Pesan Dari Akhir Januari

gempa bumi kecil
FIKSIOMA
Published in
5 min readJul 23, 2024
Photo by Ulla Shinami on Unsplash

Aku tidak sepenuhnya percaya pada orang-orang. Tapi padamu, percayaku penuh. Padamu, aku selalu jujur tentang apapun. Karena barangkali, kau mengenali hatiku lebih daripada siapapun.

Dulu sekali, kau pernah bertanya, “Kalau aku bilang aku tidak akan meninggalkanmu dan sesering apapun aku pergi, aku berjanji akan tetap datang lagi, kamu percaya?”

Ya, aku percaya dan nyatanya sampai hari ini, seperti apapun jalan ceritanya, kau membuktikan kata-katamu.

Kurasa, dari sekian banyak hal tidak tertebak di hidup manusia, saling menemukan tiba-tiba adalah salah satu yang terbaik. Seperti aku yang ditemukan olehmu waktu itu. Lengkap dengan sisi terang dan gelapnya yang selalu kau terima tanpa banyak tanda tanya.

Aku menulis banyak cerita tentangmu. Karena tiap kali aku merasa kesepian, cerita-cerita itu akan jadi penawarnya. Aku jadi bisa mengingat lagi saat kau berada sangat dekat denganku. Seperti aku bisa merahasiakanmu untuk diriku sendiri.

Aku juga terus menghitung berapa lama waktu yang sudah berlalu sejak pertama kali kau menyapaku di sebuah balasan instagram story. Kau yang sejak awal tidak pernah menjadi bagian dari ekspektasiku sama-sekali, tenyata jadi yang paling sering bilang: “kurangi kebiasaan minum kopi yang tidak sehat untuk lambungmu”. Dari ratusan teman yang kukenal, hanya kau satu-satunya yang protes pada kebiasaan minum kopiku.

Kau sempat bercerita, seperti aku yang minum kopi setiap hari, kau pun pernah sama. Tapi kau berhenti karena menyadari itu tidak baik untuk tubuhmu. Kau menggantinya dengan air putih dan susu. Meski kemudian, saat aku tahu kamu mulai menyukai kopi lagi (terutama kopi hazelnut), rasanya jadi lucu dan aku jadi ingin mengajakmu minum kopi kapanpun kau sempat.

Lalu di kemudian hari, setelah kita pada akhirnya bertatap muka, kau jadi sering membawakanku sekaleng susu. Kini susu kaleng putih itu menjadi favoritku. Susu itu bukan hanya minuman kaleng, ia juga kenangan dan cerita-cerita tentangmu kemudian.

Bagiku, kau datang dari segala ketidakmungkinan yang rumit dan aku menerimamu sebagai teman baru yang unik. Kau mulai membuka diri dan berbagi beberapa kisah, kebiasaanmu, kehidupanmu, dunia kampusmu, makanan favoritmu, lagu yang membuatmu menari, kemarahanmu, depresimu, juga hal-hal lain yang menghantarkan kita pada pelukan panjang, isak, gemetar, rasa takut dan keinginan untuk berlindung.

Aku masih ingat kapan kamu meringkuk dan aku mendekap kepalamu erat, kamu gemetar dan menangis waktu itu. Aku ingin melindungimu seperti kamu melindungiku. Aku juga ingat waktu kau memutar Rex Orange Country dan menikmati alunan ‘Best Friend’-nya. Sejak saat itu sampai hari ini aku jadi suka Rex Orange Country. Juga ‘Day One’ milik Honne. Tentu saja karena ketika mendengarnya, ingatanku akan kembali padamu. Pada senyummu, tawamu, matamu, gerakmu menikmati alunan musik, juga kebiasaanmu mengusap kepalaku.

Kudengar, kau banyak dibenci orang. Kata mereka kau arogan, penjahat, manipulatif, brengsek, pengkhianat, serta serangkaian keburukan lainnya melekat di balik nama dan sosokmu yang populer. Pernah sekali waktu aku juga merasa demikian: aku pernah mempertanyaan apa maksud dan tujuanmu berteman denganku. Sekadar ingin berteman mungkin bisa kuterima sebagai awalnya, relasi berikutnya aku tidak pernah tahu.

Tapi lama-lama pertanyaanku luntur. Curigaku padamu hilang. Karena setelah semua yang terjadi, aku tidak yakin kita hanya sekadar teman. Keberadaanmu untukku menjadi begitu penting.

Di malam-malam berikutnya kita jadi sering menghabiskan waktu bersama, sampai pagi. Kadang mengobrol, kadang tertawa, kadang mengumpat, kadang menangis, dan seringnya malah hanya diam.

