#AE001 —Mengenal Pertanian Konvensional

Rahmaditya Eka Putri
Farming.up
Published in
8 min readNov 29, 2020

Halo! Selamat datang di Series #AEXXX! Tagar ini akan menjadi penanda untuk rangkaian artikel yang membahas isi buku berjudul Agroecology, yang ditulis oleh Gliessman, dkk [1]. Konten buku ini akan disajikan menjadi beberapa rangkaian artikel dalam Bahasa Indonesia. Selamat belajar!

******************************************************************

Pertanian konvensional didasari pada dua tujuan utama, yaitu memaksimalkan produksi dan memaksimalkan keuntungan. Dalam rangka memenuhi kedua tujuan tersebut, berbagai cara telah dikerahkan, yang sayangnya banyak dari cara-cara tersebut tidak begitu mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang maupun dampaknya terhadap dinamika ekologis dari agroekosistem. Terdapat tujuh praktik dasar dari pertanian konvensional yang banyak dijumpai: kultivasi dan pengolahan tanah, monokultur, irigasi, aplikasi pupuk anorganik, pengontrol hama kimiawi, manipulasi genetik, dan ‘factory farming’ hewan-hewan peternakan. Ketujuh praktik tersebut dijadikan sebagai tulang punggung dari industri pertanian modern. Awalnya, masing-masing praktik memang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Tapi, yang sebenarnya terjadi adalah praktik-praktik tersebut justru membentuk sistem di mana masing-masing praktik menjadi saling bergantung dan memperkuat kebutuhan untuk menggunakan semua praktik secara bersamaan.

Hal menarik dari aplikasi pertanian konvensional adalah produksi makanan dipandang sebagai proses industri, di mana tumbuhan dan hewan dianggap sebagai miniatur pabrik. Hasil pertanian dimaksimalkan dengan menyetok input yang sesuai, efisiensi produktif ditingkatkan dengan memanipulasi gen, serta berbagai variabel lingkungan dikontrol dengan sangat ketat.

Kultivasi dan pengolahan tanah

Pertanian konvensional sudah sejak lama mengadopsi praktik pengolahan tanah dengan sangat menyeluruh, mendalam, dan rutin. Tujuan dari pengolahan tanah intensif ini sebetulnya untuk melonggarkan struktur tanah supaya drainase berlangsung lebih baik, akar menjadi lebih cepat tumbuh, serta mempermudah aerasi dan penaburan benih. Kultivasi tanah juga ditujukan untuk mengontrol hama dan menimbun residu tanaman. Terkadang, pengolahan tanah intensif ini dikombinasikan dengan rotasi pendek, sehingga lahan dibajak dan dikultivasi beberapa kali sepanjang tahun. Hal tersebut menyebabkan tanah tidak ditutupi oleh tanaman apapun untuk sejumlah waktu tertentu. Pengolahan tanah ini juga biasa dilakukan dengan menggunakan alat berat yang melintasi lahan.

Ironisnya, praktik kultivasi tanah intensif cenderung mendegradasi kualitas tanah. Jumlah komponen tanah organik menjadi menurun, disebabkan oleh adanya percepatan dekomposisi dan tidak tertutupnya permukaan tanah terluar. Tanah pun menjadi sangat padat sebab dikenai beban alat berat yang melintasi lahan. Hilangnya materi-materi organik tersebut menyebabkan penurunan kesuburan tanah dan mendegradasi struktur tanah, meningkatkan kekompakkan tanah sehingga menyebabkan proses kultivasi dan pengolahan tanah menjadi harus lebih sering dilakukan. Praktik ini pun mendorong peningkatan laju erosi tanah oleh air dan angin secara signifikan.

