#KKL-SASINDO-UNJ-2024

Tradisi Kebersamaan di Kampung Budoyo Ketawanggede

Tiara Rahmayanti
Estafet
Published in
6 min readMay 31, 2024

--

Senin, 22 Mei 2024, kami berkesempatan mengunjungi salah satu tempat penuh cerita yang ada di kota bunga, Malang, Jawa Timur. Mulanya kami tidak berharap banyak. Kami kira ini hanya akan menjadi kunjungan KKL (Kuliah Kerja Lapangan) yang biasa saja, tetapi nyatanya kami mendapatkan sambutan kehangatan, kegembiraan, keakraban pertemuan, musik yang riang, dan tentu saja suguhan makanan khas yang enak. Rasanya seperti sedang berada di acara resepsi perkawinan alias kondangan. Dan, yang menjadi mempelainya adalah justru kami sendiri.

Papan sambutan untuk kami di gapura Kampung Budoyo Ketawanggede. (Dok. Tim KKL)

Gang Kecil Berhati Besar

Tempat unik yang kami kunjungi ini terletak di Jalan Kerto Pamuji, RT 01/RW 03, Ketawanggede, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur. Sekitar pukul tiga sore kami tiba di tempat yang diberi nama “Kampung Budoyo Ketawanggede” ini. Ketika kita mulai memasuki area utama Kampung Budoyo, kita akan melihat sebuah batu yang ditatah menunjukkan identitas dan alamat Kampung Budoyo. Seperti halnya kampung di dalam gang, tempatnya jauh dari kata luas. Namun, kampung ini ditata dengan sangat apik, memainkan kesan budaya tempo dulu yang nyaman, asri, dan segar, membuat kita ingin langsung berswafoto.

Batu yang ditatah seperti prasasti yang menjadi penanda lokasi Kampung Budaya Ketawanggede. (Dok. Tim KKL).

Warga kampung menyambut kami dengan hangat. Hari itu mereka, orang-orang tua hingga anak-anak kecil, mengenaikan pakaian tradisional: yang wanita mengenakan kebaya, yang pria memakai surjan. Kami disambut oleh alunan musik yang dinyanyikan dan dimainkan oleh grup musik Nyelentang Krontjong.

Setelah sepatah dua patah kata sambutan dari pewara, Pak Hepi Susilo sebagai ketua RT 01, dan Pak Yanto Catur selaku ketua Kampung Budoyo, kami dibawa berkeliling di perkampungan, ada Omah Ijo sebagai titik kumpul. Di sepanjang jalan tampak beraneka ragam barang seni dan ornamen khas Jawa, seperti gamelan, wayang, gambar batik, topeng Malangan, dan lain-lain. Di setiap gang dibangun ikon khusus. Misalnya, di gang pertama ada ikon Semar, gang kedua Bagong, dan seterusnya. Setiap gang juga menghasilkan produk sendiri yang menjadi ciri khas Kampung Budoyo yang dibuat oleh para ibu PKK.

Hiasan di sudut-sudut Kampung Budoyo Ketawanggede. (Dok. Tim KKL)

Pada sesi selanjutnya, Mas Mukti — yang akrab dipanggil Pepel — dari tim kreatif dan Mas Tio dari tim produksi Kampung Budaya bersedia menemani sesi bincang-bincang bersama kami. Menurut Mas Pepel, Kampung Budoyo punya adat dan budaya yang selama ini terpendam. Mereka berupaya menggali dan mempertunjukkannya pada tahun lalu melalui acara festival budaya di kampung tersebut. Walaupun sempat diragukan, ternyata tanggapan baik mulai bermunculan saat pertama kali diadakannya kegiatan festival itu.

Festival perdana mereka yang bertepatan dengan acara Agustusan 2023 dimeriahkan oleh para pegiat seni setempat dan berbagai produk UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Harapan mereka, Kampung Budoyo ini dapat menjadi jembatan, peluang, dan wadah berkreasi bagi siapa pun, kaum muda maupun tua. Mereka terasa tidak berjarak dalam menciptakan kebersamaan karena memegang teguh komunikasi antar-warga.

