Sastrawan Eksil Indonesia, Terbuang dari Negeri Sendiri

Hadistian
Eureka Edutech
Published in
6 min readSep 6, 2022
ilustrasi karya sastra, pinterest-bahance.net

Banyak karya sastra Indonesia berlabel eksil yang bermula dari kondisi politik Indonesia pada era 1960-an. Kondisi politik Indonesia tidak stabil dan diiringi dengan memburuknya perekonomian yang mengalami hiperinflasi. Keadaan tersebut tidak menyebabkan Soekarno melupakan pendidikan anak bangsa, melalui program Mahasiswa Ikatan Dinas (Mahdi) pemuda-pemudi Indonesia dikirim ke berbagai negara untuk menempuh pendidikan. Tujuan yang diharapkan ialah ketika mereka kembali akan dapat membangun bangsa Indonesia menjadi lebih baik.

Soekarno juga membuat program duta ampera dengan peserta merupakan calon pegawai negeri sipil. Ribuan pemuda dikirim ke berbagai negara seperti Republik Rakyat Tiongkok, Rusia, Ceko, dan beberapa negara lainnya. Program ini berangsur padam ketika terjadi peralihan pemerintahan dari Orde Lama menuju Orde Baru yang sebelumnya terdapat peristiwa 30 September 1965. Peristiwa yang dikenal dengan Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) diafiliasikan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini juga mempengaruhi mahasiswa yang dikirimkan ke berbagai negara berhaluan ideologi komunis.

Mereka yang menempuh studi dan hanya hadir di berbagai acara negara Blok Timur menerima getahnya. Mereka tidak dapat kembali ke Indonesia setelah paspor yang digunakan dicabut oleh pemerintah Indonesia.

“Mereka tidak pulang ke Indonesia akibat paspor yang dicabut pemerintah atau memilih tetap tinggal di luar negeri karena rasa takut ketika mereka kembali akan ditangkap dan ditahan” tulis Henri Chambert-Loir dalam bukunya yang berjudul Sastra dan Sejarah Indonesia.

Chalik Hamid yang menjadi mahasiswa di Albania untuk menempuh studi sinematografi kehilangan kewarganegaraanya akibat diafiliasikan dengan peristiwa Gestapu. Ronny Marton mengalami nasib serupa tidak dapat kembali ke tanah air ketika masih menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di Praha, Cekoslovakia. Kondisi ini hampir dirasakan sebagian besar mahasiswa yang menempuh pendidikan di berbagai negara blok timur.

Dari kiri: Sungkono, Ibrahim Isa, Sarmadji dan Chalik Hamid, kini tinggal di Belanda

Hadirnya kisah pilu tersebut turut berpengaruh terhadap karya sastra anak bangsa Indonesia yang dikenal dengan sastra eksil. Istilah eksil ini bersumber dari bahasa latin “exsilium” (pembuangan) atau “exsul” (seseorang yang dibuang).

Kata eksil dapat diartikan sebagai kondisi seseorang yang dibuang akibat perbedaan politik dari negeri kelahiran ke negeri asing. Artian tersebut digunakan dalam mengartikan istilah sastra eksil. Atas dasar tersebut, karya sastra eksil dapat diartikan sebagai sebuah karya sastra yang pengarangnya terdampar di luar negeri dan tidak diperbolehkan kembali ke tanah air akibat dampak dari permasalahan politik di tanah kelahiran.

Dalam sejarah Indonesia sastrawan yang menjadi bagian sastra eksil dapat bersumber dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Institusi Lekra berada di bawah naungan PKI yang memiliki arah ideologi komunisme. Salah satunya ialah Chalik Hamid yang merupakan bagian dari Lekra dan terjebak di Albania ketika paspor sebagai identitas warga negara Indonesia dicabut oleh pemerintah. Selama di pengasingan, dirinya tidak dapat hadir di hari pemakaman ibunya. Dalam pengasingan pula, ia membuat sebuah puisi yang berjudul:

“Kuburan Kami ada Dimana-mana”

hadiah bagi 61 tahun RI

Kuburan kami berserakan di mana‐mana
di berbagai negeri, di berbagai benua.

