pendeskripsian yang subyektif dalam cara penceritaan oleh naratornya. Karena naratornya diposisikan berada di dalam cerita, yaitu naratornya sekaligus adalah tokoh Aku itu sendiri, dia lebih mungkin menggambarkan suara batinnya sendiri daripada suara batin tokoh lain maupun tokoh hantunya. Itulah yang saya maksud dengan sudut pandang subyektif. Efeknya, kita sebagai pembaca lebih merasa diajak untuk mendekat ke posisi tokoh Aku.

Bahkan, kehadiran hantu Ina Mia pun sebenarnya tetap digambarkan sebagai perasaan subyektif tokoh Aku saja sehingga kehadiran arwah itu tetap misterius dalam cerpen ini. Kita, sebagai pembaca, dibiarkan untuk menafsirkan sendiri apakah hantu Ina Mia itu memang hadir di kamar apartemen tokoh Aku atau tidak. Jangan-jangan hal itu hanyalah bayangan pikiran yang merupakan campuran perasaan bersalah, rindu, dan kesepian dari tokoh Aku itu sendiri. Kehadiran yang misterius ini di satu sisi menimbulkan suasana romantis, tetapi di sisi lain juga mampu membangkitkan perasaan takut, cemas, bergidik.

Bagaimana pengalaman romantis sekaligus horor itu (yaitu shudder-sweet) diwujudkan dalam pilihan bahasa yang berdampak estetis, dalam arti mampu mengungkapkan pengalaman unik dari shudder-sweet itu? Itulah yang mau saya coba lakukan dalam argumentasi akhir atau inti dari esai ini, yaitu tentang transitivitas dari kedua korpus data yang sudah saya sebut di atas.

Permainan Transitivitas

Dari sekian banyak kemungkinan kalimat untuk mengungkapkan pengalaman tertentu dalam kehidupan, mengapa orang memilih kalimat yang ini, bukan yang itu? Ada berapa pilihan kalimat yang mungkin? Sejauh mana kalimat yang ini punya dampak estetis yang lebih besar daripada kalimat yang itu? Persoalan-persoalan seperti ini coba ditampung dalam konsep transitivitas, yang mengacu pada “bagaimana makna dikodekan dalam klausa dan bagaimana beragam jenis proses direpresentasikan dalam bahasa.” Singkatnya, transitivitas adalah proses mengungkapkan pengalaman ke dalam bentuk bahasa. Dari sekian banyak alternatif bentuk bahasa (peng-kalimat-an), semuanya bisa dikelompokkan menjadi enam jenis proses yang mungkin, yaitu material, behavioural, mental, existential, relational, dan verbalisation. Pengalaman kita yang berupa physical existence (keberadaan fisik), abstract relations (hubungan abstrak), dan consciousness (kesadaran) kemudian diungkapkan melalui pilihan keenam jenis transitivitas ini. Secara sederhana, semuanya dapat dilihat dalam bagan ini beserta contoh kalimatnya dalam bahasa Indonesia.

Model Transitivitas (Diambil dari Paul Simpsons, Stylistics: A Resource Book for Students (London: Routledge, 2004).

Sekarang, dengan mempertimbangkan enam jenis transitivitas itu sebagai kemungkinan pilihan gaya, saya mau kembali ke kedua korpus data yang sudah saya tentukan di atas.

KORPUS 1:

Aku sedang sendirian di dalam rumah ketika aku merasa seseorang menepuk pundakku. Seketika aku menoleh ke belakang, tapi aku tak melihat siapa pun.

Saat itu aku sedang duduk memandangi laptop. Kutinggalkan pekerjaanku dan aku berdiri. Dengan mataku, kujelajahi seluruh isi ruangan. Kamar itu persis sebagaimana keadaannya sehari-hari, dan tak ada sesuatu pun yang asing dari ingatanku. Buku-buku masih bergeletakan di satu sudut lantai. Tempat tidur tidak sepenuhnya selesai dirapikan. Tirai jendela berayun-ayun kecil diembus angin perlahan dari jendela yang kubuka sedikit. Hanya dengung pendingin ruangan yang kudengar.

