Tak Perlu Terburu

gempa bumi kecil
FIKSIOMA
Published in
6 min readJun 27, 2022
Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Kamu menghubungiku, kau bilang ingin mengajakku ke kedai kopi kesukaanmu. Aku tahu benar tempat itu. Suasana yang menurutmu menjadi semacam sumber energi yang membuatmu merasa lebih baik.

Maka sore itu kita bertemu. Kau sampai lebih dulu, sementara aku menyusul sambil terburu. Kau memilih meja yang selalu sama sejak dulu, menu minuman yang juga selalu sama sejak dulu — dan aku tidak perlu penasaran apa alasanmu kan?

Lalu percakapan kita merambati dinding waktu seperti biasanya. Hingga satu pertanyaan kau ajukan padaku : “Kamu takut berumah tangga tidak?”

Udara di luar sedang dingin, tapi pertanyaanmu itu jauh lebih dingin. Rasanya ada kegelisahan yang begitu memberatkan perasaanmu.

Aku mengerenyitkan dahi, lalu kembali meletakkan segelas teh hijau yang baru saja kusesapi sedikit.

“Nggak”, balasku. Aku memerhatikan matamu lekat-lekat. “Aku justru senang membayangkan suatu ketika akan berumah tangga.”

Kau terdiam agak lama, tidak membalasku. Jemarimu mengaduk-aduk gelas kopi yang sejak awal tidak kau minum.

“Aku harus bisa mengalahkan rasa takutku sendiri. Supaya aku bisa membantu pasanganku mengalahkan rasa takutnya.” Aku melanjutkan kalimatku, sementara diammu bergeming. Kau terus mengaduk, berharap di sana kau temukan kata-kata paling tepat untuk mengungkapkan perasaanmu. Dan aku masih menunggumu bersuara.

“Aku takut”, adalah dua kata yang akhirnya terucap darimu; dari bibirmu, dari matamu yang mencoba lari, melempar pandang ke luar jendela. “Jatuh cinta dan menikah itu seram. Nanti bisa diselingkuhi… atau bisa saja cintanya nggak akan abadi — ”

“Aku mau perbaiki kalimatmu boleh?”, aku memotong tanpa menunggu persetujuan darimu. “Mungkin maksudmu ‘jatuh cinta dan menikah dengan orang yang tidak tepat itu seram.’

Kau menghela napas pendek, sedikit tertawa. “Aku suka kamu memperbaiki kalimatku. Ya… mungkin kamu benar. Aku takut jatuh cinta dan menikah dengan orang yang salah.”

Lalu kau menatapku, memberikan senyum terbaik yang kau punya; sayangnya tak mampu menyembunyikan rasa khawatirmu. Tentu aku tahu, tatkala senyummu kembali lenyap seketika, berganti hela napas yang lain.

“Kalau begitu, kamu bisa memulai dengan menjadikan dirimu sebagai orang yang tepat bagi pasanganmu kelak”, kini aku yang tersenyum sambil mengangkat kedua bahuku. Aku tahu, ini sama sekali tidak membantu. Aku hanya sedang sok bijak menawarimu sebuah alternatif pilihan, yang bilapun tak kau pilih, kuharap bisa kau tertawakan.

Tetapi matamu kembali menatap ke luar jendela, entah melihat apa. Apakah merpati liar yang sedang mematuk remah-remah roti yang diberikan pejalan kaki? Apakah lalu-lalang manusia yang sibuk? Apakah mencoba mendengar percakapan di dalam kepala mereka? Atau kau sedang memerhatikan awan yang tak lama lagi menjatuhkan rerintik? Entah… aku tidak ingin menebak-nebak.

“Maheswari, maksudku, di dunia ini, kecil sekali kemungkinan kita bertemu ‘belahan jiwa’ kita,” ucapmu tanpa melepas pandang dari luar jendela.

“Dan di dunia ini pula, yang kita butuhkan hanya kemungkinan ‘kan? Kecil atau besar, asal ada kemungkinan segalanya masih bisa terjadi, Samara.” balasku.

“Ah.. kemungkinan.. justru karena ada kemungkinan, maka ada harapan. Lalu memunculkan kekecewaan,” timpalmu kembali memberikan santapan lezat pada rasa takut itu.

Di luar kedai kopi, angin mulai berembus, merpati liar menghambur beterbangan, orang-orang mempercepat langkah kaki. Sementara di dalam kepalamu, ketakutan demi ketakutan kian membuncah. Berlarian dan menjadikannya ruang paling sibuk di dunia.

Sejak terakhir kali kau bercerita tentang kekasih yang mengkhianatimu dan cincin pertunangan yang kau lemparkan begitu saja dari balik jendela kaca kendaraanmu, yang kutahu, kau teramat kecewa. Sangat amat kecewa. Aku tidak ingin bertanya, itu hanya menyayat kembali luka yang sempat sulit kau obati. Sungguh, aku begitu ingin memahami, perasaan takut macam apa yang hinggap dan mengendap di sana.

“Harapan itu seram, Mahes..”, kau memecah heningku.

“Tergantung sih, kamu berharapnya pada (si)apa.”, dan lagi-lagi aku sok bijak, antara menawarkanmu pilihan lain atau sekadar mencoba menghangatkan segala yang terasa dingin.

Namun kau hanya menggeleng. Sejurus kemudian menyesap cangkir kopimu meski ia sudah dingin. “Aku nggak berharap dulu, expectation hurts”, lanjutmu seraya menatapku. Tatapan itu berkata ‘ah, entahlah’. Ya.. aku tahu benar.

Everybody hurts, Samara”

“Mahes, kamu tahu… orang yang nggak berharap nggak akan terluka”

Kali ini aku tidak menjawab. Kau tidak salah. Kita memang akan lebih mudah terluka karena harapan-harapan. Tapi aku sedang memilih membalas sikap diammu dengan diam yang sama. Kualihkan perhatianku menelisik ke setiap sudut kedai kopi.

