Kingdom Of Heaven (2005)
Kingdom of what?
Beberapa kawan lama saya yang kini sudah berkeluarga atau mapan, aktif menyoroti berbagai posting bertema agama di medsos — sosmed. Beberapa dari mereka ketika ‘ditemui’ di facebook, sedang aktif nge-share himbauan pada kawan medsosnya untuk kembali ‘menganut’ agama yang dianutnya.
Ialah Facebook, maksud saya teman-teman saya (di facebook) yang seagama dengan saya (baca: Islam) sedang menghadapi krisis hasrat beragama akut. Berbondong-bondong, mereka berjuang mengembalikan kejayaan Islam (di facebook). Fenomena langka ini bisa di lacak jejaknya melalui melalui fitur share di facebook yang kini akrab dengan postingan agamis.
Kebanyakan postingan yang ter-share, adalah postingan yang memang khalayak-able, dibuat untuk dibaca orang banyak. Juga dibuat dengan membandingkan dua (atau lebih) hal. Yang satu baik, yang lain buruk. Intinya, mengkontraskan dua (atau lebih) hal. Yang bikin saya gerah, tentu saja posting-posting analisis (historis) komparatif semacam itu cuma kedok kepentingan politis belaka.
Yang sedang rame banget: postingan komparatif dua agama. Misal, sikap penganut agama satu diperbandingkan dengan sikap agama lainnya ketika dihadapkan pada sebuah soal, isu, kejadian, dsb. Lantas, postingan dibumbui dengan kalimat-kalimat penjelas mana yang lebih baik, supaya lezat nan gurih.
Lain dunia
Uniknya, saya yakin tidak sedikit pula teman-teman saya yang sedang kehilangan hasrat beragama, terutama yang masih remaja ababil —usia 20–30 tahun, seperti saya. Berbagai alasan bisa dihadirkan untuk mendukung hipoteshit kemerosotan hasrat beragama ‘remaja-remaja ababil’ tersebut. Mulai dari asiknya menuruti hawa nafsu keduniaan, asiknya perdebatan dengan diri sendiri, sedang merasakan nikmatnya berselancar di dunia kecil intelek-intelekan, sampai sibuk dengan urusan keduniaan yang dipengaruhi faktor kedewasaan (yang baru kulitnya doang), semisal anak mbarep dan ibunya yang harus dikasih makan.
Ada yang dengan sadar mengakui sudah kehilangan agamanya. Ada yang sadar ia tak pernah benar-benar memeluk agama yang dipeluknya. Ada yang belum berhenti mencari Tuhan. Ada pula yang lupa dengan kewajiban menuhankan. Pokoknya bolehlah dibilang kafir, mereka-mereka ini. Oh, saya juga boleh dikafirin, ding.
Kingdom Of Conscience
Menariknya (mungkin juga tidak) tak satupun dari kedua golongan ini yang dibenarkan. Peperangan keduanya tak monoton. Terkadang golongan ini yang menang, yang itu kalah, kadang sebaliknya. Kemenangan-kekalahan dalam perang ini pun luwes, sisi manapun pasti bisa menang. Bahahahah. Opo sih
Indahnya yang lebih indah, Scott Ridley, sutradara film epic ternama asal Inggris dengan gagah berani mau mengangkat sebuah kisah (yang sudah diedit) untuk menengahi perseteruan siapa yang beragama dengan benar, siapa yang salah, yang tak berkesudahan ini.
Kingdom of Heaven menampilkan spektrum toleransi beragama yang akut, eh, indah maksudnya.
Perang Muslim dan Christian ia kisahkan sakjane bukan perang antar agama. Kedua golongan atawa agama ini punya kepentingan duniawi sendiri yang harus diselesaikan dengan cara mereka sendiri. Di film ini, agama cuma jadi cara berdoa, bukannya jalan menuju surga, jalan kebenaran, atau panutan absolut-absolut metafisis ngono kaelah. Ini adalah titik terjauh yang berhasil di tempuh oleh Scott. Ia memberikan penawaran menarik bagi yang menonton, yakni trik dan tips membuang agama selagi masih sempat. Bila selepas menonton film ini kita mau leyeh-leyeh di sekitar titik-nya Scott, niscaya lelah hilang, hati tenang (mungkin juga tidak).
Balian: What is Jerussalem worth?
Saladin: Nothing. (Smiles) Everything.
Para Pemeran
Film ini amat relevan di musim kering toleransi beragama yang sedang kita alami. Yang menjadikannya relevan adalah akting ciamoy milik para pemeran film ini. Eh, isunya maksud saya, nek urusan akting mah nyambunginnya pakek jembatan ding.