Monokultur

Monokultur merupakan suatu sistem menanam dengan hanya satu jenis tanaman di sebuah ladang dengan skala yang sangat besar. Praktik monokultur biasanya dipilih karena memberikan efisiensi penggunaan mesin pertanian yang lebih baik untuk kultivasi, pembenihan, kontrol gulma, dan panen. Praktik ini juga memberikan nilai ekonomis terhadap pembelian biji, pupuk, dan pestisida. Monokultur merupakan pendekatan industri yang paling umum dilakukan terhadap pertanian. Modal tenaga kerja dapat diminimalkan, dan input yang bersifat teknologi dimaksimalkan dalam rangka meningkatkan efisiensi produksi. Teknik monokultur juga cenderung menggunakan kultivasi intensif, penggunaan pupuk anorganik, irigasi, kontrol kimiawi terhadap hama, dan spesialisasi varietas tanaman. Kaitan antara praktik monokultur dengan penggunaan pestisida kimia menjadi sangat kuat, sebab ladang luas yang ditanami oleh jenis tanaman yang sama akan lebih rentan terserang oleh hama dan penyakit yang spesifik sehingga membutuhkan pestisida untuk menanggulanginya.

Monokultur (sumber: https://www.worldatlas.com/articles/what-are-the-pros-and-cons-of-monoculture.html)

Aplikasi pupuk sintetik

Pupuk, yang diproduksi dalam jumlah banyak dengan harga yang relatif rendah menggunakan bahan bakar fosil dan mineral pertambangan, dapat secara mudah diaplikasikan ke tanaman-tanaman untuk memberikan berbagai nutrisi esensial bagi tanaman. Pupuk memang menjadi jawaban yang sempurna untuk memenuhi kebutuhan tanaman terhadap nutrisi untuk jangka pendek. Untuk jangka panjang, para petani cenderung mengabaikan dampak pupuk terhadap kesuburan tanah.

Komponen mineral dari pupuk sintetik ternyata mudah sekali terlepas dan tercuci dari tanah. Pada sistem irigasi, kondisi ini bisa memberikan dampak serius. Sejumlah besar pupuk yang diberikan ke suatu ladang luas biasanya berakhir di danau atau sungai, sehingga hal tersebut menjadi pemicu terjadinya eutrofikasi (pertumbuhan berlebihan dari tanaman oxygen-depleting serta alga). Pupuk yang mudah terbawa arus air selama irigasi ini juga bisa memasuki air tanah yang biasa digunakan untuk minum; tentu hal ini memberikan resiko kesehatan serius. Terlebih, biaya pupuk adalah variabel yang tidak dapat dikontrol oleh petani karena biaya tersebut meningkat seiring dengan kenaikan harga minyak bumi.

Irigasi

Kebutuhan melimpah terhadap air bersih adalah salah satu faktor penghambat produksi pangan di berbagai belahan dunia. Peningkatan akan kebutuhan air bersih secara pesat terjadi di berbagai sektor masyarakat, dan kebutuhan di bidang agrikultur menjadi penyumbang persentase terbesar, yaitu 70% dari penggunaan air skala global [2]. Skema penggunaan airnya mengkhawatirkan: tanah diirigasi untuk pertanian, lalu irigasi memberikan efek signifikan terhadap hidrologi regional. Sebuah masalah krusial dari penerapan irigasi adalah air tanah seringkali dipompa lebih cepat daripada laju siklus air yang diperbarui oleh curah hujan. Akibatnya, di bagian tanah tempat menyimpan air akan terbentuk cerukan karena air digunakan terlalu dini. Cerukan ini dapat menyebabkan penurunan tanah. Jika kasusnya di dekat pantai, cerukan seperti ini dapat menyebabkan intrusi air asin. Selain itu, air tanah cerukan pada dasarnya meminjam air dari masa depan. Air untuk irigasi diambil dari sungai, sehingga pertanian biasanya bersaing dengan air yang dibutuhkan juga oleh warga perkotaan maupun organisme di alam liar. Biasanya, akan muncul juga efek dramatis di hilir pada ekologi sungai karena bendungan telah dibangun untuk menampung persediaan air. Irigasi juga memiliki dampak lain: meningkatkan kemungkinan tercucinya pupuk dari ladang, kemudian masuk ke aliran sungai setempat. Hal tersebut dapat meningkatkan laju erosi tanah secara signifikan.

