Warcraft: The Begining
Ketika menonton film milik gamer dengan companion non-gamer
Alkisah ada sebuah kutukan. Kutukan ini bernama ‘merasa sudah tahu’, bagi siapapun yang sudah kenal dengan cerita ‘asli’ dari sebuah film layar lebar adaptasi.
Warcraft: The Begining yang sedang diputar di bioskop tanah air, merupakan adaptasi sebuah game ‘petualangan’ yang sangat populer dikalangan remaja 90an. Bagi yang tergila-gila pada game aslinya, film ini mungkin jadi amat personal. Semacam hiburan ‘lokal’. Seperti yang saya rasakan ketika menontonnya bersama Nafilah yang buta cerita asli film ini.
Ada sebuah ‘ketakutan’ tersendiri ketika memasuki gedung bioskop bersama orang yang menurut anda ‘nggak tahu’ apa sih sebenarnya maksud dari film yang akan kami tonton. Ketakutan ini ya itu, takut nek sang companion bosen,, jeleh, nggak ngeh atau yang lebih parah muak dengan kisah yang akan disaksikan.
Apalagi jika film-film yang diputar di ruangan bioskop sebelah sudah bisa dipastikan lebih mudah dicerna dan dinikmati. Sebutlah mereka AADC 2, TMNT, atau X-men. Ndilalah, ketiga film tersebut punya background atau dasaran cerita yang sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat (luas), beda banget dengan Warcraft yang ibaratnya ‘cuma’ milik mereka yang mainin game-nya, baik yang asli yakni PC Game: World of Warcraft maupun game ‘adaptasi’-nya yakni Game Online: DOTA 2.
Penokohan, Setting, dan berbagai detil yang berhubungan dengan nama
Ketakutan tersebut semakin menjadi-jadi ketika di menit-menit awal, muncul berbagai tokoh dengan nama-nama aneh.Bahkan saya sendiri sempat gagal mengingat siapa — apa — posisi — mereka dalam hingar bingar kisah World of Warcraft. Sebutlah Anduin Lothar si panglima perang kerajaan manusia, Durotan pemimpin bangsa Orc, Gul’dan kepala pemerintahan bangsa orc, Sang Raja kerajaan manusia Llane Wynn, Blackhand, Khadgar, Medivh, atau Doomhammer. Ada juga nama-nama bukan tokoh yang aneh-aneh semisal kerajaan manusia Azeroth, Horde atau pasukan bangsa Orc, Draineor yang merupakan tempat tinggal asli bangsa orc, Blackrock sebuah tempat yang mempertemukan pemimpin bangsa manusia dan orc, Stromwind atau tentara kerajaan Azeroth dan lain sebagainya.
Sebuah film dengan jumlah nama-nama aneh yang sedemikian banyak serta cukup sulit untuk diingat tentu akan membuat pening siapapun yang menontonnya. Saya pun dengan sekuat tenaga dan sesimpel mungkin memberikan clue apa sih arti nama-nama itu pada sang companion. Terlebih ketika nama-nama tersebut disebutkan dalam percakapan tokoh lain yang akan sangat menggangu si companion, sebab sesekali ia rak dong kui jeneng opo sakjane.
Satu hal yang patut dipuji dari sang sutradara yang sekaligus penulis sceenplay-nya, Duncan Jones, adalah usahanya untuk memberikan ‘nyawa’ pada tokoh-tokoh dengan detil/pernak-pernik yang sangat sedikit. Durotan sang pemimpin bangsa Orc, digambarkan dengan sedemikian simpelnya oleh Duncan. Durotan merupakan tokoh dengan sejarah cukup panjang serta ‘pernak-pernik yang pelik’ bila mengacu dalam cerita ‘asli’ nya. Durotan memiliki berbagai kekuatan atau jurus-jurus yang terus terang mengganggu kepala penonton berlatar gamer seperti saya ini ketika sedang menonton filmnya.
Sama halnya dengan Anduin Lothar, salah satu tokoh yang paling banyak disebut di game-nya, sekalipun ia tidak menjadi tokoh utama dalam game-nya. Sosok Lothar bagi bangsa manusia di Warcraft bisa diibaratkan Pak Karno atau Jendral Sudirman di zaman sekarang, banyak jasa dan cerita yang telah ia lakukan. Semacam legenda yang dipenuhi berbagai mitos.
Film ini juga tidak berlarut-larut dalam penjelasan berbagai pernak-perniknya seperti suku bangsa, magic/sihir, senjata-senjata, pembedaan dunia-dunia dalam film ini, atau detil-detil kecil lainnya. Biarpun bisa dikatakan hampir mirip dengan serial fantasi abad pertengahan yakni Lord of The Ring, Warcraft justru tak mau berlama-lama dengan detil-detil semacam itu. Tokoh dan motivasinya lebih diprioritaskan dalam film ini.
Menghilangkan berbagai detil (dalam menggambarkan tokoh-tokoh dalam film ini) merupakan salah satu langkah berefek positif yang dilakukan Duncan. Seperti yang saya lihat dari bagaimana Nafilah bereaksi ketika menyaksikan adegan-adegan film Warcraft. Menurtnya Warcraft enjoyable dan justru menonjol dari sisi penokohan, walapun masih kurang sempurna dan berkesan.