Kami adalah orang‐orang Indonesia
yang dicampakkan dari tanah‐airnya
paspor kami dirampas sang penguasa
tak boleh pulang ke kampung halaman tercinta.

setiap hari disiarkan berita di media dan koran‐koran
jenderal fasis itu bebas dari berbagai tuntutan
dengan alasan sudah pikun dan rusak ingatan,
tapi kami yang sudah menjadi korban
terus didiskriminasi dan dicampakkan.

lahir berbagai undang‐undang tentang kewarganegaraan
presiden pun tak lupa menyusun berbagai keputusan
namun tak satu pun menyentuh diri kami
kami terus merayap dari benua ke benua
mati satu persatu tercecer di negeri orang.

kuburan kami berserakan di mana‐mana
kuburan ini raut muka negara Indonesia
kuburan kami terdampar di mana‐mana
kuburan ini wajah pemerintah Indonesia.

katanya sudah 61 tahun kita “merdeka”
selama 41 tahun kami terus berkelana.

kuburan kami ada yang berbatu nisan
ada yang tanpa batu pengenal
ada pula yang hilang lenyap ditelan hujan
dan semua ini pun wajah negeri Indonesia.

semakin banyak kuburan kami tersebar di seluruh dunia
semakin bopeng raut muka pemerintah Indonesia.
(Amsterdam, 17 Agustus 2006)

Puisi “Kuburan Kami ada Dimana-Mana” menggambarkan kondisi mereka yang menjadi terdampar di negeri orang akibat kondisi politik yang terjadi di Indonesia.

Kondisi keterpisahan diri mereka dengan tanah air menimbulkan berbagai gejolak perasaan yang melanda dalam diri. Rasa rindu, kangen, marah, dendam, hingga nostalgia akan kehidupan di tanah air menjadi pembuka dari proses berkarya. Keberadaan karya sastra eksil tidak begitu dikenal, hanya segelintir pembaca puisi modern yang mengetahui keberadaannya akibat bertempat tinggal dekat dengan sastrawan eksil.

Dapat diketahui beberapa sastrawan eksil Indonesia yang memiliki karya sastra antara lain Hesri Setiawan, Sobron Aidit, Agam Wispi, JJ Kusni, Asahan Alham Aidit, Chalik Hamid, Kuslan Budiman, Masugig O Bungai, Mawie Ananta Jonie, Nurdiana, Soepriadi Tomodihardjo, Satyadharma, dan Z Afif. Sastrawan tersebut terus bergumul dalam kenangan dan kondisi yang tidak berpihak pada dirinya.

Kisah sastrawan eksil lainnya yakni Sobron Aidit dapat kita telusuri secara singkat. Ia diundang untuk menghadiri HUT Republik Rakyat Tiongkok sebelum meletusnya peristiwa Gestapu. Selepas peristiwa Gestapu Ia terjebak di Tiongkok dan akhirnya berpindah-pindah, lalu menetap di Paris.

Sobron Aidit dikenal sebagai seorang sastrawan dengan karya berupa puisi, prosa, hingga cerpen. Salah satu karyanya yang dapat diketahui ialah sebuah novel dengan tajuk “Cerita dari Tanah Pengasingan”. Karya novel tersebut menceritakan perjalanan Sobron Aidit ketika berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya akibat tidak dapat kembali ke tanah air.