Yang kecantol film ini tentu ingat tokoh-tokoh dalam film ini. Balian (Orlando Bloom) dan Sybilla (Eva Green) adalah dua tokoh utama yang ganteng nan cantik(lah). Sedap disawang.
Uniknya, pemeran-pemeran pendukung film ini justru lebih nendang.
Godfrey yang diperankan oleh Liam Neeson adalah hidangan pembuka. Akting Liam Neeson powerful, menurut saya. Selain dapat mengeja scriptnya dengan fasih, ia tak lupa menghidupkan Godfrey sebagai ‘prajurit tuhan’ yang sempurna serta manusia(wi). Knight yang humanis-duniawi-sosialis namun masih bisa menuhankan Tuhannya.
Tiberias (Jeremy Irons), menebalkan garis tepi yang telah dibuat oleh Godfrey. Seolah tak mau kalah dengan Liam Neeson, Jeremy Irons ‘mendewasakan’ dirinya ketika memerankan Tiberias. Suara seraknya menggelegar saat harus membentak para penonton yang dongkol dengan kecilnya kemungkinan film ini mengkafirkan sebuah agama.
Ada juga duo antagonis Reynald de Chatillon dan Guy De Lusignan yang menghindarkan film ini dari sepinya konflik. Ndilalah cuma mereka berdua yang ‘jahat’. Namun jangan remehkan akting keduanya, terutama si Reynald De Chatillon, yang tampil cukup memukau. Walaupun bagi para penganut antiradikalisme tokoh ini adalah perwujudan radikalisme, di salah satu adegannya, Reynald berhasil menghasut kita (terutama saya) agar mau memahami isi hati para radikaller.
Saladin tak boleh dikesampingkan. Ia merupakan tokoh penyeimbang sekaligus salah satu tokoh panutan bagi banyak orang. Saladin adalah role model ideal bagi sodaraku umat muslim yang mau belajar toleran. Ghassan Massoud mampu memerankan tokoh Saladin se-elegan aslinya.
Itu saja? Ooo tida-tida, masih ada dua tokoh super memorable: The King of Jerrusalem (Edward Norton) dan Hospitaller Knight (David Thewlis).
Edward Norton seperti biasanya, mampu berdialog dengan penonton. Norton biasanya dibekali tokoh berkepribadian ganda agar power akting miliknya muncul. Tengoklah Primal Fear, atau Fight Club.
Di Kingdom of Heaven ia tak dibekali karakter semacam itu. The King of Jerrusalem adalah raja bijak yang memang bijak dan kehadirannya bertujuan ndromo. Tidak hanya berhasil menampilkan power aktingnya, ia juga mampu membangun sosok The King of Jerrusalem menjadi tokoh memorable. Sekalipun kemunculannya sebentar saja.
Lain halnya dengan Hospitaller Knight yang wira-wiri dari awal hingga akhir film.
Tak perlu susah payah, David Thewlis cukup melafalkan script-nya yang ndak ambisius itu untuk membuat film ini berkesan buang-buang agama.
Hospitaller Knight: I put no stock in religion. By the word ‘Religion’ I have seen the lunacy of fanatics of every denomination be called the ‘Will of God.’ Holiness is in right action, and courage on behalf of those who cannot defend themselves, and goodness. What God desires is here…(points to head) and here… (points to heart) and by what you decide to do every day, you will be a good man. Or not.
Hospitaller Knight luwes melenggak-lenggok dari adegan ke adegan sebagai agen resmi pesan-kesan film. Selain menemani tokoh-tokoh kunci, mulai dari Godfrey, Tiberias, sampai Balian, Hospitaller Knight adalah garis tepi yang melindungi penonton dari rasa haus quotes-quotes medsosable masa kini.
Apa yang perlu dibawa pulang?
Selain buang-buang agama, Kingdom of Heaven punya kisah heroik yang boleh banget dihidangkan di meja-meja perdebatan religion. Sebagai film superhero abad pertengahan, Kingdom of Heaven menunjukkan kembali pada kita apa artinya melebur, serta mengingatkan kita pada standar lelah minimum regional bagi siapapun yang ingin tampil beragama secara liberal, moderat, dan super toleran.
Meminjam apa yang diyakini oleh The King of Jerrusalem dan Saladin, semua diterima di Jerrusalem, tidak hanya karena itu bijak, tapi juga benar. Yang lebih mahal kan banyak.
ps: elah dalah le mengakhiri tulisane kok numpang dodolan quotes, :D