Apotek: Bukan Sekadar Usaha Ritel yang Menjual Obat

Adi Sudewa
Farmacare Crew
Published in
3 min readFeb 2, 2021
Illustration by Iconscout is licensed under CC BY-ND 2.0.

Catatan: Artikel ini adalah yang pertama dalam seri “Menuju Apotek 2.0: Fasilitas Kesehatan Berorientasi Pelanggan”

Dilihat sepintas lalu, situasi di sebuah apotek terlihat mirip seperti di toko pada umumnya. Ada produk yang disusun rapi, kasir tempat melakukan transaksi, dan tentu saja pembeli yang datang untuk membeli obat atau vitamin. Transaksi dilakukan, lalu pembeli pulang dengan membawa barang yang telah dibayar.

Dilihat sepintas lalu, situasi di sebuah apotek terlihat mirip seperti di toko pada umumnya. Ada produk yang disusun rapi, kasir tempat melakukan transaksi, dan tentu saja pembeli yang datang untuk membeli obat atau vitamin. Transaksi dilakukan, lalu pembeli pulang dengan membawa barang yang telah dibayar.

Apa yang terjadi sebenarnya tidak sesederhana itu. Pelanggan tidak datang ke apotek hanya untuk sekadar melihat-lihat, namun mereka datang karena mempunyai kebutuhan mendesak berupa masalah kesehatan yang ingin mereka selesaikan. Pelanggan mungkin datang dalam keadaan sakit, bingung, atau keduanya. Pelanggan mungkin datang tanpa informasi mengenai obat yang tepat untuk gejala penyakit yang mereka alami.

Kondisi pelanggan yang datang bisa dilihat dari bahasa tubuhnya (apakah dia terlihat tenang atau terburu-buru?), dari caranya bertanya (apakah dia yakin atau masih ragu-ragu?), kemampuan ekonomi (bagaimana reaksinya saat ditawarkan obat dengan harga tertentu?), dan masih banyak lagi tanda-tanda lain yang bisa diperhatikan agar staf apotek bisa memberikan pelayanan dengan lebih baik.

Tabel berikut bisa memberi gambaran mengenai perbandingan pelanggan apotek dan ritel lain secara umum:

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh staf apotek yang akan sangat membantu pelanggan dalam mengambil keputusan yang tepat untuk masalah kesehatannya saat ia datang ke apotek:

  1. Memastikan lagi bahwa obat yang dicari sesuai dengan gejala yang dialami;
  2. Memberikan beberapa pilihan jenis obat dengan kandungan serupa dengan variasi harga berbeda;
  3. Melayani dengan cepat, menggunakan bahasa yang baik dan sopan, serta tidak terlalu agresif dalam menawarkan produk tambahan selain obat yang dicari;
  4. Jika obat tidak tersedia, memberikan info di apotek mana obat bisa didapatkan;
  5. Memastikan lagi produk yang diberikan sudah benar dan memberikan informasi dosis yang sesuai;
  6. Memberi tahu kapan harus ke dokter atau ke apotek lagi jika gejala tidak berkurang.

Keenam hal di atas sebenarnya sangat mendasar dan hampir semua pengelola apotek sudah paham secara teori. Dari pengalaman penulis berinteraksi dengan beberapa pengelola apotek, semuanya sepakat bahwa apotek yang berorientasi kepada pelayanan pelanggan biasanya adalah juga apotek yang paling sukses secara keuangan.

Pada kenyataannya, menjadi apotek yang berorientasi pelanggan membutuhkan usaha yang besar dalam membenahi manajemen. Di belakang layar, proses administrasi apotek sangat menyita waktu. Apotek yang berukuran kecil pun bisa punya paling tidak 2.000 jenis obat yang harus dikelola, dengan bentuk dan nama produk yang rumit dan mirip satu sama lain (misalnya: cefadroxil vs. captopril atau ceftriaxone vs. cefotaxime). Proses pemesanan dan penerimaan barang pun rumit karena banyak tidak semua produk dapat dipesan melalui distributor yang sama.

Di sisi lain, SDM yang ada sering kali tidak memiliki latar belakang yang tepat untuk melakukan proses administrasi yang kompleks karena keterbatasan SDM yang memiliki latar belakang farmasi. Yang punya latar belakang pendidikan farmasi pun belum tentu punya pengetahuan memadai mengenai merek obat-obatan yang tersedia di apotek dan hampir tidak ada yang memiliki pengetahuan dalam hal melakukan edukasi pelanggan.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa apotek bukanlah sekadar toko ritel yang barang jualannya adalah obat-obatan dan produk kesehatan. Prinsip berjualan yang mungkin terpengaruh oleh pengalaman di toko ritel jenis lain, seperti minimarket atau department store, tidak serta-merta bisa diterapkan di apotek karena harus mempertimbangkan banyak hal, terutama kondisi pelanggan.

Dalam artikel-artikel berikutnya, kami akan membahas lebih jauh tentang bagaimana apotek bisa menjadi lebih berorientasi pelanggan dengan cara mengeliminasi masalah-masalah yang telah disebutkan di atas.

--

--

Adi Sudewa
Farmacare Crew

Venture Builder. In Medium to share perspectives on how industries are being transformed by digital technologies.