Kisah Ronggeng Dukuh Paruk: Sentuhan Magis dari Ahmad Tohari

Muhammad Fachri Bisyir
Eureka Edutech
Published in
6 min readNov 14, 2023
Photo by Mazaya Annaptashafa on Unsplash

Kenal Sapardi Djoko Damono dari puisinya? Suka Pramoedya Ananta Toer dengan novel-novelnya? Tahu William Shakespeare melalui dramanya? Ketiga bentuk karya yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh tersebut merupakan sebuah karya sastra. Sastra secara fundamental adalah sebuah cipta seni yang membangkitkan pesona dengan bahasa sebagai alatnya. Sebagai sebuah cipta seni, sastra memiliki nilai keindahan tinggi dan fungsi. Karya sastra berfungsi mengomunikasikan ide dan menyalurkan pikiran serta perasaan penulisnya. Jenis sastra kemudian terbagi atas tiga, puisi, prosa, dan drama.

Novel merupakan salah satu bentuk dari prosa. Novel dapat didefinisikan sebagai salah satu karya sastra yang memiliki dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Di dalamnya juga tertuang akan nilai kehidupan dari sosial, budaya, moral, dan pendidikan. Pada ulasan kali ini, kita akan mengulas salah satu novel karya Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Novel ini terbit pertama kali pada tahun 1982 dengan penerbit Gramedia Pustaka Utama. Ronggeng Dukuh Paruk awalnya merupakan trilogi yang terbagi atas tiga buku, Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala. Hingga kemudian menjadi satu buku dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk pada tahun 2011.

Tema besar pada novel Ronggeng Dukuh Paruk berkaitan dengan kepercayaan dan kebudayaan serta sedikit menyentuh ranah aspek sosial dan politik. Novel ini secara keseluruhan menguak kepercayaan masyarakat Dukuh Paruk yang secara turun-temurun dilestarikan seperti aturan penyembahan kepada makam Ki Secamenggala yang diyakini sebagai nenek moyang mereka. Seperti yang termuat pada kutipan berikut

“… Semua orang Dukuh Paruk tahu Ki Secamenggala, moyang mereka dahulu menjadi musuh kehidupan masyarakat. Tetapi mereka memujanya. Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka …” (Ronggeng Dukuh Paruk, 10)

Tema berikutnya adalah politik. Ronggeng Dukuh Paruk juga menyentuh tema politik diperlihatkan ketika kekuasaan sangat menentukan status sosial seseorang di tengah masyarakat dalam cerita. Bagaimana pengaruh dari kekuasaan seseorang dapat membuat dirinya begitu disegani. Seperti dalam kutipan novel berikut “… Dalam wawasan mereka semua priayi adalah sama, yakni tangan kekuasaan. Setiap priayi boleh datang atas nama kekuasaan, tak peduli mereka adalah hansip, mantri pasar, opas kecamatan, atau pejabat dinas perkebunan negara seperti Marsusi…” (Ronggeng Dukuh Paruk, 294). Dari kutipan tersebut membuktikan bahwa pendidikan di Dukuh Paruk yang demikian begitu memprihatinkan sampai-sampai jalinan tingkat birokrasi kekuasaan mereka tidak ketahui. Jalannya cerita akan mungkin sangat unik, dan berbeda apabila masyarakat Dukuh Paruk atau pemangku kekuasaan yang “dituakan” di sana seperti Sakarya, Kartareja, dan Nyai Kartareja paham akan sistem birokrasi kekuasaan.

Aspek politik lainnya selain bagaimana pengaruh kekuasaan demikian superioritasnya kala dipertemukan yang “berkuasa” dan “marginal”, terdapat juga aspek politik ketika novel ini secara tak langsung memperlihatkan kekejian politik atas rakyat yang tidak bersalah. Seperti penggambaran Dukuh Paruk yang pada awalnya demikian tentram hingga malapetaka terjadi di kurun tahun menjelang 1964 hingga tahun 1966. Jika kita tarik garis historis negara kita, tahun tersebut adalah masa di mana gejolak politik nasional sedang dalam masa krisis-krisisnya. Kegemparan seruan revolusi oleh para komunis untuk menggulingkan kekuasaan pemerintah pusat tergambarkan di sini, walaupun novel ini secara tegas berdiri sebagai karya fiksi. Namun, banyak pihak juga yang beranggapan bahwa novel ini secara tersirat juga menguak tabir kehidupan rakyat yang menjadi korban atas keberingasan masa tersebut. Seperti ketika Kartareja diberikan catatan lagu kepada tim Ronggeng Dukuh Paruk mentas di Kecamatan Pecakilan untuk memeringati hari kemerdekaan. Lirik tersebut semacam terdapat penambahan atau perubahan di dalamnya yang memuat unsur gerakan komunis seperti dalam kutipan novel ini “… Kartareja merasakan keanehan karena dalam lagu-lagu itu diselipkan kata ‘rakyat’ dan ‘revolusi’ kata-kata mana terasa kurang akrab dalam hatinya …” (Ronggeng Dukuh Paruk, 179).