Ia ada di ruangan ini, tapi aku tak bisa melihatnya.

Korpus stilistis di atas cenderung dibangun dengan kalimat-kalimat yang menunjukkan pola hubungan proses material dan mental. Pola seperti ini terus-menerus muncul pada paragraf-paragraf selanjutnya di korpus pertama. Yang penting untuk dicatat adalah bahwa proses mental yang mendominasi di korpus pertama ini adalah persepsi visual (penglihatan). Bahkan, naratornya menegaskan, “Bagaikan aku memata-matai sesuatu yang aku sendiri tidak bisa melihatnya. (hlm. 22).” Dengan kata lain, Aku-Narator menggambarkan dirinya sedang berada dalam posisi berjaga-jaga untuk menghadapi proses penerobosan sosok supranatural ke wilayah naturalnya (kamar apartemen). Namun, yang terjadi hanyalah keterjebakan Aku-Narator di dalam dunia mental (persepsinya) dan materialnya sendiri (benda-benda di ruangan apartemennya).

Selanjutnya, dalam korpus kedua, pola hubungan proses material dan mental tersebut masih berlangsung, tetapi ada perubahan dari persepsi visual ke persepsi taktil. Aku-Narator menutup matanya dan membiarkan rasa taktilnya yang mencerap keadaan.

KORPUS 2:

Dengan kepala masih terbenam di bantal, aku terus berharap ia akan muncul.

Tiba-tiba aku merasa seseorang duduk, kemudian merebahkan diri di atas tempat tidur, di sampingku. Gerakannya begitu lembut, nyaris tak menimbulkan goyangan apa pun. Aku menahan napasku, mencengkeram erat ujung bantal, berusaha mendengar.

Ia berada di sampingku.

Dalam kedua korpus tersebut, bahkan dominasi proses mental dan material tetap menentukan pilihan transitivitas untuk menggambarkan momen kepastian dari keberadaan sosok supranatural itu sendiri. Artinya, sosok supranatural itu sendiri tidak eksis di luar dunia mental maupun material Aku-Narator.

Namun, yang lebih penting untuk diperhatikan di sini adalah perpindahan dari persepsi visual ke taktil dalam proses mental. Perpindahan tersebut sebenarnya terkait dengan dikotomi pengendalian versus kepasrahan dalam hubungan Aku-Narator dengan sosok supranatural Ina Mia. Dalam korpus pertama, persepsi visual berfungsi menggambarkan posisi berjaga-jaga dari Aku-Narator untuk mengendalikan proses pertemuan dengan sosok supranatural, sedangkan persepsi taktil berfungsi sebaliknya. Dengan ditutupnya mata (visual), proses pertemuan dibiarkan berlangsung tanpa pengendalian, Aku-Narator mengambil posisi pasrah menerima pertemuan itu.

Keintiman pertemuan justru terjadi ketika yang natural (Aku-Narator) pasrah dan menerima penerobosan dimensi itu melalui penyerahan tubuh untuk disentuh. Intervensi dan upaya pengendalian berjaga-jaga oleh yang natural malah membuat penerobosan tercegah atau gagal. Yang natural harus membiarkan yang supernatural datang menerobos karena yang supranatural menginginkan penyerahan diri dari yang natural, bukan dalam situasi ketakutan melainkan keintiman. Seperti seorang sahabat yang datang menepuk pundak atau seorang kekasih yang embusan napasnya menerpa punggung.

Penutup

Demikianlah, saya sudah berupaya memperlihatkan bagaimana konfigurasi estetis tertata dalam pilihan jenis transitivitas. Efek estetisnya terletak pada penyimpangan cara penggambaran penerobosan sosok supranatural ke wilayah natural. Penerobosan yang dalam kaidah genre horor biasanya berfungsi sebagai ancaman atau serangan diubah dalam cerpen ini menjadi pertemuan yang menghendaki kepasrahan yang intim tanpa kehendak untuk mengendalikan. Demikianlah cerpen ini membangun shuddersweet-nya sendiri. Saya kira, dengan cara inilah cerpen ini mampu menggetarkan dawai estetis dalam selera naratif saya. Entah bagi Anda.

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.