TEORI STILISTIKA DAN CONTOH PENERAPANNYA DALAM MENILAI PUISI

Irsyad Ridho
Estafet
Published in
11 min readFeb 21, 2022

Dalam dunia sastra, juga seni pada umumnya, kreativitas merupakan pertaruhan yang penting. Seorang pengarang akan dihargai karena kreativitasnya. Karena itu, para pengarang biasanya sangat khawatir jika mereka mulai kehilangan daya kreatifnya. Mereka mulai merasa terkekang dalam kebiasaan atau pola yang sudah ada dalam berkarya. Namun, upaya keluar dari kebiasaan itu tidaklah mudah jika daya kreatif sudah mulai tumpul. Dalam situasi seperti itu, seringkali dikatakan bahwa si pengarang mulai kehilangan gaya pribadinya, dia tidak mampu lagi menciptakan keunikan gayanya sendiri sehingga cenderung terbawa saja dalam gaya yang umum yang sudah terpola (konvensi) dalam kehidupan sastra pada zamannya. Tidak ada kebaruan apa-apa lagi yang dapat ditawarkan. Jika sudah begini, sesungguhnya malapetaka sudah menimpa kehidupan sastra/seni. Dalam konteks inilah kita perlu memahami teori stilistika.

Sebagai suatu kajian atas fenomena gaya dalam karya sastra, stilistika bertujuan untuk mendeskripsikan perangkat estetis yang digunakan oleh suatu karya sastra sehingga kita bisa sampai pada penafsiran makna dan penilaian efek estetisnya. Dalam tulisan ini, saya mencoba memberikan contoh penerapan teori stilistika itu untuk menafsir dan menilai sebuah puisi. Karya yang saya pilihkan adalah puisi yang cukup klasik karya WS Rendra yang berjudul “Serenada Hijau”. Puisi ini merupakan salah satu puisi awal Rendra yang dimuat dalam kumpulan puisi Empat Kumpulan Sajak (1961). Untuk itu, silakan perhatikan dulu perangkat/peralatan estetis yang dapat saya temukan dalam puisi itu dan kemudian saya coba gambarkan secara ringkas dalam bagan di bawah ini.

Peralatan yang ada dalam puisi di atas sebenarnya juga merupakan peralatan yang biasa digunakan dalam puisi pada umumnya. Namun, bagaimana semua peralatan itu dipilih dan ditata sehingga membentuk suatu perpaduan atau komposisi/struktur yang unik, di situlah kita bisa merasakan efek estetisnya.

Jadi, kajian gaya memang tidak berhenti pada tahap pembongkaran atau pendeskripsian peralatan estetis saja, melainkan juga menafsirkan dan menilai efek estetis yang lahir dari keunikan komposisinya. Biasanya tahap pembongkaran peralatan estetis adalah tahap yang lebih mudah dibandingkan dengan tahap penafsiran dan penilaian efek estetis. Dalam esai ini saya ingin menguraikan tahap-tahap pembongkaran, penafsiran, dan penilaian itu dari segi penataan baris, penataan bait, serta hubungan judul dan isinya.

Gambar yang berupaya menangkap ekspresi Rendra dalam irama puisi (Foto: Alazizfaza)

(1) Penataan Baris

Jika kita ingin membongkar peralatan estetis puisi, maka pertama-tama kita harus menyadari bahwa puisi itu dibangun dari rangkaian baris (line). Satu baris puisi bisa saja berupa sebuah kalimat utuh, bisa juga hanya terdiri dari satu kata, atau satu frasa, atau bisa juga berupa sebuah kalimat utuh yang dipenggal menjadi beberapa bagian sehingga membentuk beberapa baris puisi. Apapun bentuknya, baris puisi biasanya dibuat berdasarkan pertimbangan irama (ritme, rhythm), bukan semata-mata maknanya.

