Cerita-Cerita Tentangmu Yang Menjelma Jadi Lirik Lagu

gempa bumi kecil
FIKSIOMA
Published in
6 min readJan 19, 2022

“You’re a home. You’re warm. You feel like a blanket. You’re a blue raincoat. A navy one.”

“I’ll be your best friend”

“Gotcha! You cant. You live in the ocean, i’m above the clouds.”

“Ocean is where the stars shines brightest, don’t you know?”

“Just because you have no experience yet to view the stars from clouds.”

“Most of times, ocean has no clouds. Sailors use stars to guide them easily. Because ocean has the clearest sky. I do prefer mountain, as you asked before, for the same reason. I could see the sky clearer.”

“You remembered? I love to see the sky at night. So dreamy…”

“Probably someday, we can see the sky together somewhere.”

“Promise me we’ll see the sky together in Wakatobi!”

“Hmm.. interesting. I have better option: how about Labuan Bajo, on a cruise?”

“LABUAN BAJO! Siapa yang nolak?”

“Its a deal then. I cross my heart.”

Beberapa bulan sebelumnya dia memperkenalkan diri sebagai Batara, tidak suka kopi, benci asap kendaraan dan bekerja di sebuah kantor redaksi yang memberitakan hal-hal baik dari sebuah negeri pegunungan di seberang lautan — tempat tinggalnya.

Aku pernah bertanya tentang pekerjaannya memberitakan hal-hal baik itu. Saat ini sulit sekali menemukan berita baik di surat kabar, jadi kurasa, pekerjaan Batara seperti dewa.

Pernah aku berjumpa seorang nenek yang setiap hari membeli surat kabar hanya untuk menemukan satu berita baik. Terakhir kudengar, api dari lampu minyak membakar habis gubuknya karena terlalu banyak menyimpan surat kabar tanpa berita baik. Seharusnya, si nenek bertemu Batara lebih dulu.

Seperti yang kami rencanakan petang itu. Kami sepakat untuk bertemu di sebuah kota purbakala yang kini penuh gedung raksasa dan dihuni manusia-manusia muram. Petunjuknya begini; pastikan kompasmu menunjukkan arah 107° bujur timur, agak ke selatan. Di pintu gerbang kota itu ada bekas museum terbakar yang belum dibereskan pemerintah daerah, beberapa titik puing bangunan yang rata oleh penggusuran, dan sebuah mercusuar berwarna gading.

Untuk sampai di sana, Batara harus menempuh perjalanan jauh menumpang bus ikan paus, persis seperti imajinasi Jean-Marc Côté pada abad pertengahan Prancis tentang kendaraan-kendaraan di masa depan. Sementara aku, tentu lebih mudah; aku bisa terbang dan menghilang lalu muncul kapan saja dan di mana saja aku ingin hanya dalam satu kedipan mata — waktu itu Batara belum tahu.

Bagiku, kedatangan Batara istimewa. Selain perjalanan jauh yang rela ditempuhnya, dia yang datang mengenakan jaket jeans hitam kecokelatan dan ransel di sebelah pundaknya itu benar-benar membuatku terkesima. Seperti ada gempa bumi kecil yang membawa perasaan hangat menjalar sejenak ke kuku-kuku jariku.

Waktu itu dia memberiku buku tentang seni berbagi ala kaum sofis dan sebuah nasehat agar aku “tidak melulu menyenangkan orang lain”. Selebihnya, pertemuan pertama kami hanya menyisakan tiga hal: calon suamiku yang marah besar, punggungnya yang membuatku merasa seperti menemukan rumah paling nyaman dan waktu-waktu setelahnya yang membuat kami kian sering bertukar kabar.

Sudah menjadi rutinitasnya pergi ke berbagai pelosok negeri untuk mencari berita baik. Batara bilang, kali ini dia diminta membuat tajuk eksklusif tentang berita baik yang ribuan tahun disimpan dalam arsip Kerajaan Rasi Bintang. Untuk itu, ia perlu melakukan wawancara.

Tentu saja aku bersemangat membantunya. Sayangnya, justru di situlah letak kesalahan pertamaku bermula. Aku membuka rahasia bahwa aku bisa terbang dan menghilang. Dia akhirnya tahu aku tinggal di atas awan, lebih dekat dengan Kerajaan Rasi Bintang, sementara tidak ada bus ikan paus yang memenuhi permintaan rute sampai ke sana.

Aku dihadapkan pada dua pilihan; membantu ekspedisinya tapi calon suamiku tak akan suka, atau tidak membantunya dengan menyangkal perasaanku sendiri bahwa bagiku Batara telah menjadi supernova.

Aku mengambil pilihan pertama — dan sebagai gantinya ia berjanji mengajakku berlayar menyaksikan tabur bintang di langit Manggarai, tempat pilihannya, yang aku tak tahu ada di mana, suatu hari nanti.

Dari halte bus ikan paus terakhir di lautan, aku membagi sedikit kekuatan agar Batara bisa naik ke langit. Secepat cahaya melesat ke cakrawala, menembus awan, melintasi bagian gelap gulita dari langit, hingga sampai di ujung kaki Kerajaan Rasi Bintang. Waktu itu, aku tidak bilang padanya bahwa sebuah konsekuensi besar telah kuambil… aku membatalkan pernikahan. Sesuai nasehatnya, aku tidak boleh melulu menyenangkan orang lain.

