How Become a Designer Affect My Work Behaviour

Luthfi Rahmad Susanto
Fazzdesign
Published in
5 min readMar 5, 2020
Credit: Unsplash

Sudah hampir setahun lebih saya bergelut di bidang UI/UX Design. Banyak hal yang saya dapatkan ketika berada di profesi ini. Mulai dari melakukan usability testing, memfasilitasi design sprint, hingga sampai menjadi pembicara di event kantor. Ada keadaan dimana saya merasa “This is my best state in life”, namun ada juga keadaan dimana saya merasa bosan karena rutinitas yang berulang-ulang.

Namun saya menikmatinya.

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya

Bagi saya yang dulunya adalah seorang (hampir) engineer yang kemudian bergelut di bidang desain mungkin peribahasa di atas terasa sangat mewakilkan. Kenapa?

Menurut saya, di setiap divisi atau bidang pekerjaan pasti punya aturan main sendiri-sendiri yang tentunya berbeda dan unik. Begitupun ketika saya berpindah menjadi seorang desainer, saya mesti beradaptasi kembali dengan lingkungan yang berbeda, yang sudah memiliki aturannya sendiri. Adaptasi disini adalah bagaimana cara saya bersikap ketika bekerja, berkomunikasi hingga membangun koneksi dengan teman setim. Dimana di tempat saya sebelumnya mungkin team player tidak terlalu dirasakan, namun tetap ada. Sedangkan disini hal tersebut sangat krusial.

Hingga setahun kemudian saya telah mengamati bahwa work behaviour saya telah berubah dibandingkan sebelum-sebelumnya, dan ini cukup menarik dibahas pada artikel ini.

Komunikasi

Sebagai orang yang bekerja pada divisi yang mengedepankan kerjasama tim, komunikasi sangatlah krusial. Pada setiap aspek kerja hal ini pastilah ada, mulai dari meeting untuk membicarakan pembuatan fitur, membuat design, menguji sampai menyampaikan temuan yang didapat kepada para stakeholder. Semua itu membutuhkan komunikasi.

Sekarang saya lebih rajin berkomunikasi dalam artian untuk memvalidasi sesuatu, agar lebih jelas untuk diri saya sendiri. Saya mempunyai pengalaman yang cukup menyadarkan saya bahwa hal ini sangat penting;

Stakeholder A menanyakan kepada saya bahwa kapan desain fitur tertentu bisa diselesaikan. Saya menyatakan bahwa memerlukan waktu dua hari tanpa testing, dikarenakan hanya perbaikan minor. Untuk saya waktu itu cukup singkat dikarenakan saya juga mempunyai projek di divisi lain yang memerlukan desain dengan stakeholder B. Namun, saya tidak menjelaskan kenapa desain tersebut memakan waktu dua hari. Karena menurut dia waktu itu terlalu lama untuk revisi yang cukup minor.

Disini ada perbedaan persepsi, yaitu waktu pengerjaan. Bagi saya waktu itu cukup singkat dikarenakan saya harus membagi waktu ke projek lain. Namun, bagi stakeholder A waktu itu terlalu lama dikarenakan perbaikan yang dibutuhkan tidak terlalu besar. Disitu saya melakukan kesalahan, dikarenakan saya tidak menjabarkan mengapa desain tersebut memakan waktu dua hari untuk dikerjakan. Miskomunikasi.
Sekarang, saya dan kolega setim selalu menjelaskan alasan dibalik waktu pengerjaan setiap desain.

Dan lagi, saya tipikal orang yang berputar-putar ketika menjelaskan sesuatu, istilahnya tidak langsung straight to the point. Sampai sekarang saya masih berusaha untuk menyembuhkan kebiasaan itu. Banyak yang dipikirkan namun susah untuk mengutarakan. Kuncinya adalah kembali lagi ke awal; rajin berkomunikasi.

Selalu Mengkonfirmasi

Tidak hanya di bidang UI/UX saja, setiap divisi pasti ada saat dimana menghadapi situasi seperti ini. Ambil contoh;

Saya: “Jadi ada temuan bahwa partisipan kesulitan melihat tombol dikarenakan warna tombol tidak terlalu kontras dengan warna background”

Kolega: “Jadi kita ada opsi untuk mengambil warna A atau B dikarenakan warnanya cukup friendly. Kita konfirmasi lagi saat testing berikutnya”

Stakeholder: “Kayanya dua warna itu ga cocok deh. Gua ga suka!”