Nasib yang serupa juga dirasakan oleh Asahan Alham yang paspor Republik Indonesia-nya dicabut secara sepihak oleh pemerintah Indonesia. Ia berkelana ke berbagai negara selepas kewarganegaraannya dicabut. Beberapa negara Ia sambangi dari Uni Soviet, Tiongkok, Vietnam,dan berakhir di Belanda hingga sepanjang hayatnya. Beberapa karyanya berkaitan dengan kisah hidupnya selama pengasingan. Karyanya dapat diketahui melalui sebuah buku yang dengan tajuk “Dendam Sejarah”,

Karya sastra eksil dapat kita ketahui berkaitan dengan perjuangan mereka dalam mengarungi berbagai belahan dunia untuk melanjutkan hidup yang dijalani. Sastra eksil banyak mengandung unsur cerita pengalaman hidup, kritikan atas pemerintah, serta kerinduan atas segala yang ditinggalkan. Kerinduan ini dapat diketahui dari puisi yang berjudul “Pulang” karya Agam Wispi.

Pulang

Di mana kau pohonku hijau
di sini aku sudah jadi batu

Hai perantau darimana kau
darimana saja aku mau melekat jadi debu
di karet, di karet katamu

Wahai chairil apa kau masih di situ
atau lenyap dipasok batu
atau senyap sebelum tahun 2000

ya Banda mengena juga yang kau bilang
tak seorang berniat pulang
pulang? kemana harus pulang
si burung samudera tanpa sarang
bangga aku teringat Sujoyono berani menuding
dan bilang untung aku bukan anjing
ini juga modernisasi globalisasi

kata-kata jadi kering kebudayaan baru
dari bawah sampai atas
tukang peras atau maling
puisi hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi hanya kaulah pacarku terbang

puisi generasi baru yang bijak bestari menerjang
keras bagai granit cintanya bagai laut menggelombang
dimana kau pohonku hijau dalam puisimu wahai perantau
dalam cintamu jauh di pulau

Kerinduan akan tanah air menjadi salah satu ciri khas pemilihan tema puisi sastra eksil. Berbagai bait akan kerinduan, kemarahan, dendam, dan kesedihan mewarnai berbagai karya sastra. Mereka berusaha membangun rasa dan suasana tanah air meskipun tidak lagi berada di Indonesia.

Karya sastra eksil merupakan fragmen terpencar dari berbagai karya sastra yang melibatkan orang Indonesia. Mereka merupakan bagian dari darah bangsa Indonesia, meskipun secara legalitas tidak memiliki kewarganegaraan Indonesia.

Menghargai dan mengakui keberadaan sastra eksil menjadi cara kita untuk mengetahui kondisi perasaan mereka selama di pengasingan, Sejauh mana mereka berkelana tidak akan lepas rasa cinta terhadap nusantara. Kita sudah saatnya merajut kembali fragmen-fragmen yang terpisah untuk membingkai karya anak bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

Gunadha,Reza. 2020. Asahan Alham Aidit, Sastrawan Eksil Indonesia Wafat di Belanda. Diakses dari https://www.suara.com/news/2020/11/06/133405/asahan-alham-aidit-sastrawan-eksil-indonesia-wafat-di-belanda?page=all

Matanasi, Petrik. 2020. Nasib Eksil 1965: Pilih Tidak Pulang atau Dijegal Soeharto. Diakses dari https://tirto.id/nasib-eksil-1965-pilih-tidak-pulang-atau-dijagal-soeharto-ex44

National Geographic Indonesia. 2015. Mereka yang Dibui Tanpa Jeruji. Diakses dari https://nationalgeographic.grid.id/read/13301726/mereka-yang-dibui-tanpa-jeruji?page=all

Nurdin, Endang. 2015. Kisah para eksil 1965: Mereka yang ‘dibui tanpa jeruji’ . Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150928_indonesia_lapsus_eksil_bui

Teguh, Irfan. 2019. Asahan Alhamdulillah Aidit: Yang Tersisa dan Terasing. Diakses dari https://tirto.id/dhgn

Yanuar. 2022. Sejarah Beasiswa di Indonesia: Masa Indonesia Merdeka — Sekarang. Diakses dari https://puslapdik.kemdikbud.go.id/artikel/sejarah-beasiswa-di-indonesia-:--masa-indonesia-merdeka---sekarang

--

--