Rapport-Building : Membangun Keakraban

obed nugroho
Etsah
Published in
3 min readJun 12, 2014

Bayangkan anda memasuki sebuah ruangan konseling dan anda harus bercerita banyak hal tentang pribadi anda kepada orang yang bisa jadi untuk kali pertama anda temui, pasti rasanya kaku. Tapi inilah faktanya konseling. Seorang konselor bertemu dengan konseli dan melakukan pembicaraan yang personal. Tentu sangat kaku apabila kita berbicara pribadi kita kepada seseorang yang belum akrab dengan kita.

Lalu bagaimana bisa konseling dapat berjalan apabila tidak ada keakraban antara konselor dan konseli? Sudah menjadi tanggung jawab dan keahlian konselor untuk mempunyai keahlian khusus untuk membangun hubungan baik dan akrab dalam istilah konseling sering disebut Rapport.

Tanpa ada hubungan yang baik dan akrab pasti akan menyulitkan konseli untuk terbuka dan mencerita apa yang dia alami, pikirkan dan rasakan. Keakraban (rapport), merupakan syarat yang sangat pokok demi terbinanya hubungan yang nyaman antara konselor dan konseli. Keakraban ini akan tumbuh dan terus-menerus terjaga bila konselor benar-benar menaruh perhatian dan menerima konseli dengan baik.

Perhatian dan penerimaan yang murni (tidak palsu) ini sebenarnya tidak bisa dilaksanakan, ataupun direncanakan, ataupun dibuat-buat. Seorang konselor yang memaksakan dirinya menaruh perhatian dan menerima klien, atau (karena terpaksa) dengan sengaja merencanakan bentuk-bentuk perhatian dan penerimaan terhadap konseli, maka wujud perhatian dan penerimaan itu akan tidak wajar, dan ketidakwajaran ini akhirnya akan mewarnai hubungan itu sendiri. Keakraban yang murni dan wajar ditandai oleh adanya perhatian, tanggapan, dan keterlibatan perasaan secara tulus.

Keakraban ini lebih dalam dari sekedar mengucapkan salam atau sekedar mengenakkan hati konseli saja. Lebih jauh dari itu, keakraban merupakan kesatuan suasana hubungan yang ditandai oleh adanya rasa kerasan, keharmonisan, saling mempercayai, kerjasama, kesungguhan dan ketulusan hati, dan perhatian. Kesulitannya bahwa ciri-ciri suasana keakraban seperti ini amat sukar diukur, amat sulit diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk tindakan yang nyata, dan amat sukar dibuat petunjuk pelaksanaannya (resepnya). Satu-satunya “resep” yang dapat dikemukakan disini ialah: Konselor hendaknya memiliki kehendak hati yang kuat untuk menerima, memperhatikan, dan mendengarkan orang lain (konseli). Keakraban yang murni adalah tanpa pamrih.

Sebelum sesi dimulai konselor perlu mempersiapkan diri untuk membangun yang akrab dengan konseli, apa saja yang perlu dilakukan:

  1. Melakukan persiapan untuk sesi konseling yang akan dilakukan; tidak terburu-buru, siap, dan siap untuk bersama-sama dengan konseli. Meletakan semua hal dan masalah pada diri sendiri untuk fokus kepada konseli sepanjang sesi konseling.
  2. Membuat lingkungan yang aman dan penuh kepercayaan: menyediakan tempat yang nyaman bersih, rapi dan mungkin secangkir the, bebas gangguan serta suara tidak keluar dari ruangan.
  3. Tahu siapa konselinya. Kembali mengingat konseli yang dilayani, siapa namanya, mengingat kembali kunci masalah. Sejenak lihat dan pelajari kembali catatan di sesi terakhir.

Sofyan S.Willis (2004) mengemukakan adanya 3 hal bagaimana seorang konselor menciptakan rapport:

  1. Pribadi konselor harus empati, merasakan apa yang dirasakan konseli. Dia juga harus terbuka, menerima tanpa syarat dan mempunyai rasa hormat dan menghargai.
  2. Konselor harus mampu membaca perilaku non verbal konseli, terutama yang berhubungan dengan bahasa lisannya.
  3. Adanya rasa kebersamaan, intim, akrab dan minat membantu tanpa pamrih (genuine). Artinya ada keiklasan dan kejujuran pada diri konselor.

Referensi :

Willis, S. Sofyan,. 2004. Konseling Individual. Teori dan Praktek. Bandung:

CV. Alfabeta.

--

--