The Dark Knight (2008)

dan menggurui Magna The Defender

Sambodo Sondang
filmkardus

--

Power Rangers merupakan tontonan yang dimiliki oleh generasi gue. Macem-macem Rangernya pun gue masih ingat. Urutan Power Ranger dari Mighty Morphin sampek Lost in Galaxy kalo nggak lupa ya saya masih ingat.

Sekuel yang terakhir (saya ingat), Lost in Galaxy cukup istimewa. Istimewa karena di sekuel Lost in Galaxy gue diperkenalkan dengan tokoh Magna (ranger ke enam, kids favorit, yang selalu unik, juga plus-plus gadgetnya), yang haus balas dendam. Balas dendam, tentu sangat manusiawi, eh maksudnya sangat wajar. Apalagi di backup oleh tragedy.

Dalam Lost in Galaxy, anak Magna dibunuh oleh sopo kae musueh lali, saya pun ikut dendam pada si tokoh jahat pembunuhnya, ikut merasakan sedemikian perihnya kematian sang anak. Magna jadi Magna lain. Semula penjaga galaxy, njuk berubah jadi pembalas dendam. Untungnya, yang diperangi masih sama. So, tak berubahlah dia jadi antihero.

Magna The Defender

Entah sudah berapa tahun sejak mencintai tokoh Magna, kisah kisah superhero di teve saya lewatkan, maksudnya terlewatkan. Baru kemarin-kemarin lagi, kita, generasi gue, diberi option untuk kembali menikmati kisah-kisah epik superhero lewat — Marvel and DC.

Dulunya lewat teve, sekarang lewat layar lebar bioskop. Kesempatan itu saya manfaatkan sebagian. Sebagian lainnya tidak saya manfaatkan. Saya suka superhero. Tapi kehidupan yang membentang di depan sana amat tidak relevan untuk disambung-sambungke dengan superhero berkisah indah di akhir, (duh).

Merujuk judul coretan kali ini, rating cinta Gue pada Magna si Ranger Hitam berhasil dipelorotkan oleh duo Dark Knight. Si Cool Magna sekarang rasa-rasanya cuma sosok heroik low price, yang rodok pasaran.

Ketika The Dark Knight sedang in, dulu itu, saya nggak nonton. Lha wong belum kenal bioskop, dengernya cuma berita penembakan di bioskop Amrik, gegara si penembak ngefans Joker. Oh iya, Joker, luar biasa populer, dan terrifying. Sungguh sangat disayangkan (ya?). Film ini baru saya tonton bertahun-tahun kemudian, di leptop teman yang kupinjam (who cares?).

The Dark Knight memang, bukan superhero milik anak-anak penyuka gadget seperti saya waktu kanak. Bingkai milik The Dark Knight lebih mirip bingkai Kresna The Pandawa’s Dirty Hand (uopoo). Susah untuk disukai, lebih susah lagi untuk dilupakan :D.

Melupakan

Bruce Wayne, nah ini, tentu idola bocah banget. Gadgetnya macem-macem. Yang paling sering ya itu batmobile sama motornya itu. Ada juga companion setianya, macem Robin. Atau yang nggak setia, macem Catwoman. Juga kalo pernah nonton Batman jadul, pasti inget Mr Freeze (Arnold apa ya yang main) ato si Pinguin jahat yang sempat jadi walikota Gotham.

Bruce Wayne selain cool dan ganteng, dirinya juga miliarder dengan harta berlebih buat jadi superhero. Sangat mudah menjadi mimpi seekor bocah. Ingin menjadi superhero? Jadilah orang kaya dulu! Setelah kaya, semuanya jadi mungkin! Begitulah pesan moral yang didapat setelah menonton Batman jadul waktu saya masih bocah, dulu.

Batman di The Dark Knight tidak jauh beda, kan? Masih kaya. Masih cool dan Ganteng. Masih pula bergadget plus-plus. Beda dong. Lihatlah si Batman di sini yang jadi dewasa. Bad boy nya lebih kerasa, topengnya juga lebih hitam dari biasanya.

Nolan, tentunya, melakukan penggalian sedalam-dalamnya ke kuburan Batman. Hasilnya, ditemukanlah harta terpendam milik Bruce Wayne yang tidak mungkin ditemukan oleh anak-anak ber mind set bocah, kesendirian.

Lewat kesendiriannya itulah, ia memulai cerita Batman.

