Manifesto Ide Forum Diskusi Progresif

Forum Diskusi
Forum Diskusi Progresif
6 min readAug 2, 2018

Demokrasi kini telah bergeser manifestasinya, dari yang partisipatif menjadi hanya representatif, misal ada sebuah logika yang mengatakan jika demokrasi sama dengan pemilu. Hingga hari ini kita terus mengalami depolitisasi, reduksi, bahkan degradasi. Bayangkan saja, sekarang tingkat partisipasi politik kita semakin jongkok. Jika indikatornya ialah jumlah pemilih, maka sudah dipastikan bahwa demokrasi kita terindikasi sedang kritis.

Belum lagi bagaimana kesadaran akan relasi kebijakan (politik) dengan masa depan kehidupan rakyat secara keumuman, yang terejawantahkan dalam sikap kritis serta peran dalam kontes politik kekinian. Tentu secara realitas kita lihat semakin menurun, bahkan tidak peduli lagi dengan kondisi perpolitikan, karena terlalu disibukan dengan persoalan dasar seperti makan sehari-hari yang kian susah.

Demokrasi sendiri merupakan sebuah konsep yang disepakati mayoritas, guna mengatur dan menggelola wilayah. Namun terbentuknya suatu demokrasi tidaklah pragmatis, namun melalui serangkaian proses alamiah yang panjang. Jika merujuk dalam catatan Plattner (1979) menjelaskan, jika konsep state of nature Rosseua, merupakan bentuk dari sifat alami manusia yang akan menjadi suatu dorongan untuk memenuhi keinginan pribadinya. Selanjutnya state of nature akan mendorong manusia berpikir optimis. Sehingga state of nature akan mendorong manusia menjadi human being, lalu menguatkan civil society.

Dari hal tersebutlah manusia akan secara sadar membentuk suatu pemerintahan, karena menurut Rosseau manusia akan membentuk pemerintahan, tanpa pemerintahan suatu negara manusia akan sulit bertoleransi. Jadi di sini bahwa membentuk suatu pemerintahan yang demokratik, menurut Rosseau merupakan bentuk sifat alamiah manusia untuk memunculkan suatu manusia yang hidup berkelompok, peduli satu sama lainnya.

Melihat pemikiran Rosseau akan mengantarkan kita, mengapa demokrasi itu ada. Di mana demokrasi merupakan usaha untuk bertoleransi dengan sesama mahkluk. Setelah terbentuknya suatu pemerintahan dalam sebuah komunitas sipil, Rosseau mengatakan akan muncul yang namanya kontrak sosial.

Manusia secara sukarela akan menyerahkan sebagian hak-haknya, kebebasan dan kekuasaan pada pemerintahan bersama. Memang Senayan disini merupakan sebuah representasi dari kontrak sosial, di mana secara alamiah manusia menyerahkan kepercayaan pada perwakilan mereka untuk mengatur suatu komunitas sipil.

Maka sudah seharusnya manusia yang menjadi perwakilan menjadi sadar siapa mereka, bukan malah menciptakan sebuah segmentasi kelas sosial. Rakyat yang seharusnya menjadi posisi tertinggi, kini tergusur oleh elite-elite yang mendaku diri sebagai wakilnya. Bahkan terkesan mengkultuskan diri mereka, sebagai wakil-wakil Tuhan.

Ide-ide Demokrasi Partisipatif

James Cannon dalam Socialism and Democracy (1957) mengatakan jika Sosialisme, sering disebut dengan model masyarakat yang bebas dan setara, dan demokrasi didefinisikan sebagai aturan rakyat. Marx dan Engels dalam Communism Manifesto membincangkan terkait sosialisme dan demokrasi bersama sebagai akhir dan sarana kesejahteraan hidup.

Menurut beberapa intepretasi terkait pandangan Marx dan Engels, bahwa mereka merumuskan tujuan pertama revolusi untuk membuat para pekerja sebagai kelas penguasa. Untuk membangun sebuah demokrasi, yang dalam pandangan mereka adalah suatu hal yang seharusnya mutlak di bawah kekuasaan kaum proletar (konteks tertindas dan dieksploitasi).

Kita tahu bersama bahwa demokrasi formal saat ini di bawah kerangkeng kapitalisme, yang mempunyai kerangka eksploitatif diterjemahkan dalam aturan mayoritas oleh beberapa elit, seolah-olah seperti demokrasi yang sebenarnya. Dalam rangka untuk memiliki demokrasi yang sesungguhnya, para pekerja harus menjadi "kelas penguasa." Hanya revolusi yang menggantikan kekuasaan kelas kapitalis dengan kekuasaan kelas pekerja benar-benar dapat membangun demokrasi, tidak dalam fiksi yang utopis tetapi dalam gerak yang sebenarnya. Jadi pemikiran Marx dan Engels sesungguhnya turut diterjemahkan Sukarno dalam manifesto politiknya, di mana kaum marhaen atau rakyat tertindaslah yang harus berkuasa.