Sebagai contoh, perhatikan bait pertama puisi “Serenada Hijau” yang terdiri dari enam baris. Dua baris pertamanya merupakan kalimat utuh, sedangkan empat baris berikutnya merupakan satu kalimat utuh yang dipenggal menjadi empat bagian sehingga membentuk empat baris puisi. Mengapa dipenggal menjadi empat, bukan tiga atau dua bagian? Dan mengapa harus dipenggal, tidak dibiarkan saja sebagai satu baris kalimat utuh seperti baris pertama dan kedua pada bait tersebut? Jawabannya terletak pada pertimbangan irama yang hendak dibangun dalam puisi ini oleh penyairnya. Nah, di mana letak iramanya? Apakah Anda bisa merasakannya?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengklarifikasi dulu apa itu irama. Pada umumnya kita merasakan irama melalui musik/lagu. Ketika kita mendengarkan sebuah lagu, kita menyadari bahwa ada nada-nada tertentu dalam lagu itu yang diulang-ulang dan ada pula nada-nada yang berbeda (bervariasi) dari yang diulang itu. Dalam istilah musik, nada-nada untuk opening dari sebuah lagu akan diulang lagi pada bagian closing, sedangkan di tengahnya ada bagian refrain yang nadanya berbeda dari opening dan closing. Jadi, irama dapat didefinisikan sebagai pergerakan yang berulang sekaligus bervariasi.

Selain dalam musik, kita juga merasakan irama dalam kehidupan sehari-hari. Malam dan siang adalah pergerakan waktu yang berulang. Kita biasanya melakukan kegiatan rutin sesuai dengan perulangan waktu tersebut, misalnya bekerja di siang hari dan istirahat di malam hari. Namun, jika kita melakukan rutinitas seperti itu terus, tanpa variasi, maka kita akan merasa bosan. Orang kemudian menyebut keadaan ini dengan istilah “irama hidup yang monoton”, yaitu tidak ada variasi, yang ada hanya perulangan. Maka, irama biasanya akan dirasakan orang sebagai kombinasi antara perulangan dan variasi.

Nah, bagaimana dengan irama dalam puisi? Berbeda dengan musik yang menciptakan iramanya melalui medium bunyi yang bernada, puisi menciptakan iramanya melalui medium bunyi kata-kata tanpa nada. Karena itu, irama puisi sangat ditentukan oleh jumlah suku kata antar-baris dan pola perulangan maupun variasi bunyi suku kata di dalam tiap baris dan antar-baris. Secara khusus, pola perulangan bunyi suku kata itu ada yang disebut aliterasi (perulangan bunyi awal suku kata di dalam baris), asonansi (perulangan bunyi akhir suku kata di dalam baris), dan rima (perulangan bunyi akhir antar-baris).

Mari sekarang kita bongkar irama yang terasa pada bait pertama puisi Rendra ini. Baris pertama dan kedua didominasi oleh bunyi vokal /u/ pada akhir suku kata /ku/, /cu/, /nu/, /ju/, dan /mu/. Ini merupakan perulangan bunyi yang sama yang membentuk asonansi dan rima. Namun, terdapat jumlah suku kata yang berbeda antara baris pertama dan kedua, yaitu 6 dan 10 suku kata. Ini merupakan variasi. Seandainya baris pertama dan kedua benar-benar sama, yaitu tanpa kata “menujumu”, maka iramanya akan menjadi monoton. Penambahan kata “menujumu” di baris kedua memberikan variasi irama.

Baris ketiga sampai keenam didominasi oleh rima yang berasal dari bunyi konsonan sengau /n/ dan /m/ di akhir suku kata /lan/, /kan/, /lam/, dan /han/. Asonansi masih terasa meskipun sedikit, yaitu dari bunyi /u/ dalam kata “bulan”, “menegurkan”, “syahdu”, dan “bergantung”. Adapun variasi iramanya dibangun dari perbedaan jumlah suku kata yang ditata secara berpasangan, yaitu baris ketiga-keempat (4 dan 6 suku kata) dan baris kelima-keenam (5 dan 8 suku kata). Karena itu, diperlukanlah pemenggalan terhadap kalimat utuhnya menjadi empat baris.

Sampul buku puisi Rendra, Empat Kumpulan Sajak, yang diterbitkan ulang oleh Pustaka Jaya pada tahun 2003.

Dari pola variasi seperti ini, kita bisa menduga mengapa Rendra lebih memilih kata “bila” di baris ketiga daripada kata “ketika” meskipun artinya sama. Jika Rendra memilih kata “ketika”, itu menyebabkan jumlah suku kata di baris ketiga menjadi 5 suku kata dan itu berarti akan sama jumlahnya dengan suku kata di baris kelima. Urutan jumlah suku katanya tidak lagi 4–6–5–8, tetapi 5–6–5–8 sehingga, jika begitu, variasi iramanya akan sedikit terganggu karena ada perulangan.

Demikialah irama dalam bait pertama puisi ini dibangun melalui perulangan bunyi suku kata dan variasi jumlah suku kata dalam baris-barisnya. Itulah peralatan estetis dalam pembentukan irama puisi. Sekarang, kita akan berpindah untuk membongkar peralatan yang lain dari puisi ini, yaitu penataan bait.