Pengendalian Hama dan Gulma Kimia

Penggunaan pestisida kimia mulai marak sejak Perang Dunia II berakhir. Pestisida dinilai sebagai senjata ilmiah yang handal untuk menghadapi berbagai hama tanaman dan patogen. Para petani mulai menggunakan pestisida untuk membersihkan ladang mereka dari berbagai organisme yang mengancam tanaman dan profit mereka. Namun, pestisida hanya berhasil menurunkan populasi hama dalam jangka pendek. Hal tersebut terjadi karena pestisida juga pada saat yang bersamaan membunuh predator alami hama, sehingga populasi hama dapat melonjak kembali dengan jumlah yang lebih banyak. Petani kemudian terpaksa untuk menggunakan pestisida lebih banyak lagi untuk mengatasi jumlah hama yang meningkat. Masalah lainnya adalah perihal resistensi. Populasi hama yang secara kontinu terkena paparan pestisida akan mengalami seleksi alam dalam bentuk resistensi pestisida. Ketika resistensi di kalangan hama meningkat, petani lagi-lagi terpaksa menggunakan pestisida dengan jumlah yang lebih banyak lagi atau menggunakan pestisida yang berbeda; di mana penggunaan pestisida jenis lain justru memperbesar potensi resistensi hama.

Meski ketergantung destruktif ini sudah banyak disadari, kalangan petani -khususnya di negara berkembang — masih tidak menggunakan opsi lain. Ironisnya, jumlah tanaman yang terserang hama relatif konstan meski kebutuhan akan penggunaan pestisida meningkat [3]. Tentu, pestisida juga memiliki potensi membahayakan kesehatan masyarakat karena pestisida akan dengan mudah masuk ke aliran air yang menjadi bagian rantai makanan berbagai makhluk hidup.

Manipulasi genom tanaman dan hewan

Pada tahun-tahun belakangan ini, pengembangan teknologi telah menghasilkan banyak revolusi dalam bidang manipulasi gen. Pengembangan teknik pembiakkan tanaman mengarah pada produksi biji hibrida, yaitu biji yang membawa karakter kombinasi antara dua atau lebih strain tanaman. Varietas tanaman hibrida biasanya memiliki produktivitas yang lebih baik dibandingkan varietas nonhibrida, dan hal ini menjadi salah satu faktor utama dibalik peningkatan hasil panen pada masa Revolusi Hijau. Kebanyakan varietas hibrida membutuhkan kondisi optimal, sehingga digunakanlah pupuk anorganik intensif dan pestisida, dalam rangka mewujudkan potensi produktif varietas tersebut serta mencegah dari kerusakan yang diakibatkan hama. Varietas hibrida biasanya memiliki kecenderungan resistensi hama yang lebih rendah dibandingkan varietas nonhibridanya. Namun, tanaman hibrida tidak mampu menghasilkan biji dengan genom induknya (yang berupa varietas hibrida). Hal tersebut membuat para petani selalu bergantung pada produksi biji komersial.

Terobosan pada dunia rekayasa genetik juga membawa angin segar berupa penyesuaian produksi varietas tanaman dan hewan melalui kemampuan mencacah gen dari varietas suatu organisme ke dalam genom target. Organisme hasil penyatuan gen ini biasa disebut sebagai transgenik, genetically modified (GM), atau genetically engineered (GE). Contoh organisme yang sudah berhasil direyakasa secara genetik antara lain gen babi yang disisipi dengan gen bayam menghasilkan daging babi dengan kadar lemak lebih rendah, juga ada sapi yang menjadi mampu memproduksi susu dengan kadar kasein lebih tinggi.

Meskipun organisme yang direkayasa secara genetik memberikan banyak janji manis — seperti penurunan penggunaan pestisida dan irigasi, meningkatkan kemampuan bertahan hidup tanaman di tanah dengan salinitas tinggi, dan meningkatkan nilai nutrisi tanaman — terdapat banyak pertimbangan lain sebelum bisa menerapkan teknologi ini secara luas. Salah satu yang utama adalah potensi migrasi gen termodifikasi ke populasi lain, baik itu populasi liar maupun domestik. Peningkatan penggunaan tanaman transgenik juga berpotensi menghilangkan keragaman hayati seiring dengan kultivar tradisional yang tidak lagi dipakai. Ketergantungan petani terhadap korporasi transnasional dalam kepemilikan paten organisme baru juga akan semakin meningkat.