Sepanjang perjalanan pulang Nafilah bahkan dengan antusias sempat mengomentari tokoh-tokoh dalam film ini. Semisal Anduin Lothar yang menurutnya dimainkan dengan cukup bagus oleh Travis Fimmel, atau Durotan yang menurutnya sisi heroiknya sangat mengena, mungkin hampir mirip tokoh pemimpin klan samurai di The Last Samurai yang memang kuat secara penokohan.
Tokoh yang menurutnya kurang matang adalah dua tokoh pendukung Khadgar si magician muda dan Medivh sang penjaga/magician pelindung sang raja. Kedua tokoh tersebut menurutnya kurang dikuatkan, baik secara psikologis maupun motivasi.
Apa yang non-gamer seperti Nafilah utarakan menurut saya bisa memberikan gambaran yang cukup jelas pada film ini, film yang bahkan sudah tervonis sebagai film adaptasi yang gagal oleh banyak pengamat. Mungkin kegagalan yang mereka maksud di sini adalah kegagalan menjelaskan detil-detil dan pernak-pernik. Ya jelas gagal kalo tolak ukurnya pernak-pernik. :D
Konflik yang tidak melulu itu-itu
Bangsa Orc dan prinsip hidup mereka yang agak mirip dengan maskulinitas bushido milik para pendekar pedang jepang, Samurai, adalah satu hal yang digambarkan dengan jelas dalam film ini. Prinsip hidup yang maskulin semacam itu tentu sangat mudah menemukan konflik. Seperti Warcraft yang langsung menggelar lapak konfliknya di menit menit awal tanpa terlebih dulu menjabarkan detil-detil ini mau ngomongin apa sih.
Adegan ketika Gul’dan (si kepala pemerintahan bangsa orc) yang menggunakan ‘tumbal’ untuk membuka portal, langsung menggambarkan konflik apa yang akan hadir dalam film ini. Apa yang dilakukan oleh Gul’dan sangat bertentangan dengan prinsip hidup bangsa orc yang sedemikian miripnya dengan bushido. Jadi jelas, itu konfliknya, itu tokoh antagonisnya.
Namun ketika adegan-adegan berikutnya dimainkan, konflik tersebut bisa dengan detil menggambarkan bagaimana mahalnya harga yang harus dibayar untuk menjadi seorang pahlawan. Semisal Durotan yang justru ‘mati heroik’ ketika harus berhadapan dengan Gul’dan atau sang tokoh hybrid manusia-orc seksi Garona yang justru harus ‘membunuh’ sang raja Azeroth, Llane, agar kedua bangsa bisa berdamai. Garona telah melakukan suatu hal besar layaknya pahlawan, namun dengan cara membunuh sosok king Llane yang dikaguminya.
Duncan Jones lewat Warcraftnya seolah ingin menyampaikan sebuah pesan: ‘kejayaan’ tak akan bisa didapat tanpa kehilangan hal-hal yang justru amat berarti. Bila kemudian film ini malah berkesan sebagai film drama, hal tersebut boleh jadi benar, mengingat apa yang dikisahkan oleh film ini.
Saya tidak mengatakan konflik-konflik atau kisah dalam ini bagus banget atau perfect. Masih ada saja kedangkalan motivasi sebuah adegan di sana-sini layaknya film-film sejenis. Semisal kehadiran ‘wangsit’ yang dialami oleh Khadgar. Dialog dalam wangsit tersebut jujur saja wagu dan alay untuk ukuran film layar lebar. Untungnya, wangsit-wangsit tersebut cuma berfungsi sebagai pengisi detil-detil saja, biar mirip dengan game-aslinya.
Boleh saja seorang Anduin Lothar tetap hidup dan terus dielu-elukan sebagai pahlawan bangsa Azeroth, namun apa yang telah dilakukan dan dikorbankan oleh Durotan dan Garona, justru lebih besar dari seorang Lothar.
Kualitas efek atau cinematografi sehebat apapun seringkali tidak berarti tanpa kualitas cerita
‘Mengolah’ penonton merupakan hal yang susah , apalagi bila penontonnya beragam. Penonton film tentu saja beragam, ekspektasinya, selera, kompleksitas pikiran mereka. Ketika menonton Deadpool milik marvel beberapa waktu lalu, jujur saya muak dengan kedetilan serta kedangkalan ceritanya. Selain karena kelewat suka dengan film film serius, saya juga tidak lagi suka dengan ending heroik yang kelewat bahagia. Ya, menurut saya, menonton film selain hiburan, juga berfungsi layaknya mandi, membersihkan dangkal-dangkal yang menempel di tubuh.
Sekilas dengan tema ‘khayalan’ semacam itu, kita akan dimanjakan dengan berbagai detil yang menyenangkan. Sayangnya sekali lagi penokohan dan jalan cerita nampaknya lebih penting bagi seorang Duncan Jones, sehingga seperti itulah adanya film yang sudah bertahun-tahun saya (kita) nantikan ini. Hybrid layaknya sosok Garona.