“Kami saling menghimbau agar terus menanamkan prinsip ke pelaku UMKM bahwa Kampung Budoyo itu bagai perahu, jadi mereka jugalah yang mendayung. Mereka bekerja sama mempromosikan kegiatan ini sehingga jikalau kegiatan ini sukses, kesuksesan tersebut adalah kesuksesan bersama,” tutur Mas Pepel.

Kegiatan yang menjadi fokus bagi Kampung Budoyo dimulai dari workshop, pertunjukan budaya, dan dolanan anak-anak. Di kampung ini ada tokoh bernama Mbah Jo yang masih melestarikan permainan dengan konsep dolanan atau permainan anak zaman dulu, seperti Padang Bulan (lirik lagu dua bahasa: Jawa dan Arab), engklek, dan wayang suket dari rumput alang-alang. Ada pula hiburan musik, seperti Nyelentang Krontjong, Band Keroncong Malang, dan perkusi Malang. Menyampaikan pesan budaya melalui cerita juga dijadikan cara yang utama. Ini mereka lakukan melalui pertunjukan wayang. Biasanya mereka bercerita tentang kebudayaan-kebudayaan yang terlupakan dalam sejarah Jawa dan sejarah nasional. Tak hanya itu, mereka bercerita dengan menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Malangan dengan harapan agar generasi muda di sana tidak melupakan bahasa daerah.

Menurut Mas Pepel, Kampung Budoyo berusaha mengusung tema budaya yang dikemas dalam konsep hiburan, nostalgia, dan dibalut dengan unsur pesta rakyat. Meski usia Kampung Budoyo ini memang terbilang masih muda, belum genap satu tahun, mereka memiliki visi dan misi yang kuat untuk mengingatkan kita pada budaya kebersamaan dan persatuan Indonesia.

Dalam menyelenggarakan kegiatannya, Kampung Budoyo belum bekerja sama dengan sponsor mana pun. Mereka hanya mengandalkan dana dari warga sekitar karena mereka juga yang mengelola Kampung Budoyo secara keseluruhan.

“Ayo Rek, kumpuli uang buat kampung!”

Semangat kebersamaan warga itulah yang mendorong perkembangan kegiatan Kampung Budoyo di tengah hiruk-pikuk kehidupan urban kota Malang. Mereka senang kegiatan tersebut terus berjalan. Tidak dipungkiri pula Kota Malang merupakan satu dari banyaknya kota pendidikan di Indonesia. Hal ini juga didukung oleh posisi strategis wilayah Ketawanggede sendiri yang berada di persilangan kampus-kampus besar, seperti UB (Universitas Brawijaya), UIN (Universitas Islam Negeri) Malang, dan UM (Universitas Negeri Malang). Karena itu, warga Kampung Budoyo juga berupaya mengajak para mahasiswa sebagai kalangan muda untuk terus belajar lebih jauh mengenai kesenian dan kebudayaan milik kita bersama.

Kehangatan Tak Terlupakan

Hari hampir senja. Kami diajak menemui ibu-ibu yang dengan gembira mengajari kami menorehkan malam ke permukaan kain. Para ibu ini sehari-hari aktif mengembangkan kegiatan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga). Bersama mereka, kami belajar menuliskan tanda tangan di kain putih dengan canting yang biasa digunakan utnuk membatik. Setelah cukup kering, kain tanda tangan itu kemudian diserahkan kepada kami sebagai kenang-kenangan.

Senja makin turun. Kini kami diajak mencicipi beragam makanan tradisional yang sudah siap disuguhkan. Kami bingung mana dulu yang harus dicicipi. Di sebelah sini ada jajanan pasar lawas, seperti klepon, kue nagasari, dan gatot. Di sebelah sana ada pula makanan khas yang mirip urap. Mereka menyebutnya “trancam”. Trancam berisikan sayur-sayuran berupa kacang panjang, timun, daun kemangi, dan tauge. Lalu disajikan dengan bumbu halus dan parutan kelapa tua. Tidak jauh dari trancam, tersedia pula berbagai lauk, nasi, dan sego jagung. Yang paling menggiurkan justru minuman jejamu yang ternyata sangat menyegarkan. Tidak heran, cepat sekali ludes.