Aku lalu mengenal dirimu yang lain. Kau jenius. Isi kepalamu membuatku takjub, adiktif, obsesif. Kau baik hati, sangat perhatian, lembut, penyayang, hangat, juga bisa melakukan pengorbanan apa saja untuk sesuatu yang kau sayangi. Kau memanggil ibumu ‘bunda’ dan ‘ayah’ adalah kebanggaanmu. Kau tangguh sekaligus rapuh — untuk menyembunyikan itu semua maka kau menjadi terlihat acuh. Padahal kau amat peduli.

Kalau soal brengsek, kita semua brengsek, bukan? Ini hanya tentang pada siapa kita rela menunjukkan seburuk-buruk diri kita untuk tetap baik-baik saja dan nyaman berbagi rahasia. Bahkan kurasa aku juga menyukai sisimu yang satu ini.

Ada suatu malam aku lapar dan kau mengajakku berkeliling kota mencari makan malam. Kau tidak berhenti sampai aku bilang “Stop! Kita makan di situ’. Kau juga tidak protes meski perjalanan malam itu cukup jauh. Di bangku belakang motor, rasanya aku ingin menyandarkan kepala pada punggungmu.

Ada suatu malam saat aku demam dan kau datang membawakan obat. Ada juga ketika aku sedang sangat marah, lalu duduk meringkuk di depan pintu gerbang, kau datang berjalan kaki entah dari mana. Tanpa bertanya apa-apa, kau meletakkan punggung tangan di keningku. Membelai pipiku lalu mengusap kepalaku lembut sekali. Malam itu kau menemaniku berjalan kaki entah ke mana tujuannya. Aku hanya ingin menetralkam emosiku dan aku bersyukur kau di sebelahku.

Kita berhenti di sebuah warung kopi dan memesan makanan. Ternyata, harga makanannya lebih mahal daripada biasanya. Kau protes sambil teriak dari jauh “Telor tiga biji empat belas rebu, mau naik haji lo?” — dan seketika tawaku pecah. Aku tidak marah lagi pada apapun.

Dan padamu, aku berhutang nyawa. Malam itu aku benar-benar ingin mati. Aku hanya berani menghubungi kamu saja. Kau datang, memelukku erat dan membuat takutku reda. Meski ketika kau terlelap setelahnya, di balik punggungmu aku melukai lagi diriku sendiri.

Tapi, aku tahu, ada kau di dekatku dan aku tidak akan mati malam itu.

Kadangkala kau sungguh menyebalkan dan membuatku jadi serba salah. Aku selalu takut membuatmu kecewa, apalagi marah. Kalau bisa kubilang, untuk pertama kali dalam hidupku, aku terobsesi pada seseorang: padamu. Aku ingin berlama-lama di dekatmu. Mendengar suaramu adalah penawar bagi banyak kekhawatiranku. Mungkin ini alasan aku sering menghubungimu tengah malam.

Kau tahu, saat kamu tidak ada, aku benar — benar merasa kehilangan. Menyakitkan sekali rasanya.

Aku tidak bisa menjelaskan apa-apa selain mengakui bahwa kamu penting dan berharga untukku. Sangat. Kamu mencuri perhatianku. Tanpa aku bisa memberi apa-apa untukmu, kurasa akulah yang justru bersikap jahat padamu.

Terima kasih sudah selalu ada. Menjadi tempatku melarikan diri. Menjadi ruang untukku bersembunyi. Memberikan pelukan yang erat saat aku ketakutan. Menemani saat aku kesepian. Mendengarkan cerita-ceritaku. Menerima keburukanku yang tidak pernah orang lain tahu. Memahamiku dan menerimaku lebih dari siapapun yang kukenal. Mengusap kepalaku lembut dan meyakinkanku hidup akan terus berjalan, aku akan baik-baik saja.

Terima kasih sudah memelukku begitu erat dan begitu lama. Membiarkan kita terkunci di sana dan menjadi jujur. Membiarkan kita mengambil kesempatan untuk jadi manusia yang mengakui kelemahannya sendiri, jadi manusia yang juga punya perasaan.

Kali ini aku akan mengatakannya dengan benar: Untukku kau tak pernah tertolak.

Hanya sayangnya, beberapa jiwa mungkin terlahir bukan untuk bersama hingga senja. Beberapa jiwa terpisah dan dipertemukan seperti api dan angin yang saling menyalakan, menghangatkan, hingga kemudian menyisakan abu. Beberapa cerita sengaja menggantung di kaki semesta, tidak ada jejaknya, hanya rasa gamang yang saling menerka-nerka. Mungkin, kita adalah salah satunya.

--

--

gempa bumi kecil
FIKSIOMA

Kunjungi FIKSIOMA untuk publikasi fiksi dan WRITHERAPY untuk refleksi diri.