Immigrant Mentality: Mengapa para pendatang cenderung lebih sukses!

obed nugroho
Etsah
Published in
3 min readApr 6, 2018
immigrant mentality

Sering lihat mengapa pendatang lebih sukses dari pribumi? Gojek dibuat keturunan pendatang, Yang punya perusahaan keturunan ini, yang punya start-up biasanya orang keturunan itu. begitu juga kita sering dengar taipan, sembilan naga, dan lagi-lagi pendatang.

Mengapa pendatang cenderung lebih sukses dari pada pribumi, alasannya adalah Immigrant Mentality atau bahasanya dalah mental perantau. Immigrant Mentality sudah banyak dibahas di internet bahkan menjadi sebuah buku. Sebenarnya juga bukan hal baru bagi kita, konsep ini adalah hal lama yang seringkali orang tidak sadar saja.

Orang sukses sering mengatakan bahwa untuk sukses kita harus meninggalkan comfort zone kita. yah benar sekali, cuma comfort zone itu kayak menikmati kopi di sofa enak, ada wi-fi, dan colokan listrik. lengkap sudah! mau pindah.

Tapi para pendatang ini tidak duduk di sofa seharian, kalo cuma duduk manis tentu mereka tidak akan punya atap diatas kepala dan makanan diatas meja. Ada yang harus dikorbankan, yaitu kenikmatan, ego dan kemapanan.

Yang pertama kenikmatan rasanya ada atap di kepala tanpa harus mengeluarkan uang, ada makanan gratis, dan low stress level adalah nikmat tiada tara. leluhur kita bilang “Bersakit-sakit dahulu baru bersenang-senang kemudian” dan tidak dibalik.

Berikutnya Ego, manusia mana yang tidak mau dihormati, orang menunduk permisi dihadapan kita, semua bicara bagus-bagus tentang kita, semua setuju dan selalu ya terhadap apa yang kita mau tanpa susah-susah memperjuangkannya. Tapi untuk kesuksesan adalah buah dari masalah. Kepuasan hidup bukan berasal dari semua ada secara instan melainkan dari bagaimana kita menyelesaikan tantangan hidup.

Dan kemapanan, singkatnya comfort zone itu kemapanan, yang sudah mapan itu enak, beneran deh. Kata mapan berarti mantap, tidak goyah (KBBI), namun bagi orang jawa mapan berkonotasi dengan arti mapan turu yang bisa berarti leyeh-leyeh bobok atau orang Manado mengartikannya cari tidor!.

lalu bagaimana caranya mendapatkan mentalitas ini? nah ini 3 cara yang saya pelajari dari berbagai sumber, mungkin bias karena saya filter sendiri.

  1. Lompat dalam situasi yang baru, yang memaksa kita untuk bertumbuh. Lingkungan yang kita cintai itu lama-lama menjadi sofa yang nyaman. Melenakan kita untuk bertumbuh, untuk belajar hal baru, lupa caranya beradaptasi. Tidak harus keluar dari pekerjaan sekarang, atau pindah daerah dan sebagainya. Bisa dengan menambahkan hal baru dalam rutinitas kita. Atau mencoba hal yang baru seperti membuat usaha, gabung dengan komunitas yang mengusung kausa penting, atau memberikan diri untuk nilai-nilai yang lebih tinggi.
  2. Pokoknya kerja adalah identitas kita. Para pendatang yang sukses tidak punya jaminan akan suskses ditempat dimana mereka merantau, sama sekali tidak ada garansi. Yang ada mereka datang dengan visi dan ide dan lakukan saja. Lakukan apa yang kita tahu dan lakukan untuk mengisi perut dan atap untuk tidur di malam. Mereka mungkin datang sebagai orang bodoh dengan pendidikan yang rendah, tapi kerja keras, kesabaran dan iman yang kokoh dapat memindahkan gunung.
  3. Taruh egomu dulu. Perantau menempati strata rendah pada saat mereka datang. Tidak ada kemampuan ekonomi, modalitas sosial, la wong makan aja susah. Biasanya mereka perantau mau melakukan pekerjaan apa saja yang bisa menyelamatkan hidupnya dari perut lapar. Tidak ada gengsi bagi mereka karena “Gengsi malahan membuat hidupmu tidak bergensi”. Kritikan pedas, cibiran, dan ledakan emosi dari atasan adalah kerikil kecil. Karena para perantau biasanya punya Self-adjustment yang cukup baik. Nah menyesuaikan diri ini langkah pertama untuk memulai yaitu mau meletakan ego.

Ya begitulah, saat menulis inipun saya mengevaluasi diri apakah saya sudah kehilangan mentalitas perantau atau saya sudah terlalu nyaman ditempat ini? Setidaknya saya kembali memikirkannya.

bahwa

Hidup berbuah

urip urup!

--

--