Perjalanan itu begitu panjang dan membingungkan hingga aku sempat menyusun lirik-lirik lagu.

You’re a home.

You’re warm.

You feel like a blanket.

You’re a blue raincoat.

A navy one.

Gamang pelan-pelan sirna berikut Kerajaan Rasi Bintang yang makin dekat. Sambil menggenggam tanganku, Batara ikut bernyanyi. Entah dia tahu atau tidak bahwa lagu itu untuknya, tapi yang pasti, aku tahu dia tidak sedang bernyanyi untukku.

Selain daripada itu, aku senang semuanya berjalan melebihi ekspektasi. Kerajaan Rasi Bintang menyambut baik kedatangannya. Dirinya menulis catatan perjalanan panjang dalam buku jurnal kesayangannya yang diberi nama Yuujinchou. Kantor tempatnya bekerja bangga sekali dan memberinya promosi. Karena pengalamannya juga, Batara diberi tugas mengajarkan anak-anak magang cara menulis berita baik paling spektakuler.

Beberapa bulan setelahnya, aku melakukan kesalahan keduaku.

Tentangnya yang telah menjadi supernova dalam hidupku, akhirnya Batara tahu. Kukatakan padanya, aku tidak perlu menyembunyikan apa-apa. Aku telah membatalkan pernikahan dan dia kini menjadi rasi bintang paling benderang di galaksiku. Dan tentangku, aku hanya tahu dia menganggapku seperti cahaya terang, debu bintang, unicorn atau apa saja yang sedikit dipedulikannya.

Batara lalu berjanji menemuiku sekali lagi. Masih menumpang bus ikan paus yang sama, di kota purbakala yang sama. Katanya, dia akan memberiku kunci yang tak pernah dia berikan kepada siapapun sebelumnya. Aku tak pernah tahu kunci apa yang dimaksud Batara, tapi bagian menyakitkannya adalah aku harus membuat Batara membatalkan tiket perjalanannya. Karena aku sudah tahu, Batara tidak datang untuk memilihku. Tidak juga untuk menjemputku pergi ke Manggarai.

“Aku akan menjadi temanmu!,” ujarnya.

“Tidak bisa. Kau tinggal jauh, seringnya di lautan. Sementara aku di balik awan. Kau tak akan bisa jadi temanku,” balasku mengelak.

“Lautan itu tempat di mana bintang terlihat paling indah, kau tahu? Kamu kan cahaya! Seperti bintang yang menjadi penunjuk arah para pelayar! Kita bisa saling menemani.”

Aku tidak tahu apa yang sekiranya bisa membuat ini semua jadi mudah. Kemampuan menghilangku lenyap dan aku tak bisa lari ke mana-mana. Aku mencintainya sampai hampir gila.

Cerita-cerita tentangnya menjelma jadi lirik lagu yang selalu kunyanyikan. Ketenangan menyimpan namanya melebihi semua reaksi psikotropik yang pernah aku coba.

“You’re a home. You’re warm. You feel like a blanket. You’re a blue raincoat. A navy one. You’re the brightest constellation in my galaxy. A supernova to me…”

Sementara dia tidak akan bisa memilihku karena ikatan janji-janji masa lampau. Seperti apapun Batara peduli pada cahayaku, baginya aku hanya teman yang tinggal nun jauh di langit, tak terjangkau.

Hingga aku tahu, Batara lebih pandai menyembunyikan sesuatu daripada diriku. Bahwa sejak awal, aku telah menjadi distraksi terbesarnya. Membuatnya rela meninggalkan apa saja, melakukan apa saja. Membuat perhitungan-perhitungannya jadi kacau.

Dia tak pernah menginginkan sesuatu dalam hidupnya melebihi kali ini; dengan cara apa saja membuat bus ikan paus bisa menambah rute untuk naik ke langit. Sayangnya, ketika Batara melakukan itu, aku sudah tidak tinggal di sana.

1 pesan diterima,

dari Batara:

“I lied that… i never fall in love with you”

Kau di depanku, dekat. benderang seperti cahaya. Menyilaukan seperti cahaya. Bergerak cepat. Melesat dalam milyaran jarak perdetik. menjauh. Lenyap jadi gelap.

Cahaya-cahaya yang setiap malam kau kabarkan sebelum pejam mata terakhir, nyatanya tidak selamanya terang. Suatu ketika kita tahu ia bisa gelap.

“semua fusi nuklir yang membuat bintang-bintang itu terang di langit sana, suatu ketika akan meledak lalu mati. membakar dirinya sendiri. jadi lubang hitam yang menghisap habis semua energi lain, menuju ujung yang belum pernah terdeteksi,” katamu.

“lalu siapa yang masih mau menjadi cahaya semacam itu?”

Mungkin aku.

Mungkin kau yang kubiarkan semaumu.

Meski kau di depanku, dekat. Lama-lama akan gelap. Lama-lama pekat. Sebelumnya, biar kudekap kau.

Erat-erat.

“kalau nanti meledak bagaimana?”

“seperti rencana awalnya, kita jadi supernova”

--

--

gempa bumi kecil
FIKSIOMA

Kunjungi FIKSIOMA untuk publikasi fiksi dan WRITHERAPY untuk refleksi diri.