Bruce Wayne nya Nolan, menurut saya, manusiawi. Mengapa ia jadi superhero?

Ya itu, anda itu mau apa kalau mau apa aja ndak tau? Mending mencari yang anda mau. Dan si Bruce Wayne yang sendiri serta sakit hati (diceritakan di Batman Begins) pun mencari apa yang ia mau. Yaitu mencari tahu apa yang sebenarnya ia cari. Ra karuan tho? Lha memang ra karuan kok coretan iki. Minimal ku mengiyakan Bruce Wayne, melakukan saja apa yang kira-kira bisa menemukan, walau minimal saja tak menjamin ku menemukan.

Hingga Bruce Wayne di The Dark Knight menjelma jadi apa yang dilakoninya, mlumpat-mlumpat neng nduwur gedung, kicking some ass, memainkan gadget-gadget canggih, lalu semua melebur jadi satu di ending-nya.

Maksud saya sebagai penonton ya gini, superhero itu ya bertindak seperti itu, dengan motivasi semacam itu, juga dengan pengorbanan semacam itu, tanpa disadari akhirnya menabrak sesuatu (termuat di narasi ending The Dark Knight). Bruce Wayne pun kehilangan warna-warna lain, cuma punya hitam (eh, maksude?).

Oh, belum lengkap tentu blabbermouth tadi tanpa menghadirkan sosok villain kita.. toreroret.. Joker.

Joker kembali hadir di sela-sela kegelisahan batin luar biasa yang saya alami saat sedang nimbrung nonton serial tipi Anak Jalanan, si Boy itu lho, RCTI, bersama ade ade saya. Sungguh memprihatinkan, bagaimana bisa ade ade kita disuguhi perdebatan murahan macem siapa yang lebih jago berantem, siapa yang lebih jago silat, whatthefuck? Palagi medalinya cuma label terkuat, terhebat, tercepat, teroponeh kae (abaikan).

Medali yang dikejar oleh Joker, lebih menjurus pada the big picture of everything. Is morality the answer we need? — seperti yang kemudian jadi kalimatnya Harvey Dent atau This city deserves a better classic criminal yang diucapkannya sembari membakar gunungan duit. Got the point, chuckie? :D

Duel keduanya jadilah tak terlupakan (bagi saya), terus menerus relevan di kalbu, terus menerus menghantui hidup gue. Sekalipun saya tak punya cita-cita jadi superhero atau supervillain. Duel keduanya sungguh berat, jadi superhero/supervillain sungguh berat. Saya tak mau seperti mereka, saya tak mau sampe kehilangan material possession saya. My Job. Kimcil (ndilalah raono), de el el, gara-gara jadi kayak mereka.

The Other Side Of The Door

Bila anda pernah menonton Fight Club, Tokoh Tyler Durden, sedikit (banyak) mirip Joker. Tyler kan sungguh nyinyir luar dalam. Punya seribu cara untuk being a havoc. Punya seribu alasan mengapa society sucks. Benar kok. It sucks. Jangan khawatir wahai para antisosialskill, kau punya argumen, comot saja di pelm itu.

Palagi baik Joker maupun Tyler got nothing to lose, itulah kunci. Jadi lepaskan semuanya dan mulailah karir sebagai superantivillainhero tuk memerangi society.

Nah, berbekal itu semua, mulailah simak perdebatan-perdebatan yang muncul di televisi, perdebatan-perdebatan dikanan-kiri anda, atau perdebatan gimana ya mempraktekkan apa-apa dengan benar, etc.

Oke, back to the pelm.

Saya ingin kembali ke sosok Magna. Magna adalah tragedy dalam Lost in Galaxy. Superhero (yang hampir pasti ada musuhnya) selalu di test kekuatan superheronya. Seberapa kuat superhero dalam dirinya. Sayangnya si Magna (bisa dibilang) kalah. Ia kalap. Kehilangan sang anak baginya teramat menyakitkan. Sakit itu mengubah dirinya, jadi seperti itu. Bila kita kena ledakan kemarahan miliknya, tentu kita mengenalnya. Nah, baik Joker maupun Bruce Wayne dalam film ini, kita (mungkin) mengenalnya dari kemarahan semacam itu. Dan tentunya bukan dari kecanggihan atau trik trik sulap yang mereka tawarkan.

Nyatanya, saya sudah lupa bagaimana cara Magna berubah bentuk. Pake jam tangan apa pake apa ya?

--

--