Scent of A Woman (1992)

dan indahnya menonton film drama

Sambodo Sondang
filmkardus
4 min readJun 21, 2016

--

Kurang lebih 12 tahun yang lalu saya membaca sebuah majalah sepak bola, yakni Bola Vaganza. Di salah satu artikel termuat sebuah pujian pada tim sepak bola nasional Argentina. Tim Argentina digambarkan seperti penari Tango yang luwes meliuk-liuk dan tidak ragu-ragu menggerakkan tubuhnya. Al Pacino dan tokoh Donna juga disebutkan dalam artikel tersebut. Tergambarkan bahwa keduanya berdansa tango. Yang menarik adalah Al Pacino ternyata memerankan seorang pensiunan tentara yang buta, namun bisa mengajarkan Donna bagaimana caranya ber-tango.

Saya saat itu tidak tahu menahu siapa Al Pacino, siapa tokoh Donna, apa film yang dimaksud. Majalah itu, Bola Vaganza edisi piala dunia 2002, saya beli di lapak buku bekas depan sekolah. Artikel itu adalah artikel yang agak membingungkan bagi saya waktu itu. Mungkin karena perasaan aneh rak dong itulah yang justru membuat saya ingat nama-nama itu.

Dan beberapa tahun yang lalu saya baru mengenal apa sih yang Bola Vaganza omongin di artikelnya. Ternyata film. Sebuah film. Berjudul Scent of A Woman.

Film ini alay dan klise, mungkin saja. Frank Slade ingin bunuh diri. Charlie Simms bimbang, menuruti kata hati atau menyelamatkan masa depan. Resolusi konfliknya, Frank tak jadi bunuh diri dan Charlie berhasil menuruti kata hati sekaligus menyelamatkan masa depan. Tak ada kehilangan yang berarti.

Durasinya pun muasyaalloh, suwene…..

Namun?

Frank Slade memunculkan (lagi) kesan asik menjadi tokoh in pain yang kini terdengar membosankan dan alay. Saya tak mau menyalahkan film-film korea yang memang berbekal adegan sedih dan mental sedih (tapi salahkan saja mereka-mereka itu).

Penonton dibuat ikut merasakan (kembali) asiknya berpetualang ke alam pesakitan, pain, suffering, shitty life, atau semacamnya.

Bagaimana Scent of A Woman ‘melangkah’ dari adegan ke adegan lah yang mungkin perlu sedikit dicermati.

Itu sih film drama

Selalu ada hal yang menarik dari film perang, sci-fi, fantasy abad pertengahan, atau petualangan (dominan fisik). Untuk bisa menikmati film-film semacam itu biasanya penonton diajak mengenal lebih dahulu detail-detail yang ada di dalamnya. Semisal nama tempat, sejarah, teknologi canggih, mitos, atau keindahan sebuah hal khayali yang menjadi penopang cerita film.

‘Kenikmatan’ itu juga yang nantinya menjadi bahan perbincangan menarik bagi para penggemar/penonton film-film semacam itu.

Adegan penuh quote,

Film drama mengharuskan tokoh-tokohnya hidup, layaknya seorang manusia. Kalau si tokoh gagal hidup, berarti dramanya gagal. Komentar miring semacam alay atau ngantuki dari para penonton pun pasti muncul.

Frank Slade merupakan tokoh utama dalam film ini yang dibangun dengan kuat. Gambaran seperti apa dirinya, watak, dan tabiatnya, sesegera dan segamblang mungkin dibangun.

Dan yang memerankannya, Al Pacino dikenal memiliki kemampuan ‘memperlambat’ dialog. Yang memiliki efek: penonton ikut terbawa(semacam baper). Menjarah mata siapapun yang menyaksikannya bertutur . Hal ini mungkin yang membuat kehadirannya sebagai Frank Slade di film ini terasa ‘memenuhi’ kepala penonton.

Ngomongin cewek dengan cara yang kelewat filosofis

You do see the sense of it Charlie, dont you? I cant chew the leather anymore.So why i should share the tribe’s provisions. I mean there’s no one wants to tear hearing with me anymore.

No mistakes in the tango Donna, not like life. It’s simple. That’s what make tango so great. If you make a mistake, get all tangled up, just tango on.

Dan yang tidak ada quotenya….. :D

Dan salah satu rintangan terberat yang dihadapi oleh filmmakers ketika menghidupkan tokoh dalam film adalah memberi nyawa pada adegan-adegan yang tak berdialog.

Cuma dansa
Cuma ketawa liat orang dansa
Cuma menghela nafas dan geleng-geleng kepala
Cuma liat orang masuk rumah

Tidak terburu-buru adalah kunci, mosok sih?

Hal-hal sepele seperti menghela nafas, lirikan mata, dan hal-hal yang berkaitan dengan olah tubuh seorang aktor ditampilkan dalam film ini. Durasi panjang film ini mungkin disebabkan oleh dimunculkannya hal-hal sepele tersebut.

Martin Brest, sang sutradara boleh berbangga hati, karena hal-hal sepele semacam itulah yang menjadi power film ini.

Ending, (mungkin) adalah segalanya..

Klimaks, puncak, atau apapun istilahnya akan selalu ‘merangkum’ film secara keseluruhan, atau ya, mengakhiri apa sih ribut-ribut dalam sebuah film serta menjadi bekal penonton nantinya.

Beberapa menit sebelum Scent of A Woman tutup layar, kita akan menyaksikan sebuah speech positivistik milik sang tokoh utama. Beruntung, Al Pacino adalah seorang maestro dalam hal meledakkan dialog-dialog/speech panjang. Dan uniknya, kali ini ia berperan sebagai orang buta.

--

--