Ini memang kedai kopi kesukaanmu. Setiap kali kau merasa tidak sedang baik-baik saja, kau akan datang ke sini menyelamatkan diri. Dulu kau bilang, suasananya membuatmu merasa sejenak menghilang, kemudian pulang dengan perasaan yang membaik.

Ah, padahal… aku tahu itu hanya alasanmu saja. Toh nyatanya kau seringkali berpura-pura merasa baik, berpura-pura lupa bahwa hatimu masih terluka.

Aku kesal sekali, betapa aku merasa apa yang kamu rasakan tanpa sanggup menyembuhkan.

“Samara, tentang pernikahan yang kamu maksud, kenapa kamu takut?”

“Tentu saja aku takut. Bahkan aku bukan laki-laki baik, tetapi aku mengharapkan seorang puteri kaisar. Aku tidak mampu menjanjikan bahagia apa-apa.”

Well, Samara.. aku mengerti sekarang. “Pernikahan nggak pernah menjanjikan bahagia, Samara. Nggak pernah. Bahagia itu akan ada kalau kita yang ciptakan.”

Aku merekatkan jari-jemariku sendiri satu dan lainnya, kemudian menatap matamu lekat-lekat, sekali lagi, aku ingin bicara dengan hatimu kali ini.

“Kamu tahu, yang membuatku senang membayangkan pernikahan justru di saat-saat sedihnya. Membayangkan bahwa di saat terpurukpun aku dibutuhkan, dan aku tidak akan lari meski mungkin aku ingin. Aku tidak ingin takut karena aku harus menguatkan pasanganku, menguatkan kami.

“Kamu akan ingin lari?”, suaramu lirih bertanya memotong kalimatku yang belum sepenuhnya usai.

“Tentu. Semua manusia punya mekanisme untuk mempertahankan diri dan lari dari masalah. Tapi aku tidak akan lari.”

“Nah.. mekanisme itu yang membuatku takut,” dahimu berkerut, kedua tanganmu memegang kepalamu sendiri, meremas rambutmu sendiri, sementara wajahmu kian menunduk. Kau sebenarnya benci pada ketakutanmu sendiri.

“Samara, tetapi di situlah letak kesadarannya. Memutuskan menikah harus dengan sadar, menjalani pernikahanpun harus dengan sadar. Nggak boleh buta, nggak boleh tuli.”

Wajahmu kian tertunduk, kau meremas kepalamu lebih erat. “Menikah berbahaya untuk hatiku. Sungguh, aku benar-benar takut”.

“Boleh aku memintamu melihatku sejenak, Samara? Dengarkan aku baik-baik.. kurasa mencintai adalah soal keberanian. Berani mempertanggungjawabkan perasaan kita sendiri, berani untuk menyatakan, berani saat diterima, berani pula saat tertolak… Bukankah kita semacam bertaruh dengan kemungkinan-kemungkinan yang terus berlarian? Kemungkinan-kemungkinan yang boleh jadi serupa anak panah yang melesat dari waktu ke waktu… dan kita hanya perlu menangkap satu…”

“Maheswari, aku jujur, ketakutan terbesarku adalah mencintai terlalu dalam, kemudian sadar bahwa cintaku tidak akan terbalas.”

“Kau yakin menyebutnya cinta? Bukan obsesi?”

“Apa lagi yang bisa kusembunyikan darimu, Mahes? Ketakutan terbesarku adalah menyadari aku nggak mencintai, aku hanya terobsesi. Kamu terlalu sempurna… aku takut”, kau kembali menatapku, kali ini tatapan itu menyeruak lebih dalam… kau mengucapkan kalimat itu sungguh-sungguh.

Aku menggenggam jemarimu yang terasa beku bagiku. “Mencintai itu menguatkan, Sam… Kalau kamu jadi lemah, itu bukan cinta namanya.”

Kau diam, aku melanjutkan. “Menurutku kita harus memikirkan yang baik tentang segala sesuatu, terutama soal masa depan. Karena boleh jadi, kesempatan yang kita punya hanyalah untuk ‘memikirkannya saja’, tanpa pernah mampu mengalaminya. Toh semua orang punya masa lalu, di dalamnya ada ruang-ruang paling gelap dan menakutkan. Tapi atas kesalahan-kesalahan yang kamu sesali, kamu telah mengambil banyak pelajaran darinya. Jadi kurasa, jangan lagi bebani dirimu dengan ketakutan yang tidak perlu, sementara kamu saat ini berkesempatan menyentuh cahaya.”

Kau mendengarkan semua yang kukatakan. Hal-hal yang aku tidak pernah tahu bagaimana bisa kukatakan begitu saja, padamu.

“Terima kasih sudah menjadi cahaya”, hanya itu yang kudengar darimu setelahnya. Jemarimu terasa menghangat, tatapanmu terasa meneduhkan. Asal kau tahu, mungkin sesungguhnya aku tidak sedang menguatkanmu, melainkan sedang menguatkan diriku sendiri yang diam-diam memiliki ketakutan yang melebihi rasa takutmu.

Samara, aku mengakui rasa sakit itu serupa racun kimia. Ia mengendap meski warna dan baunya sudah hilang. Tapi tak apa apa, akan ada yang menjadi penyembuh.

Maka untukmu, aku ingin ada.
Aku ingin bisa, aku ingin mampu, aku ingin menjadi penumpu.

Untukmu semua itu tak perlu terburu.

--

--

gempa bumi kecil
FIKSIOMA

Kunjungi FIKSIOMA untuk publikasi fiksi dan WRITHERAPY untuk refleksi diri.