Hentikan Kriminalisasi Terhadap Warga yang Mempertahankan Waduk Sepat

Forum Diskusi
Forum Diskusi Progresif
5 min readAug 4, 2018

Selamatkan Waduk Sepat (SELAWASE)

Pada hari Jumat 3 Agustus 2018, tiga warga Sepat kembali diperiksa oleh pihak Polda Jatim. Setelah sebelumnya Darno diperiksa pada 27 Juli 2018. Ketiga warga itu adalah Dian Purnowo, Rokhim dan Suherna. Pihak Polda Jatim memanggil mereka guna diperiksa sebagai saksi, terkait dugaan memasuki pekarangan milik PT. Ciputra tanpa izin, juga disertai perusakan fasilitas yang bukan hak milik PT. Ciputra. Keempat warga tersebut dilaporkan oleh PT. Ciputra.

Warga Sepat bersama jaringan Selamatkan Waduk Sepat (Selawase), kemudian menggelar aksi protes di depan Polda Jatim. Tentu, aksi ini sebagai respons atas pelaporan warga yang dilakukan oleh PT. Ciputra, yang kemudian ditangani oleh Polda Jatim.
Dalam konteks kasus ini, pihak kepolisian menerapkan pasal 167 KUHP dan 170 KUHP, terkait tindak pidana memasuki pekarangan orang lain tanpa izin yang berhak dan melakukan perusakan barang milik orang lain secara bersama-sama.

Pemanggilan keempat warga ini, merupakan salah satu bentuk usaha kriminalisasi, terhadap perjuangan warga Sepat yang menolak rencana perubahan Waduk Sepat menjadi perumahan oleh PT Ciputra Surya.

“Ada upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak korporasi dan dalam kasus ini telalu mengada-ada. Ini bentuk upaya melakukan SLAPP atau menghentikan upaya warga dengan instrumen hukum.” Tegas Wahyu Eka, selaku perwakilan dari Selawase.

Selain itu, pihak Polda Jatim juga harus obyektif. Dan benar-benar tidak gegabah dalam konteks ini. Karena kasus ini sangat rawan manipulasi. Agar mendudukan jejak perkara, maka redaksi memberikan kronologi singkat terkait kasus tersebut:

Pertama, Warga masuk ke area waduk karena mendengar suara air deras menyerupai banjir, saat sedang melakukan Sholat Tarawih di dekat waduk. Padahal saat itu kondisinya tidak sedang hujan. Selain itu, Debit air yang mengalir di selokan yang terhubung dengan waduk, arusnya terpantau deras. Hal ini tentunya menimbulkan kecurigaan warga, bahwa ada upaya pengeringan waduk secara paksa, sehingga membuat warga harus bertindak agar waduk Sepat tidak mengering.

Kedua, Sebelum memasuki lokasi waduk, warga terlebih dahulu berkoordinasi dengan LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan) Lidah Kulon. Ketua LPMK Lidah Kulon justru menyarankan untuk bertemu di lokasi waduk Sepat langsung. Dengan dasar ini, warga akhirnya berbondong-bondong memasuki waduk melalui pintu utama waduk. Setelah di dalam waduk, warga langsung menghubungi Polsek Lakasantri dan Camat Lakasantri untuk datang ke lokasi. Tidak lama kemudian petugas Kepolisian Polsek Lakasantri tiba di lokasi.

Ketiga, saat memasuki waduk dan mengecek pintu air waduk, warga menemukan bahwa memang pintu penutup air di bagian bawah sudah terpotong, sehingga tidak bisa ditutup kembali. Melihat hal tersebut, warga berkoordinasi dengan Polsek Lakasantri, Camat Lakasantri dan PT Ciputra Surya. Pihak Ciputra kemudian sepakat untuk membuatkan penutup pintu air yang sudah dipotong. Setelah menunggu hampir tiga jam penutup pintu air tersbut tidak kunjung datang, agar air di waduk tidak keluar terus menerus, warga berinisiatif menutup sementara pintu air dengan tanah yang ada di sekitar waduk sampai pintu air tertutup.

Keempat, tidak ada perusakan apapun yang dilakukan oleh warga saat berada di lokasi waduk, bahkan tidak ada paksaan atau himbauan supaya warga keluar dari waduk. Warga keluar dari waduk karena inisiatif mereka sendiri. Jika diilihat dari hal tersebut, tuduhan kejahatan atas warga berdasarkan pasal 167 KUHP dan 170 KUHP tidak terbukti.

