Pertanian 4.0 di Indonesia

farming.up
Farming.up
Published in
4 min readNov 29, 2020

#NgobrolPertanian02 oleh Dinda Raraswati

Revolusi Industri 4.0 pastinya udah gak asing lagi di telinga kita, tapi sebenarnya apa sih Revolusi Industri 4.0? Kok tiba-tiba udah 4.0? Kemudian udah sejauh apa sih pertanian 4.0 di Indonesia?

Revolusi Industri

Pertama, yuk kita bahas apa itu revolusi industri secara umum. Revolusi industri dapat didefinisikan secara simple sebagai sebuah perubahan besar-besaran pada beberapa bidang seperti pertanian, manufaktir, pertambangan, transportasi, dan teknologi yang memberikan dampak mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di dunia [1]. Revolusi industri telah terjadi tiga kali dan saat ini kita sedang mengalami Revolusi Industri 4.0, terus apa perbedaan tiap revolusi industri tersebut? Berikut perbedaannya secara singkat yang dapat dilihat pada gambar di bawah.

Gambar perkembangan Revolusi Industri (Sumber : Puspitasari, 2019)

Saat ini kita sedang berada di Revolusi Industri 4.0 yang pertama kali dikenalkan oleh Kanselir Jerman Angela Merkel pada pameran industri Hannover Messe di Hannover, Jerman pada tahun 2011. Revolusi Industri 4.0 dipicu dengan kemajuan Internet yang akhirnya melahirkan inovasi teknologi lain seperti Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), machine learning, dan cloud computing [2].

Adopsi Teknologi pada Pertanian 4.0

Setelah mengenal lebih jauh tentang revolusi industri, yuk sekarang kita bahas aplikasi Revolusi Industri 4.0 di bidang pertanian. Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara agraris sehingga pertanian merupakan salah satu pondasi dasar perekonomian Indonesia sehingga pembangunan pertanian yang baik akan berdampak positif pada perekonomian Indonesia. Dampak positif seperti apa sih?

Dalam bidang pertanian, teknologi digital dapat dimanfaatkan dalam proses on farm dan off farm. Dalam proses on farm, teknologi digital dapat diterapkan untuk mengawasi tanaman dari jarak jauh serta dapat menentukan kebutuhan tanaman. Sistem pertanian berbasis IT tersebut dapat melalui sensor ataupun kamera yang dipasang pada tanaman dan selanjutnya informasi tersebut akan dikirimkan melalui pesan singkat ataupun aplikasi. Penggunaan drone juga dapat membantu petani dalam pengontrolan landscape lahan-lahan pertanian serta penyemprotan pestisida pada tanaman. Adapun pada proses off farm, teknologi digital dapat dimanfaatkan dalam proses pemasaran dan supply chain. Teknologi digital diterapkan dalam sistem traceability (ketelusuran) dalam supply chain yang dapat meningkatkan sistem transparansi pada pertanian dari hulu ke hilir. Selain itu, teknologi mobile juga dapat digunakan untuk memudahkan petani dalam akses informasi tentang komoditas pertanian [1].

Saat ini petani di Indonesia didominasi oleh petani berusia tua sehingga diperlukan adanya regenerasi petani. Akan tetapi, mindset buruk menjadi salah satu alasan generasi milenial tidak tertarik untuk bekerja di bidang pertanian. Untuk mengatasi hal tersebut, digital farming dapat menjadi solusi karena generasi milenial merupakan digital native dan tidak dapat terlepas dari teknologi. Generasi muda beperan penting dalam aplikasi teknologi dalam sektor pertanian karena mayoritas petani saat ini masih awam dengan teknologi.