Secara keseluruhan, alur novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah campuran dari maju disertai kilas balik. Alur merupakan rangkaian peristiwa yang menyusun sebuah struktur cerita, dapat diakibatkan atau dialami oleh tokoh di dalam cerita. Singkatnya, alur adalah deretan peristiwa yang membentuk cerita. Persitiwa tersebut di dalam alur mempunyai hubungan kausalitas sehingga menjadi kesatuan cerita yang utuh. Alur itu sendiri terbagi atas tiga jenis, yakni yang pertama terdapat alur maju dengan konflik, klimaks serta resolusinya berada di akhir cerita. Kedua adalah alur mundur, alur yang menguraikan masa lalu terlebih dahulu yang menjadi klimaks di bagian awal cerita, serta susunan atau urutan waktunya sendiri tidak runtut. Ketiga adalah alur campuran. Alur ini biasa disebut dengan alur maju-mundur. Yang mana alur ini diawali dengan ketegangan, kemudian bersinggungan dengan masa lalu, dan dilanjutkan hingga tahap penyelesaian. Pada cerita novel ini sendiri menggunakan alur atau plot campuran hal ini bisa dilihat pada tiap bagian novelnya. Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini menggunakan alur campuran yakni maju dan mundur. Yakni seperti kutipan pada novel berikut:

“…Dukuh Paruk dengan segalan isinya termasuk cerita Nenek itu hanya bisa ku rekam setelah aku dewasa. Apa yang ku alami sejak anak-anak kusimpan dalam ingatan yang serba sederhana…” (Ronggeng Dukuh Paruk, 32)

Mengapa kutipan ini dapat mempertegas alur cerita novel menjadi campuran? Dikarenakan kata “setelah” menunjukkan bahwa apa yang dijelaskan sebelum kata “setelah” ini ialah peristiwa kilas balik. Pada kutipan ini memang begitu adanya di mana sebelum kata “setelah” merupakan kilas balik kala nenek Rasus menceritakan kisah mendasari anak Dukuh Paruk yang menjadi yatim-piatu disebabkan peristiwa geger tempe bongkrek yang menewaskan banyak korban jiwa akibat keracunan. Dan setelah kilas balik tersebut cerita kembali bergerak maju ditunjukkan pengingatan kembali Rasus yang terjabarkan dalam kalimat tersebut menjadi tanda bahwa cerita berada pada taraf maju kembali.

“…Lebih baik sekarang kuhadapi hal yang lebih nyala. Srintil sudah menjadi Ronggeng di Dukuh Paruk…” (Ronggeng Dukuh Paruk,36)

Kutipan tersebut dapat dimaknai kalimatnya dengan menggunakan konsep berpikir kausalitas dan diakronis (berdasarkan waktu/ suatu peristwa pasti didahului sebuah peristiwa dahulu). Konsep kausalitas dan kerangka berpikir diakronis ialah bahwa jalannya cerita dari bagian kutipan novel menjelaskan sebab mengapa hati Rasus begitu risau karena Srintil tidak dapat lagi bermain dengannya lagi seperti dulu di bawah pohon nangka. Kini ada batasan yang menjembatani antara Rasus dan Srintil, karena Srintil juga menjadi pusat bagi semua orang di Dukuh Paruk setelah didaulat menjadi seorang ronggeng. Lalu apa hubungannya dengan alur maju, mundur atau campuran? Adalah secara tak langsung terdapat kilas balik dan alurnya kembali maju. Kilas baliknya terdapat pada kenyataan Rasus kalau Srintil menjadi ronggeng maka hubungan antara keduanya tidak begitu lagi dekat ketika dulu masih bermain bersama di bawah pohon nangka, berhubung Rasus adalah anak biasa Dukuh Paruk yang tidak memiliki apapun untuk mendekati seorang ronggeng. Lalu kembali maju saat momen Rasus mengingat hal tadi.

