#KKL-SASINDO-UNJ-2024

Wahana Baca: Praktik Intervensi Ruang oleh Masyarakat Sipil

Arrneto Bayliss
Estafet
Published in
4 min readMay 31, 2024

--

Wawancara tim KKL Sastra Indonesia UNJ bersama komunitas literasi Wahana Baca. (Dok. Tim KKL)

Sudah banyak dikemukakan orang bahwa tingkat literasi di Indonesia masih rendah. Menurut survei yang dilakukan oleh PISA (Programme for International Student Assessment) yang mengukur hasil belajar yang mendasar untuk keberhasilan pada abad ke-21, Indonesia pada tahun 2022 menduduki peringkat ke-69 dari 81 negara yang didata. Ironisnya, situasi buruk ini malah diperparah oleh faktor menyempitnya ruang sosial karena ekspansi kapital. Tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana praktik literasi yang dilakukan oleh Kolektif Wahana Baca di Pasuruan, Jawa Timur, dapat dilihat sebagai upaya untuk merbeut kembali ruang publik yang makin menyempit itu.

Ruang Publik yang Terkikis

Dalam pengantar salah satu edisi Jurnal Pemikiran Sosiologi, dikemukakan bahwa bahwa logika pembangunan ruang saat ini, khususnya ruang kota, tidak berpihak kepada masyarakat, tetapi justru lebih kepada pemilik modal sebagai bagian dari ekspansi ekonomi. Dalam konteks itu, terdapat selubung narasi yang merupakan praktik hegemoni wacana yang begitu kuat oleh pemodal sehingga menihilkan ruang-ruang sosial (public space) yang seharusnya dapat diakses oleh masyarakat.

Dampaknya terhadap spektrum budaya literasi dapat dilihat dengan jelas, yaitu sedikitnya ruang publik seperti perpustakaan yang dapat diakses masyarakat secara praktis. Menurut laman The Conversation, perpustakaan yang ada di Indonesia saat ini baru mencapai 154.000 atau hanya memenuhi 20% dari kebutuhan nasional. Kekurangan perpustakaan ini terdiri diantaranya dari perpustakaan umum (baru 26% dari kebutuhan 91.000) dan perpustakaan sekolah (baru 42% dari kebutuhan 287.000). Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan keberadaan pusat perbelanjaan, kafe, dan segala bentuk ruang bisnis lainnya.

Akibat dari banyaknya ekspansi ruang oleh kapitalisme yang berujung ke konsumerisme itu, muncullah satu fenomena massifikasi individualistik yang tak berujung. Menurut penelitian yang berjudul “Konsumerisme, Etika Romantis, dan Kultus Diri: Telaah Ringkas Pemikiran Colin Campbell, alur masyarakat konsumerisme terjadi karena subjek kekuatan pasar yang pasif, dimanipulasi dan dieksploitasi. Mengamini gagasan Karl Marx, sosiolog Amerika ini juga menyoroti bahwa orientasi masyarakat yang teralienasi diakibatkan oleh pesatnya industrialisasi. Pada akhirnya masyarakat mencari pelarian ke dalam konsumsi untuk mencari pemenuhan kreatif, menihilkan berbagai isu-isu sosial yang padahal dekat dengan persoalannya.

Guna melawan narasi dominan itu, Wahana Baca sebagai kolektif literasi menggelar lapak baca di tengah-tengah kota, di Taman Kota Pasuruan. Mereka berupaya menjadikannya ruang publik.

Habermas dan Ruang Publik

Ruang publik (public sphere) adalah konsep yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman, pertama kali pada tahun 1962 melalui bukunya yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere. Habermas menyoroti perkembangan beberapa tempat berkumpulnya masyarakat Eropa abad ke-18, di wilayah Inggris dan Prancis. Menurut Habermas, ruang publik yang ada di abad ke-18 bertujuan untuk memediasi urusan privat individu dalam hubungan keluarga, ekonomi, dan sosial, kemudian dibenturkan dengan kepentingan sosial dan publik. Baginya, upaya penciptaan ruang publik bertendensi untuk mengatasi kepentingan dan opini privat demi menuju konsensus sosial.

