Photo by Pan Yunbo on Unsplash

Mencari Tentram

gempa bumi kecil
FIKSIOMA
Published in
3 min readMar 25, 2023

--

Biar kutuliskan cerita ini dulu sebelum aku bersiap pergi ke kantor. Sekarang pukul sebelas lewat tujuh belas menit di hari Sabtu — dan aku terpaksa harus tetap kerja. Kekasihku sepertinya masih tidur di kota yang lain, atau mungkin dia sudah terbangun tapi lupa mengirimkan pesan padaku.

Setelah aku bilang padanya ingin memperbaiki pola tidur yang sudah terlalu berantakan, kami jadi jarang bicara di telepon yang biasanya menghabiskan waktu setengah malam. Jadi ketika aku sudah bangun pukul delapan pagi, dirinya justru baru berniat tidur. Kadang ia masih suka menelepon tiba-tiba saat dini hari dan tentu saja aku menjawab teleponnya. Seperti kemarin, via sambungan jarak jauh kami membicarakan tentang rasa nyaman. Atau aku menyebutnya ‘tentram’. Hal yang selalu kujadikan alasan untuk melarikan diri.

Beberapa kali aku berpikir, apa baiknya kami putuskan saja hubungan ini? Awalnya karena toh ada dan tidak ada dirinya, aku merasa akan baik-baik saja. Entah aku yang tidak berbakat tumbuh dalam sebuah komitmen atau memang aku sudah muak saja dengan hal-hal terkait romansa. Lagipula bila orang-orang melihat isi percakapan kami di whatsapp, jangan harap ada hal manis di sana. Kadang kami terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, sesederhana tidak saling ingin tahu, atau seringnya aku hanya malas saja membalas pesan-pesan dan pertanyaannya yang kuanggap tidak penting. Karena sama sepertiku, dirinya juga kerap menanggap hal-hal yang kupikirkan tidak penting. Kami impas.

Kembali pada obrolan telepon tentang rasa nyaman, kukatakan padanya bahwa aku agak merasa sedih tiap kali dia menganggapku tidak penting. Itu membuatku tidak nyaman. Tidak ada tentram. Dan menurutnya kebanyakan perempuan berselingkuh karena mencari rasa nyaman itu. Kubilang, perempuan bisa menjadi apa saja yang mereka mau. Mereka makhluk tangguh yang bahkan sanggup melahirkan kehidupan baru. Perempuan, kadang, hanya butuh hal-hal yang membuatnya nyaman, seperti pelukan ayah dan kasih sayang ibu, suasana rumah yang hangat atau perhatian seseorang yang khusus.

Tapi kekasihku bilang, rasa nyaman itu adalah hasil. Sementara baginya, proses adalah hal utama. Justru karena selalu mencari rasa nyaman yang adalah sebuah ‘hasil’ itu, banyak hubungan yang tidak bertahan lama meski pada awalnya tampak sangat bahagia.

“Kalau sudah mendapat rasa nyaman, lalu akan mencari apa lagi?”, katanya.

Aku punya banyak jawaban untuk argumennya. Untungnya sebelum aku mulai membuka perdebatan, kekasihku bilang begini, “Aku nggak ingin kita semata memberi dan menerima. Ini bukan masalah memberi dan menerima. Ini tentang berjalan bersama. Aku mungkin tidak memberimu aman atau rasa nyaman, tapi yang membuatmu tidak sendirian. Bahwa selama perjalanan kita sama-sama sampai liang lahat itu, kamu nggak sendirian”

Lagi-lagi ada saja kalimat yang kutemukan untuk menjawabnya. Seperti misalnya, dengan apa dia bisa menjamin aku tidak merasa sendirian? Padahal rasa sendirian itu adalah kesunyian yang sembunyi. Kurasa kali ini, dia terlalu percaya diri.

Atau mungkin isi kepalaku yang kadang kala iri pada perempuan-perempuan lain yang pernah disukainya jadi salah satu alasan kekesalanku sendiri. Mungkin juga itu alasan dari ketidaknyamanan yang kurasakan sendiri.

Tapi siapapun tahu, telur-telur menetas karena terlindungi pada sesuatu yang aman (dan nyaman). Siapapun tahu, ada tentram yang tumbuh di ruang-ruang yang nyaman. Bersamanya, aku tidak merasa tentram.

“Nggak, kamu gak bisa membuatku merasa tidak sendirian. Itu kerja berat. Kamu bahkan tidak bisa mengupayakan aman dan rasa nyaman untukku. Jangan merasa punya kekuatan super.”

Aku menutup telepon dengan hela napas panjang setelahnya.

Sebenarnya aku tahu perdebatan ini hanya kesibukan yang aku cari-cari sendiri. Berharap menemukan jawaban yang sekiranya cukup untuk mempertahankan hubungan kami. Padahal, ketika aku “mencari” di saat itulah aku sudah menemukan “jawaban” bahwa hubungan ini tidak perlu dipaksakan — bahwa semestinya aku bahkan tidak perlu mencari.

Sejujurnya aku tidak pernah menyalahkan dia atas rasa tidak nyaman ini. Mungkin memang ada hal-hal yang secara alamiah agak sulit membaur, seperti minyak goreng panas yang terkena tetesan air dan justru meletup-letup. Barangkali aku si minyak goreng panas itu.

Aku pun tidak pernah punya tujuan memaksakan hubungan ini tetap berjalan baik, atau berupaya membuatnya jadi nyaman untuk kami berdua. Menerima bahwa kenyamanan tidak tercipta dan tentram yang dituju memang tidak ada di sini lebih mudah buatku daripada kami harus sama-sama bertahan. Kalaupun perasaan tidak nyaman ini adalah masalahku, aku tidak perlu menjerumuskannya lebih dalam.

Baiklah, nanti saat jam makan siang aku akan meneleponnya untuk menyelesaikan romansa ini baik-baik. Biar kami sama-sama punya kesempatan untuk menemukan tentram di ruang yang lain.

--

--

gempa bumi kecil
FIKSIOMA

Kunjungi FIKSIOMA untuk publikasi fiksi dan WRITHERAPY untuk refleksi diri.