‘Pabrik peternakan hewan’

Negara-negara maju biasanya menyajikan pangan daging, telur, dan susu dari suatu operasi berskala besar yang terindustrialisasi, yang memiliki tujuan utama yaitu menyuguhkan makanan ke pasar dengan harga satuan serendah mungkin. Operasi tersebut biasa dikenal dengan sebutan “Confined Animal Feeding Operations” atau “CAFO”. CAFO umumnya berisi populasi suatu jenis hewan dengan kepadatan sangat tinggi hingga setiap hewan kesulitan bergerak. Hewan-hewan tersebut biasanya diberikan antibiotik untuk mencegah penyebaran penyakit, dan diberi makan dengan suplemen makanan yang mengandung hormon dan vitamin tertentu. Meskipun hewan-hewan tersebut sangat bergantung dengan hasil pertanian sebagai bahan makanan mereka, sejatinya hewan-hewan di CAFO terputus secara spasial dan fungsi dari ladang-ladang yang memproduksi pakan biji-bijian yang mereka konsumsi.

Pabrik peternakan (factory farming) pun menjadi manifestasi lain dari tren pengkhususan dalam dunia agrikultur. Secara umum, factory farming identik dengan babi, ternak, dan unggas; sedangkan monokultur identik dengan jagung, gandum, dan tomat. Ternak di CAFO justru lebih rentan terhadap penyakit, sebagaimana jagung yang juga lebih rentang di ladang dengan sistem monokultur. Keduanya membutuhkan input kimiawi untuk mengatasi tingginya potensi terhadap paparan penyakit. Keduanya pula mendukung penggunaan organisme terekayasa untuk kepentingan efisiensi produksi sehingga menyebabkan ketergantungan terhadap proses industri rekayasa organisme. Selain itu, factory farming juga tidak sejalan dengan hak-hak asasi hewan. Tempat tinggal para hewan ternak tersebut sangat padat, seringkali para hewan juga disembelih atau dipotong dengan cara yang tidak beradab — membiarkan para hewan mengalami kesakitan perlahan-lahan dalam waktu yang relatif lama.

CAFO (Sumber: https://benvironment.org.uk/post/12693407178/cafos)

Dampak CAFO terhadap lingkungan tidak bisa lagi dipungkiri bahayanya. Pupuk dan urin hewan ternak dalam jumlah yang sangat besar melepas ammonia ke atmosfer dalam jumlah besar pula. Nitrogen tidak bisa didaur ulang di dalam sistem CAFO karena lingkungannya yang tidak diseimbangkan dengan sejumlah kebun yang seharusnya menangkap nitrogen dari kotoran hewan-hewan tersebut.

Problematika dampak CAFO juga semakin pelik sebab permintaan terhadap daging dan produk hewani secara global selalu meningkat. Seiring dengan meningkatnya permintaan ini, metode industrialisasi produksi makanan hewani menjadi lebih menguntungkan dan tersebar luas; membuat sistem ini semakin sulit untuk ditinggalkan dan beralih ke sistem yang lebih berkelanjutan.

Referensi:

[1] Francis, Charles & Lieblein, Geir & Gliessman, Stephen & Breland, T. & Creamer, N. & Harwood, R. & Salomonsson, Lennart & Helenius, Juha & Rickerl, D. & Salvador, R. & Wiedenhoeft, M. & Simmons, S. & Allen, P. & Altieri, Miguel & Flora, Cornelia & Poincelot, R.. (2003). Agroecology: The Ecology of Food Systems. Journal of Sustainable Agriculture. 22. 99–118. 10.1300/J064v22n03_10.

[2] Postel, S. and A. Vickers. 2004. Boosting water productivity. Chapter 3 in State of the World 2004. Worldwatch Institute/W.W. Norton and Co.: Washington, DC and New York.

[3] Pimentel, D., P. Hepperly, J. Hanson, D, Douds, and R. Seidel. 2005. Environmental, energetic, and economic comparisons of organic and conventional farming systems. BioScience 55: 573–582.

--

--