Habermas memberikan beberapa persyaratan objektif terbentuknya ruang publik: (1) Ruang publik merupakan wilayah sosial yang menjamin masyarakat untuk berkumpul guna mengekspresikan ide dan gagasan tanpa ada perasaan tertekan dari pihak mana pun; (2) Karena yang diutamakan adalah pertukaran informasi, individu dapat menjelaskan secara eksplisit argumentasi atau pandangannya kepada publik; (3) Ruang publik diciptakan dengan opini publik, entah melalui ruang abstrak maupun fisik di luar kendali pemerintah; (4) Tidak ada perlakuan istimewa terhadap peserta diskusi atau tiadanya dominasi kelompok, setiap anggota memiliki kesetaraan dalam proses wicara; (5) Ruang publik didedikasikan untuk debat rasional.

Jadi, rasionalitas dan komunikasi menjadi ciri penting dalam penciptaan ruang publik. Menurutnya, rasionalitas mengacu pada satu kerangka berpikir dari individu tanpa melibatkan wacana kekuatan. Rasionalitas bersumber dari pengalaman empirik atau logika individu dalam menalar satu persoalan. Ketika dilemparkan ke ruang publik, rasionalitas individu memerlukan komunikasi. Habermas mengerucutkan mekanisme tersebut ke dalam pendefinisian yang bernama rasio komunikasi. Hal itu dilakukan supaya komunikasi yang terjalin di ruang publik bersandar pada orientasi penyelesaian masalah dengan persyaratan objektif rasionalitas.

Atas dasar paradigma baru itu, Habermas ingin mempertahankan isi normatif yang terdapat dalam modernitas dan pencerahan kultural. Isi normatif modernitas adalah apa yang disebutnya rasionalisasi dunia-kehidupan dengan dasar rasio komunikatif. Dunia kehidupan terdiri dari kebudayaan, masyarakat, dan kepribadian. Rasionalisasi dunia-kehidupan ini dimungkinkan melalui tindakan komunikatif.

Wahana Baca: Upaya Mengintervensi Ruang

Kolektif Wahana Baca didirikan pada tahun 2017 di Pasuruan, Jawa Timur. Kolektif ini didirikan untuk mewadahi masyarakat Pasuruan yang ingin membaca buku. Tiap hari Sabtu, Wahana Baca hadir di Taman Kota Pasuruan.

Kolektif ini bergerak dengan orientasi pengabdian pada masyarakat. Mereka membuka lapak baca yang segmentasinya ke semua kalangan umur. Dapat dilihat dari variasi buku yang disediakan, seperti teknik mewarnai dan membaca bagi anak, pemikiran pakar, buku fashion, novel, dan lain-lain.

Selain itu, Wahana Baca juga mengadakan diskusi, bedah buku, bedah film, dan pertunjukan sastra. Mereka juga mempublikasi zine setiap bulan dengan konten kritik sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dalam momen tertentu, Wahana Baca mengadakan acara makan bersama, berjualan kaos, membuat posko kesehatan, bahkan pangkas rambut gratis.

Uniknya, kolektif ini tidak memiliki struktur keanggotaan yang tetap. Menurut penuturan salah satu anggotanya, Putra, hal itu dikarenakan kolektif ini tidak pernah memaksa siapa pun untuk terlibat. Menurutnya, di kolektif ini hanya ada dua kategori anggota, yaitu yang sering datang dan yang tidak datang.

Para anggota di Wahana Baca juga memiliki organisasi lain yang bisa dianggap seperti divisi, seperti yang beraliran Marxisme, Anarkisme, Trotskyisme, dan lain-lain. Dari segi profesi, anggota Wahana Baca berasal dari unsur yang beragam, seperti mahasiswa, buruh konveksi, buruh serabutan, peserta didik SMA, pegiat musik, dan sebagainya.

Dari agenda dan sikapnya, kehadiran kolektif ini dapat dikatakan sebagai proses penciptaan ruang publik. Selain itu, Wahana Baca dapat dikatakan sebagai ruang yang bebas dari intervensi pemerintah karena dari awal terbentuknya hingga sekarang, mereka tidak pernah bekerja sama dengan pemerintah. Keanggotaan Wahana Baca yang terdiri dari banyak kalangan memungkinkan terjadinya proses komunikasi rasional karena semuanya dipandang setara. ^^^

--

--