Namun yang unik di sini adalah bagaimana Ahmad Tohari mengemas alur cerita novel dengan kejadian atau peristiwa yang mengejutkan dan membuat pembacanya. Prediksi yang dapat “meleset” ketika membacanya menjadi keunikan yang Tohari hadirkan kepada para pembacanya. Praduga yang pertama ialah ketika Srintil menjadi jatuh cinta kepada Rasus sedemikian dalamnya. Sebagian pembaca saat melihat kesuksesan Rasus yang menjadi tentara, mereka akan berspekulasi dini. Bahwa pada akhirnya ketika Srintil melihat Rasus sudah berubah menjadi tobang, berakhir hanya cukup sekadar kagum saja berkat aksi heroiknya. Tetapi tidak demikian, Ahmad Tohari bertumpu kembali pada jalan cerita sebelumnya bagaimana membangun karakter Rasus yang begitu berbeda dengan kebanyakan laki-laki (begitu pemberani dan penyayang) menjadi nilai dasar Srintil menyukai Rasus sampai ingin membangun rumah tangga bersama. Walaupun terdapat faktor kuat juga naluri seorang perempuan untuk menjadi istri seorang tantara dalam kehidupan nyata.

Salah satu kelebihan novel ini menghadirkan nuansa perdesaan yang sangat mendetail dan konkret. Tohari sukses membawa pembaca untuk masuk ke dalam Dukuh Paruk yang sahaja dan penuh kemelaratan serta kebodohan para penghuninya. Sapardi Djoko Damono dalam majalah Tempo 19 Februari 1983 (dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia, n.d.) pun mengakui bahwa novel ini disebut seagai dongeng yang lebih lancar. Pendeskripsian tokoh sederhana yang ditampilkan seringkali sangat menarik. Lalu cerita menunjukkan perdesaan ini sangat menggantungkan kehidupan mereka dengan kehadiran seorang ronggeng. Adat kebiasaan memuja ronggeng hanya dimiliki oleh penduduk daerah ini. Di dalam cerita, kehadiran Srintil di luar daerah tidak lebih derajatnya dengan seorang wanita asusila. Berbagai nilai moral yang disampaikan oleh Ahmad Tohari turut menjadi kelebihan tersendiri dari novel ini. Salah satunya adalah mengenai beberapa kebudayaan yang kerap membawa hal negatif. Kebudayaan yang sudah dilestarikan secara turun-temurun memang sepatutnya dilestarikan. Namun, jika lebih banyak keburukan yang ditimbulkan, seperti merenggut harga diri seorang wanita akan lebih baik kebudayaan tersebut ditinggalkan.

Sementara itu, kekurangan yang terlihat dari novel ini bagi saya adalah penggunaan beberapa kosakata daerah yang tidak disisipkan catatan kaki. Khususnya penggunaan bahasa Jawa yang dapat membingungkan pembaca yang tidak memahaminya. Kata yang muncul seperti wulung, sengkang, ceplik, cunduk, sarwi, wungu, dhedompolan, gangsir, pelupuh, hingga kewes, misalnya, dapat membingungkan pembaca sehingga perlu memahaminya dengan konteks kalimatnya. Di tengah kekurangannya, hal tersebut masih dapat disiasati dengan konteks keutuhan kalimat dalam cerita novel sehingga masih tidak terlalu berdampak signifikan bagi pembaca untuk memahami keseluruhan isi cerita.

Demikian resensi novel salah satu masterpiece karya Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Novel ini sangat cocok bagi kamu yang ingin merasakan dinamika perdesaan yang penuh kompleksitas dan sarat akan budaya. Nilai-nilai seperti budaya, politik, dan moral yang disampaikan pun beragam hingga pembaca merasakan katarsis selepas membacanya. Bagaimana? Berminat membacanya?

Referensi

Ensiklopedia Sastra Indonesia. (n.d.). Ronggeng Dukuh Paruk (1982). Ensiklopedia Kemdikbud. https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Ronggeng_Dukuh_Paruk

Tohari, A. (2011). Ronggeng Dukuh Paruk. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

--

--