Pernah mengalami hal ini?
Apa yang kamu lakukan jika menemui keadaan seperti itu? Sebelum mengambil keputusan, perhatikan dulu hal ini:

Contoh Pernyataan

Apa yang membedakan kedua pernyataan di atas?

Pernyataan A adalah OPINI
Pernyataan B adalah FAKTA

Dikutip Chin dari Customer Experience Somia (artikel bisa dilihat disini), ketika kamu menemui kejadian yang disebutkan sebelumnya, hal pertama yang dapat kamu lakukan adalah kamu harus bisa membedakan fakta dan opini. Yang kedua ketika kamu mengetahui bahwa yang disebutkan oleh stakeholder adalah opini, kamu harus memvalidasi hal tersebut. “Kenapa design saya jelek?”, “Kenapa kamu ga suka warnanya?”. Validasi sampai kamu menemukan alasan yang masuk akal dari mereka.

Saya sering sekali menemui kejadian di atas, jika sudah seperti itu saya selalu mengkonfirmasi kepada stakeholder. Kadang mereka sampai merasa kesal karena saya terlalu banyak bertanya!

Detail Terhadap Hal-hal Kecil

Sebelumnya saya mau mengucapkan terima kasih kepada kolega saya di kantor Nathasa Gresy. Berkat dia saya menjadi lebih detail terhadap segala sesuatu. Ketika mendesain, semua pixel diperhatikan; mulai dari padding serta ukuran komponen. Warna yang diperlukan ketika mendesain suatu produk, mulai dari primary color sampai turunannya. Semua kaidah desain diajarkan semua olehnya.

Semua hal-hal kecil tersebut bahkan sampai terbawa ketika rapat, saya selalu menanyakan alasan suatu fitur dibuat; tujuannya apa, sekompleks apa fitur tersebut, hingga berpengaruh setinggi apa terhadap GMV kita.

Saya sedikit menjiplak metode 5 Why’s agar mendapatkan informasi yang cukup mendalam.

Metode 5 Why’s
Cara kerja metode ini adalah kita menanyakan kalimat Mengapa ketika lawan bicara mengemukakan suatu permasalahan. Tujuannya adalah untuk mencari akar masalah dari permasalahan tersebut. Metode ini dapat digambarkan sebagai berikut;

Contoh 5 Why’s

Akar permasalahan dari contoh diatas dapat diketahui bahkan sebelum penanya menanyakan Why kelima. Jadi metode tersebut dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan. Cocok digunakan saat berdiskusi soal fitur baru atau ketika membicarakan suatu permasalahan.

Selalu Menjadi Team Player

Credit: Unsplash

Sebenarnya hal ini bisa dibahas pada topik Komunikasi. Namun saya ingin membedakan topik ini, karena menurut saya topik ini juga penting.

Sebelumnya saya bilang bahwa divisi saya sekarang selalu mengedepankan team player. Hal itu membuat saya sering berkoordinasi dengan rekan setim saya. Kantor saya bekerja menganut paham remote working, sehingga tidak jarang teman sedivisi saya menggunakan kesempatan tersebut. Namun, terkadang ada hal-hal yang tidak dapat disampaikan secara tak langsung; seperti melalui chat atau video call. Sehingga lebih baik diutarakan secara langsung, agar tidak terjadi miskomunikasi.

Ambil contoh ketika teman saya mengambil remote. Pada grup Slack, salah satu stakeholder meminta perubahan desain pada salah satu screen. Saya tidak menyampaikan lagi hal tersebut dikarenakan ia sudah tergabung pada grup yang sama, sehingga saya berasumsi ia sudah mengetahui hal tersebut. Saat saya menanyakan tentang perubahan pada screen tersebut keesokan harinya, ternyata ia tidak mengetahui bahwa stakeholder berbicara di grup soal hal itu kemarin. Akhirnya saya memberitahunya secara langsung.

Pada saat kami berdua mengubah desain atau mengerjakan screen baru, kami selalu berkomunikasi. Saling memberitahu, agar kami berdua tetap up to date dengan situasi terkini.

Itulah work behaviour yang saya baru (beberapa tidak baru, haha) dapatkan selama setahun ini. Sebenarnya ada banyak lagi yang lainnya, namun sepertinya cukup panjang jika dijabarkan semua disini. Terimakasih sudah membaca, clap dan share jika berkenan!

--

--