(2) Penataan Bait

Puisi “Serenada Hijau” ini terdiri dari tiga bait. Itu sudah tampak jelas. Namun, mengapa harus tiga bait? Apa pertimbangan di balik pemilihan jumlah bait ini? Tentu saja, setiap penyair punya pertimbangan masing-masing karena mereka mengejar keunikan, tetapi secara umum penentuan jumlah bait itu biasanya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu irama dan makna. Apapun pilihan si penyair nantinya, dia harus bergulat dengan irama dan makna.

Mari kita bongkar peralatan estetis dari segi pembentukan makna lebih dulu. Sebenarnya makna puisi ini sangat jelas, yaitu kerinduan kepada kekasih. Kita diajak untuk membayangkan ada seorang lelaki yang memacu kudanya dengan kencang agar dapat segera bertemu dengan kekasihnya yang sudah menunggu. Tidak diperlukan usaha penafsiran yang rumit untuk memahami makna puisi ini.

Yang penting adalah bagaimana makna ini diungkapkan secara estetis. Rendra memilih pengungkapannya melalui tiga tahap, yaitu dalam bentuk adegan awal, tengah, dan akhir. Ada semacam jalan cerita di situ. Itulah yang menjadi pertimbangan jumlah baitnya.

Adegan pada bait pertama menggambarkan seseorang yang memacu kudanya. Ini adalah adegan intinya. Sebagaimana biasanya pada awal cerita, kita hanya disuguhi sebagian kecil peristiwa sehingga kita akan dibuat bertanya-tanya. Mengapa dia memacu kudanya? Ke mana dia memacu kudanya?

Kita tentu sudah bisa menebak bahwa penunggang kuda ini hendak mendatangi seseorang, yaitu yang disebut sebagai “-mu” dalam kata “menujumu” di bait pertamanya. Tapi, siapa? Kita harus menunggu adegan berikutnya. Namun, kita baru diberi kejelasan tentang si “-mu” ini pada bait ketiga yang merupakan akhir cerita, yaitu setidaknya kita bisa membayangkan bahwa si “-mu” itu ternyata adalah seorang perempuan yang berambut panjang. Ini adalah teknik metonomia untuk mengatakan kecantikan.

Kejelasan ini ditunda dulu oleh munculnya bait kedua yang merupakan adegan pertengahan cerita. Adegan tengah ini berfungsi seperti membelokkan jalan cerita sebentar untuk kemudian kembali lagi ke adegan inti. Dalam cerita, teknik seperti ini sering dikenal sebagai sorot balik (flashback). Karena itulah bait kedua ini berisi adegan si lelaki yang sedang mengenang: “Menyusuri kali kenangan”.

Jalan cerita itulah yang menentukan hubungan bait yang satu dengan bait yang lain sebagai suatu keutuhan. Keutuhan merupakan syarat utama untuk mencapai efek estetis dalam puisi dan karya sastra pada umumnya. Dalam sebuah karya sastra yang utuh, kita akan merasakan kesatuan antara isi dan bentuk, antara makna dan peralatan estetisnya.

Untuk mencapai tingkat keutuhan yang lebih tinggi, puisi Rendra ini tidak hanya mengikat tiga baitnya melalui teknik jalan cerita, tetapi juga mengkombinasikannya dengan tempo irama yang membuat puisi ini menjadi seperti sebuah komposisi lagu. Itulah mengapa dalam judulnya, puisi ini diberi judul “serenada”. Mari kita bongkar peralatan iramanya dari segi tempo ini.

Tempo merupakan ukuran cepat-lambatnya irama, biasanya lebih mudah dirasakan jika kita mendengarkan musik/lagu. Namun, karena medium puisi adalah kata-kata tanpa nada, tempo iramanya hanya bisa terdengar jika puisi itu dibacakan/disuarakan. Seorang pembaca puisi yang baik akan sangat jeli merasakan tempo puisi yang hendak dibacakannya.

Irama yang terbentuk dari hubungan antar-bait puisi “Serenda Hijau” ini sebenarnya mengikuti irama serenada pada umumnya, yaitu cepat di bagian awal, melambat di bagian tengah, dan kembali cepat di bagian akhir. Bagaimana caranya kita bisa merasakan itu? Dalam hal ini, kita bisa menyadarinya melalui alat metafora dan personifikasi yang digunakan dalam puisi ini untuk mengungkapkan tempo irama. Harap diingat, pada dasarnya metafora dan personifikasi bisa punya efek yang berbeda dalam puisi lain, tetapi dalam puisi Rendra ini, peralatan estetis ini berfungsi untuk mengungkapkan tempo irama.