Hal ini terlihat dalam konsepsi marhaenisme Sukarno, di mana inti dari pembebasan Indonesia ialah memerdekakan kaum Marhaen. Secara geopolitik Indonesia tidak hanya terdiri dari kaum proletar, namun juga ada kuam tani, nelayan dan kaum miskin yang tertindas.

Kondisi demikian menciptakan konteks yang khas dari Indonesia, yang secara inklusif bisa masuk melalui budaya kolektif yang memang sudah ada sejak lama. Pertautan gagasan marhaenisme sebagai jalan pembebasan, dengan budaya yang ada di Indonesia, dapat dilihat dari relasi objek penindasannya. Wilayah kelola hingga problematika terkait distribusi lahan, atau kesejahteraan itu sendiri.

Dalam sosio-demokrasi Sukarno melihat jika pertautan dengan kultur Indonesia sangat erat kaitannya. Di mana seluruh rakyat kini mengalami ketertindasan, terutama kaum marhaen. Konstruksi sosio-demokrasi berangkat dari tersingkirnya rakyat oleh borjuasi, terutama dalam konteks parlementer. Meskipun ada wakil rakyat namun itu tidak dapat mewakili seutuhnya, sebagaimana kritik Tan Malaka dalam Parlementer atau Soviet, hal tersebut juga sama dengan pemikiran Sukarno yang mencetuskan konsep sosio-demokrasi ini.

Di mana sosio-demokrasi merupakan kekuasaan utuh negara di tangan rakyat, baik demokrasi politik maupun ekonomi. Secara tidak langsung mencakup paradigma bahwa kaum marhaen di sini harus berkuasa penuh, melalui pemerintahan demokratik yang berada dalam kuasa penuh kaum marhaen (rakyat tertindas yang meliputi proletar, tani dan kaum miskin).

Kemudian dipertegas secara konseptual dalam sosio-nasionalisme. Sukarno menegaskan bahwa konsepsi ini meletakan perjuangan kelas sebagai pokok dari pembebasan. Nasionalisme haruslah berpijak pada mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama, sebagaimana termanifestasi dalam pancasila, terutama pasal tentang kemanusiaan yang adil, kepemimpinan yang dipilih dari musyawarah dan keadilan sosial.

Maka karena itu nasionalisme merupakan upaya pembebasan dari kolonialisme dan imperialisme, yang merupakan suatu jembatan transisi menuju upaya keadilan sosial dalam hal ini sosialisme. Bahkan Sukarno mengatakan sosialisme Indonesia bukan hanya soal untuk bangsa sendiri, namun juga untuk pembebasan bangsa-bangsa yang lainnya. Demokrasi partisipatif merupakan cara untuk mencapai keadilan sosial utuh, yang berakar dari pemikiran sosialistik untuk mewujudkan harapan kesejahteraan menyeluruh.

Melencengnya visi kerakyatan dalam tata kelola pemerintahan, serta mulai bergesernya sistem demokrasi partisipatif, merupakan salah satu bentuk reduksi dari ide-ide demokrasi yang berakar dari ide kerakyatan. Di mana rakyat semakin regresif dan teralienasi dari politik kekuasaan, hingga penindasan atas mereka semakin masif terjadi. Salah satu implikasinya ialah wilayah legislatif dan eksekutif yang dikuasi oleh oligarki politik penindas.

Membangun Alternatif Politik “Forum Progresif”

Sebuah gerakan independen yang sadar diri dari kelompok mayoritas yang dominan, untuk kepentingan mayoritas sesungguhnya sudah tidak bisa apa-apa lagi. Tetapi dalam demokrasi, jika kita memahami dengan makna "demokrasi" sebagai kekuasaan rakyat, atau kekuasaan mayoritas, maka bukan dominasi mayoritas yang dominan, namun lebih ke mayoritas keseluruhan dalam arti rakyat itu sendiri. Dalam kondisi yang demikian maka dibutuhkan sebuah kekuatan kelas rakyat, kesadaran politik yang menyisir seluruh kelas rakyat yang tertindas.

Kautsky pada bab Democracy and Socialism (Social Democratic Vs Communism, 1930 published 1946), mengatakan jika dalam perjuangan untuk demokrasi dan kepentingan kelas secara langsung, sehingga diperlukan reformasi sosial, kelas pekerja yang diangkat dari barbarisme primitif (anggapan kepada orang yang bersikap semaunya) ke bentuk yang lebih tinggi. Mencapai kesadaran politik penuh, untuk mengokupasi sektor pemerintah secara demokratik. Mengembalikan marwah demokrasi kerakyatan dari akar rumput, dari bawah ke atas.