Para ibu di Kampung Budoyo selalu ingin dilibatkan dalam kegiatan apa pun, apalagi urusan konsumsi untuk para pengunjung. Bukan hanya ingin diikutsertakan, mereka juga menjadi garda terdepan ketika memperkenalkan makanan tradisional khas Malang yang mereka sajikan. Senyum dan kehangatan mereka sungguh tak terlupakan.

Para ibu PKK warga Kampung Budaya mendemonstrasikan pada kami bagaimana membatik (kiri). Suguhan makanan yang langsung membuat lapar para peserta KKL (tengah, kanan). (Dok. Tim KKL).

Selama proses produksi, menurut Mas Tio, belum ada tantangan yang menyulitkan. Namun, tentunya tidak ada kebersamaan yang sempurna. Ada saja hal-hal yang bisa menimbulkan konflik, entah itu karena perbedaan pendapat atau kesalahpahaman. Kadang juga dipicu oleh persaingan. Untungnya, dengan tetap mengedepankan dialog dan musyawarah, hambatan seperti itu dapat diatasi.

Malam mulai beranjak larut. Setelah makan malam, sambil bersantai ditemani minuman segar, kopi, dan camilan, kami mendengarkan cerita tentang tari topeng Malangan yang disampaikan oleh Pak Handoyo serta pentingnya kebersamaan dan persatuan dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia oleh Ki Ardhi.

Kegembiraan dan kehangatan seakan tak berhenti. Warga Kampung Budoyo menyuguhkan acara terakhir: konser intim bersama Nyelentang Krontjong. Diiringi alunan keroncong, kami bersama-sama menyanyikan sekitar 10 lagu tanpa kenal lelah, mulai dari lagu masa kini, tradisional, dangdut, sampai lagu “Bento”-nya Iwan Fals. Malam itu, kami merasa tidak lagi hadir sebagai tamu, melainkan sudah seperti teman jauh yang menghabiskan waktu seharian bertukar banyak cerita. Grup Nyelentang Krontjong menutup acara dengan lagu “Sampai Jumpa” milik Endank Soekamti dan Rungkad yang diteriakkan penuh semangat oleh kami, warga, dan siapa pun yang hadir di sana.

Sampai Jumpa!

Seusai konser, kami berpamitan sembari menyalami seluruh warga yang hadir menemani. Bagi kami, Kampung Budoyo tidak hanya tempat singgah, tapi juga ruang kebersamaan yang hangat penuh cerita. Sebagai kaum muda, kami mendapatkan pelajaran bahwa melestarikan budaya tidak hanya tentang mempertahankan tradisi dan nilai-nilai lama, tetapi juga memadukannya dengan kehidupan nyata saat ini.

Mas Pepel berpesan untuk kaum muda, “Budaya kita indah. Kalau bukan kita, siapa lagi yang merawatnya.”

Matur nuwun sanget, Kampung Budoyo Ketawanggede. Sampai berjumpa lagi!

Tim kami berfoto bersama Mas Pepel dan Mas Tio. (Dok. Tim KKL)

Tim KKL-Mitra Kampung Budoyo
Annisa Nur Rahma, Firjadilla Awandani, Lathifah Nur Awwaliyyah, Nurfitria Hanifah, Desma Safitri Putri Hermalinda P, Novia Rahma, Salma Faida Amaliasari, Tiara Rahmayanti, Farhan Hafiz Imani, Rahmah Yulia, Nisrina Qanita, Kezia Katherine, Yalsa Awalita, Arsyl Hafidz Al Azizy, Tyas Krisna Wulan.

--

--