Keberhasilan adopsi teknologi dalam bidang pertanian dapat terlihat pada beberapa start up, antara lain :

- 8villages Data platform dengan produk bernama LISA, yaitu jaringan informasi berbasis SMS untuk memberikan informasi kepada petani yang berlangganan

- Habibi Garden Aplikasi teknologi IoT-precision farming

- TaniGroup Produk berupa TaniHub dan TaniFund merupakan e-commerce komoditas pertanian

Tantangan Digital Farming di Indonesia

Meskipun beberapa start up telah menunjukkan kesuksesan dalam penggunaan teknologi pada pertanian, baik on farm maupun off farm, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi. Pertama, kendala utama dalam digital farming di Indonesia adalah kurangnya database dalam sektor pertanian. Selama ini pertanian Indonesia masih identik dengan pertanian konvensional sehingga minim pencatatan ataupun tidak ada catatan sama sekali. Konsultan Teknologi Kecerdasan Buatan, Nazim Machresa, berpendapat bahwa ketersediaan big data berperan penting agar kecerdasan buatan dapat memprediksi dengan akurat sehingga semua pencatatan harus dilakukan secara digital [3].

Kedua, koneksi internet yang belum merata. Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara, menyatakan bahwa internet di Indonesia belum dapat dinikmati merata oleh semua masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang menyebabkan pembangunan infrastruktur telekomunikasi menjadi lebih sulit. Selain itu, terdapat juga kesenjangan layanan internet antara Indonesia bagian barat dan timur [4]. Padahal, koneksi internet merupakan modal utama dalam digital farming.

Ketiga, biaya yang cukup besar diperlukan untuk membangun digital farming. Kendala tersebut dapat diatasi jika pemerintah memberikan dukungan finansial atau berupa toolkit digital farming seperti yang dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk sektor UMKM. Japan’s Industrial Value Chain Initiative merupakan inisiatif yang menyediakan kit untuk UMKM dengan biaya $900 per kit sehingga UMKM dapat mengadopsi teknologi digital. Akan tetapi, pemerintah Indonesia harus melakukan identifikasi dan pemetaan kebutuhan sehingga mismatch antara teknologi digital dengan kebutuhan petani dapat terhindarkan [5].

Penutup

Seluruh dunia sudah atau mulai memasuki Revolusi Industri 4.0, tidak terkecuali Indonesia. Pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi perhatian oleh pemerintah Indonesia untuk pengaplikasian teknologi. Meskipun teknologi digital tersebut dikhawatirkan dapat menggantikan beberapa pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh manusia, namun teknologi ini dapat membantu produksi pertanian yang sustainable, penggunaan sumber daya yang lebih efisien, dan penciptaan pekerjaan baru yang mungkin tak terpikirkan sebelumnya.

Selain itu, digital farming juga dapat meningkatkan minat para petani muda sehingga dapat mengatasi krisis petani di Indonesia yang saat ini didominasi oleh petani berusia tua. Generasi milenial tersebut lebih “melek” teknologi sehingga dapat lebih mudah menerapkan teknologi digital pada pertanian Indonesia. Meskipun begitu, terdapat kendala yang harus dihadapi dan diselesaikan untuk mewujudkan pertanian 4.0 di Indonesia, tentu saja hal ini membutuhkan kerja sama dari semua elemen mulai dari pemerintah hingga masyarakat, khususnya kamu para pemuda yang membaca artikel ini.

Referensi:

[1] Puspitasari, Retno Dwi. 2019. “PERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS REVOLUSI INDUSTRI 4.0”. Jurnal Layanan Masyarakat Universitas Airlangga, 3(1) : 26–28.

[2] Susanto, Marcel. 2019. “Apa itu Revolusi Industri 4.0?” [Online] https://www.zenius.net/blog/21104/revolusi-industri-4-0

[3] Agustinus, Michael. 2020. “Big Data Jadi Kendala Pengembangan Digital Farming di Indonesia”. [Online] https://kumparan.com/kumparanbisnis/big-data-jadi-kendala-pengembangan-digital-farming-di-indonesia-1uHuALoOItn/full

[4] Bere, Sigiranus Marutho. 2019. “Menkominfo Sebut Internet di Indonesia Belum Merdeka”. [Online] https://regional.kompas.com/read/2019/03/26/13583811/menkominfo-sebut-internet-di-indonesia-belum-merdeka

[5] Mahardika, Reza Bangun. 2020. “Masa Depan Pertanian Indonesia adalah Pertanian Digital” [Online] https://forbil.org/id/article/254/masa-depan-pertanian-indonesia-adalah-pertanian-digital

--

--