Konsekuensi dari perjuangan ini akan menciptakan tanah lebih subur (bentuk kehidupan sosial yang lebih baik) di mana kelompok termarjinalkan menjadi sadar, bertindak dalam suatu kelompok gerakan demokratik terus mengembangkan kekuatannya, dengan cara melakukan tindakan bebas dalam sebuah gerakan. Sehingga mengangkat perkembangan ke tingkat tertinggi dan berproses sendiri, mampu mengejar serta berhasil dalam perjuangan untuk tujuan akhir yaitu terciptanya tatanan sosialisme yang berakar dari demokrasi langsung, berdasarkan prinsip kerakyatan.

Dalam ranah ini, jika ditinjau dalam konteks sosial budaya Indonesia. Secara geopolitik bahwa kelas pekerja dapat diartikan sebagai rakyat yang tertindas. Petani, Nelayan, Buruh, dan Kaum Miskin, sebagai pihak yang tereksploitasi. Maka karena itu untuk memutus rantai penindasan, maka dibutuhkan sebuah persatuan demokratik dalam merebut kekuasaan politik.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai presentasi dari simbol rakyat, yang menurut Rosseau merupakan konsekuensi dari kontrak sosial, kesepakatan rakyat mayoritas dalam upaya perbaikan kelola suatu negara. Oleh sebab itu persatuan demokratik harus merebut basis kuasa tersebut, atau minimal membuat gerakan demokratik untuk tetap memelihara asa mengenai ide-ide demokrasi langsung yang bervisi kerakyatan.

Oleh karena itu, demi mewujudkan demokrasi yang berakar pada massa rakyat. Serta mewujudkan demokrasi partisipatif, maka kuasa politik yang seharusnya merupakan presentasi dari rakyat Indonesia, harus dikembalikan jalannya dengan persatuan gerakan demokratik. Membentuk forum-forum progresif, yang nantinya akan disinkronkan dengan organisasi-organisasi lintas sektoral, sehingga membentuk suatu front persatuan gerakan progresif.

Prinsipnya tidak kaku atau tersentral, tapi lebih partisipatoris dan inklusif. Mengingat sentralisme hanya menciptakan birokratisme baru, maka dalam konteks Indonesia yang beragam. Harus berpijak pada ide-ide lokalistik, yang dikaitkan dengan ide secara umum yaitu keadilan sosial. Karena itulah prinsip inklusif harus diterapakan, dalam sebuah wujud parsipatoris yang secara ide lekat dengan desentralisasi namun terarah.

Ide desentralisme terarah ini dapat diartikan sebagai, sinergi atau penyatuan gerakan-gerakan lain, yang berada dalam satu jejaring lintas sektoral. Pemikiran multisektoral ini merupakan pemikiran yang berpijak pada kritik atas polarisasi gerakan. Jika masih berdebat dalam tataran ideologi, sampai kiamat tidak akan ada namanya demokrasi kerakyatan yang inklusif dan partisipatoris (langsung).

Pemikiran ini muncul sesuai dengan basis historis mengenai euforia persatuan gerakan di era 98 atau waktu Sukarno menjadi presiden. Karena itu dengan membentuk forum progresif, yang dalam prosesnya akan membentuk suatu front progresif. Pemikiran pembentukan front progresif yang desentralisme terarah ini, berpijak pada konstruksi konseptual berupa sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme. Sebagai konstruksi pembebasan dalam motif Indonesia. Mengembalikan kekuasaan utuh dari rakyat untuk mewujudkan keadilan sosial yang menyeluruh, merupakan upaya dari pembebasan dan menciptakan kedamaian hidup antar sesama manusia.

Referensi

James Cannon. 1957. Socialism and Democracy.

Karl Kautsky. 1946. Social Democracy versus Communism. Diakses di Marxist.org. pada 9 November 2017.

Karl Marx dan F. Engels. 1848. The Communist manifesto. Diakses di Marxist.org. pada 9 November 2017.

Plattner, M. F. 1979. Rousseau’s state of nature: An interpretation of the Discourse on inequality. Dekalb: Northern Illinois University Press.

Ir. Soekarno. 1965. Di bawah Bendera Revolusi Jilid I. Sekali lagi tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi: hlm. 187–191.

--

--

Forum Diskusi
Forum Diskusi Progresif

Forum Diskusi Progresif, merupakan wadah bertukar pengetahuan dan penyikapan atas isu-isu terkini.