Dua baris pertama dalam bait pertama puisi ini menggunakan metafora “kuda” untuk mengungkapkan tempo yang cepat. Metafora ini kemudian diulang kembali (teknik repetisi) dalam bait ketiga. Repetisi seperti ini berfungsi untuk mengikat bait pertama dan ketiga sebagai awal dan akhir dari tempo cepat itu. Baris “Kupacu kudaku./Kupacu kudaku menujumu.” tentu saja jangan ditafsirkan secara harfiah bahwa lelaki itu (yaitu si aku) memang sedang menunggang kuda untuk mendatangi kekasihnya, tetapi baris ini harus diartikan sebagai metafora untuk menyatakan bahwa kerinduan pada kekasihnya itu sudah sangat menggebu.

Apakah pada kenyataannya dia naik sepeda, mobil, kereta api, atau jalan kaki untuk mendatangi kekasihnya, itu tidaklah relevan atau tidak penting dalam hal ini. Yang ingin ditekankan adalah perasaan rindu yang menggebu itu. Dengan makna seperti itulah tempo cepat dapat dibayangkan/dirasakan.

Kuda sebagai metafora untuk menyatakan kecepatan memang sudah lama digunakan dalam bahasa sehari-hari karena kuda sudah lebih dulu menjadi kendaraan cepat dalam kebudayaan manusia sebelum digantikan oleh kendaraan mekanis, seperti mobil, kereta api, dan pesawat. Karena merupakan kendaraan yang klasik/tradisional, kuda juga dapat mengandung konotasi romantis. Makna “kuda” sebagai sesuatu yang berkonotasi kecepatan dan romantis inilah yang dimanfaatkan oleh Rendra dalam puisinya ini.

Dari segi ini, kita memang bisa menilai bahwa Rendra sebenarnya menggunakan metafora yang sudah klise. Meskipun demikian, bukan berarti seorang penyair sama sekali tidak boleh menggunakan kata yang sudah klise. Yang penting adalah apakah kombinasi klise itu dengan keseluruhan alat estetis yang lain dalam puisinya dapat memberikan efek estetis yang tetap unik.

Nah, untuk tetap mencapai keunikan itu, puisi ini memadukan metafora klise ini dengan teknik personifikasi alam yang tidak klise, seperti pada baris: “dan syahdu malam/bergantung di dahan-dahan.” Atau, pada baris: “dan terdengar keluhan/dari batu yang terendam.” Paduan semacam ini dapat memberikan semacam efek kejutan setelah orang membaca sesuatu yang biasa atau klise. Di samping itu, personifikasi alam seperti ini bertujuan untuk membangun suasana romantis.

Rendra sedang membaca puisi (Sumber foto: di sini)

Rendra cukup jeli menggunakan teknik personifikasi ini hanya untuk bait kedua dan di ujung bait pertama dalam puisinya. Pemilihan seperti ini berefek untuk memperlambat tempo irama karena diposisikan bersama dengan bagian flashback jalan cerita, yaitu di bait kedua yang mengungkapkan tentang kenangan. Itulah mengapa baris metafora kuda tidak diulang di bait kedua, tetapi hanya diulang di bait ketiga.

Di samping itu, personifikasi alam seperti “syahdu malam bergantung di dahan-dahan” ini juga memberikan gambaran visual yang lebih hidup sehingga perasaan romantis itu tidak menjadi perasaan yang abstrak, tetapi punya wujud konkretnya. Teknik semacam ini disebut sebagai citraan (imagery). Tidak hanya citraan visual yang digunakan oleh para penyair dalam puisi mereka, melainkan juga citraan dari indera yang lain, yaitu suara, penciuman, taktil, dan cecapan. Dalam kaitan dengan teknik citraan itulah kita perlu juga menganalisis judul puisi Rendra ini secara khusus.

(3) Hubungan Judul dan Isi

Dalam setiap karya sastra, dan karya seni pada umumnya, judul sangatlah penting. Melalui judullah sebuah karya seringkali akan dikenang. Judul yang menarik dan unik akan cenderung lebih diingat orang daripada judul yang biasa dan klise. Namun, judul juga harus berkaitan erat dengan isi. Tanpa itu, judul hanya akan menjadi nama tanpa makna.