Oleh karena itu, pelaporan serta pemanggilan warga atas tuduhan melanggar KUHP, merupakan suatu hal yang gegabah dan diduga tendensi mengarah ke SLAPP, serta ada indikasi untuk mengkriminalisasi warga. Karena jika mengacu pada situasi saat ini, waduk Sepat masih dalam sengketa. Adanya upaya kriminalisasi terhadap warga yang sedang memperjuangkan kelestarian lingkungan dan ruang hidupnya, ke depan potensi SLAPP dan kriminalisasi intesitasnya akan semakin tinggi.

Penting diingat juga pada substansi kriminalisasi, hingga kini masih digunakan sebagai alat untuk menekan dan melemahkan perjuangan warga. Padahal jika merujuk ddalam pasal No. 66 UU 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, memuat sebuah pasal yang berbunyi:

“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”

Namun dalam kenyataannya, pasal ini seolah-olah tidak berarti dihadapan kerakusan pemodal yang mengancam keselamatan lingkungan dan ruang hidup rakyat. Padahal warga dalam konteks kejadian, sedang menyelamatkan waduknya agar tidak dikeringkan. Apalagi, kasus ini terkesan dipaksakan dan seperti drama. Ada alur ceritanya, cukup klise dan naif. Hukum itu seharusnya benar-benar melihat, konteks dan substansi kejadian.

Jika memang warga dikriminalisasi atas nama hukum, maka ini preseden buruk bagi penerapan dan penegakkan hukum di Indonesia.
Selain itu, jika dicermati pasal perlindungan terhadap pejuang lingkungan, seharusnya aktif berlaku dalam konteks perjuangan warga Sepat, untuk mempertahankan waduknya. Mengapa aktif ?

Karena secara substansial, warga masih berupaya memperjuangan waduk lewat jalur legal, yakni CLS (Citizen Law Suit). Sehingga dalam konteks perlawanan untuk mempertahankan kawasan waduk, warga seharusnya tidak dikriminalisasi atau dituduh dengan sembarangan.

Melawan untuk Waduk Tercinta

Pemanggilan warga Sepat sebagai saksi tersebut, sebenarnya dampak dari perjuangan panjang warga dalam mempertahankan Waduk Sepat, dari perampasan sistematis yang dilakukan oleh PT. Ciputra. Juga sebagai bentuk kecintaan warga terhadap waduknya, yang hingga 10 tahun mereka bertahan dan tetap melawan.

Lahan Waduk Sepat pada mulanya adalah merupakan Tanah Kas Desa TKD, yang berbentuk lahan waduk, dengan luas sekitar 6,675 Hektar dan terletak di wilayah RW 03 dan RW 05 Dukuh Sepat. Lahan tersebut merupakan hak kolektif masyarakat Dukuh Sepat yang telah dikelola secara turun temurun

Akan tetapi, dalam perjalanannya, sejarah sosial dan keterikatan batin warga terhadap Waduk Sepat harus terputus pasca pemerintah kota Surabaya melepaskan lahan Waduk Sepat tersebut kepada PT Ciputra Surya, Tbk dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 188.45/366/436.1.2/2008, atas persetujuan DPRD Kota Surabaya dengan Surat Keputusan No. 39 Tahun 2008.

Selanjutnya, Waduk Sepat ini merupakan identitas masyarakat Surabaya. Sebagai simbol budaya. Sekaligus kawasan konservasi air. Jika pemerintah tidak membatalkan dan mengusir Ciputra, maka ini preseden buruk dalam penegakkan undang-undang. Serta pemerintah tidak berpihak pada kepentingan umum dan lingkungan.

Kemudian, jika dibiarkan situs-situs serupa di sekitar area Sepat juga akan terancam. Surabaya barat kini dikuasai pengembang, tanah-tanah diambil dan banyak yang beralih fungsi. Maka kampung-kampung yang memiliki nilai-nilai historis itu, akan lenyap seiring waktu karena kepentingan pemilik modal.

Maka karena itu, seperti yang diungkapkan kepada redaksi, bahwa aliansi yang tergabung di dalam SELAWASE (Selamatkan Waduk Sepat), terdiri dari berbagai elemen organisasi rakyat, antara lain WALHI Jawa Timur, LBH Surabaya, FNKSDA, LAMRI, IMM dan PMKRI, menuntut untuk menghentikan upaya kriminalisasi dan intimidasi kepada warga yang memperjuangkan dan mempertahankan Waduk Sepat.

Kemudian, mendesak Pemkot Surabaya untuk lebih berpihak kepada warga. Selanjutya, kami meminta Pemkot Surabaya untuk segera membatalkan ruislag Waduk Sepat dan mengembalikan Waduk Sepat kepada Warga Sepat.

--

--

Forum Diskusi
Forum Diskusi Progresif

Forum Diskusi Progresif, merupakan wadah bertukar pengetahuan dan penyikapan atas isu-isu terkini.