Media Sosial Tanpa Like Button

Atau angka?

Fandy Diadline
FNDY DDLN
3 min readMar 2, 2020

--

Sebenarnya saya baru benar-benar mengingat fungsi “Like” ketika memakai Facebook.

Saya juga sempat memakai Friendster, Plurk, MySpace, Koprol, dan lain sebagainya. Bisa dibilang saya Early Adopter generasi kedua media sosial. Sehingga saya sempat merasakan keanehan awal memakai media sosial.

Karena mereka berlomba-lomba menarik sebanyak mungkin pengguna. Jadi terkadang fitur dan desain nyeleneh akan sangat terasa garis pemisah antar media sosial.

Saat ini saya hanya menggunakan Instagram, Wordpress, dan Medium untuk berbagi konten. YouTube masih belum saya isi lagi. Dan kemudian Facebook masih mati suri. Twitter, hanya sekeda scroll dan retweet.

Semacam hanya formalitas.

Baik, tahun lalu Instagram mengumumkan akan menghilangkan tombol Like. Tapi menurut saya mungkin hanya menghilangkan counter dari like. Alias angka jumlah like yang diterima.

Bagi sebagian pengguna. Jumlah hitungan Like ini mungkin sangat berguna. Entah sebagai nilai aktualisasi diri dalam dunia maya yang tergolong singkat dan “mudah”. Atau sebagai penarik pihak-pihak yang tertarik untuk bekerja sama dengan nama akun yang memiliki deretan angka banyak.

Sudah pasti, semakin banyak jumlah pengikut akun, maka kesempatan kerja sama akan semakin tinggi pula. Ya sudah pasti kalian paham.

Tetapi akhir-akhir ini, jumlah angka likes menjadi sebuah kebutuhan baru pengguna media sosial.

Kebutuhan ini akhirnya ditutupi oleh jasa-jasa penambah follower dan likes yang bertebaran. Saya pernah menggunakan jasa ini sekedar ingin mengetahui.

Mungkin sekitar tahun 2015 saya menggunakan jasa ini untuk akun usaha. Yang ternyata justru membuat keanehan.

Jumlah follower banyak, namun interaksi minim. Justru yang menurut saya bukanlah sebuah esensi media sosial yang saya harapkan.

Saya sering menemui akun-akun baru yang memiliki jumlah follower yang fantastis. Namun dengan konten yang ala kadarnya atau bahkan tidak ada. Namun memiliki ribuan hingga ratusan ribu pengikut.

Bisa jadi adalah akun hasil dari jual-beli. Sehingga tinggal ganti username dan email. Yang biasanya dari praktik yang kurang bagus, mengumpulkan follower dari konten-konten dewasa.

Jika Anda adalah pemilik usaha dan membeli akun, sebaiknya jangan.

Hingga tiba pada dua tahun yang lalu. Saya memasang story pada salah satu akun Instagram. Untuk tidak perlu memberi like.

Justru saya lebih senang mereka membaca atau menikmati konten saya tanpa klik tombol like. Dan bahkan fitur komentar juga saya matikan. Hahaha.

Mungkin apa yang saya lakukan belum tentu didukung oleh beberapa orang. Tapi ini adalah cara terbaik saya menikmati media sosial. Semacam silent rider, apakah istilah silent writer itu ada? Entah.

Menulis, publikasi, kemudian membuat konten berikutnya tanpa cemas dengan angka.

Sebuah opini yang tidak populer.

Photo by Sigmund on Unsplash

--

--