Selain mempertimbangkan makna dan kaitan dengan isi puisi, para penyair juga mempertimbangkan peralatan estetis dalam membuat judul. Dalam kasus puisi Rendra ini, peralatan estetis yang digunakan adalah perpaduan dua citraan, yaitu citraan suara dan visual. Kata “serenada” mengacu pada citraan suara (audial) sebagai suatu komposisi musik, sedangkan kata “hijau” mengacu pada citraan visual sebagai salah satu warna yang dapat kita lihat. Dengan memadukan keduanya, judul puisi ini memaksa kita untuk mengubah pencerapan/persepsi kita yang biasa terhadap musik. Biasanya kita mencerap musik sebagai suara, tetapi judul puisi ini meminta kita mencerapnya sebagai sesuatu yang visual, yaitu sebagai warna hijau.

Percampuran dua citraan ini juga membawa dampak pada penawaran makna baru terhadap kata “hijau” itu sendiri. Kita tidak mungkin lagi menafsirkan “hijau” di sini dengan makna yang biasa disematkan pada kata “hijau”, seperti kesejukan atau keasrian alam karena biasanya kita menghubungkan hijau dengan warna dedaunan di taman, kebun, atau hutan. Atau, kita tidak mungkin mengartikannya sebagai warna hijau pada lampu lalu lintas karena asosiasi ke arah itu tentu saja sama sekali tidak romantis.

Lantas, ke mana asosiasi makna yang diinginkan oleh kata “hijau” dalam judul puisi ini? Kita harus menghubungkannya dengan isi/makna puisinya itu sendiri karena, seperti yang saya kemukakan di atas, teknik percampuran citraannya meminta kita untuk memberi makna baru dan makna baru itu hanya bisa kita cari dari konteks yang paling dekat, yaitu isi puisinya. Jadi, saya kira, penafsiran yang paling mungkin untuk kata “hijau” di sini adalah kerinduan. “Serenada Hijau” berarti “Serenada Rindu”. Pemaknaan baru ini meminta kita membayangkan bahwa kerinduan itu tidak hanya ada iramanya, yaitu seperti sebuah serenada, tetapi juga ada warnanya, yaitu hijau.

Sebagai informasi tambahan, penafsiran atas warna hijau di sini tetap perlu dihubungkan dengan puisi Rendra yang lain yang diterbitkan dalam kumpuan puisi Empat Kumpulan Sajak, terutama dalam kumpulan yang pertama, yaitu “Mazmur Mawar”. Beberapa puisi di bagian itu memang diberi judul dengan menggunakan kata yang mengacu pada warna, yaitu biru, violet, putih, hitam, kelabu, dan merah padam. Apakah maknanya hanya perlu ditafsirkan dalam kaitan dengan isi masing-masing puisi itu saja ataukah perlu juga ditafsirkan berdasarkan keterkaitan antar-puisi? Tentu saja, diperlukan pembahasan tersendiri pada lain tulisan.

(4) Kesimpulan

Nah, kita sudah membongkar peralatan estetis yang digunakan dalam puisi “Serenada Hijau” karya Rendra sekaligus efek estetisnya. Sebagai penutup, saya ringkaskan beberapa butir penting.

  • Dalam penataan baris, puisi ini menggunakan perulangan (repetisi) bunyi suku kata, seperti aliterasi, asonansi, dan rima. Selain itu, digunakan pula variasi jumlah suku kata antar-baris.
  • Dalam penataan bait, puisi ini memadukan penggunaan jalan cerita dan tempo irama serenada untuk mengikat hubungan antar-baitnya. Ikatan ini didukung pula dengan penggunaan repetisi metafora untuk mempercepat tempo dan personifikasi untuk memperlambat tempo.
  • Dalam pemberian judul, puisi ini menggunakan teknik percampuran citraan audial dan visual yang memungkinkan munculnya makna baru pada kata “hijau”, yaitu sebagai kerinduan.
  • Dengan menggunakan peralatan-peralatan estetis tersebut, puisi ini berupaya mencapai efek estetisnya, yaitu terpadunya pengalaman kerinduan yang menggebu pada kekasih menjadi sebuah pengalaman irama serenada yang romantis. Dengan kata lain, pengalaman kerinduan diubah menjadi pengalaman musikal kata-kata yang membawa suasana romantis.

Melalui analisis stilistika di atas sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa puisi Rendra tersebut berhasil secara estetis karena mampu menggunakan beragam peralatan estetis puisi menjadi suatu keutuhan yang padu sehingga pengalaman kerinduan yang terkandung di dalamnya dapat terungkapkan secara unik dan mempesona.

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.