Mentawai dalam Cengkeraman Perebutan Ruang: Refleksi Kemerdekaan

Forum Diskusi
Forum Diskusi Progresif
5 min readAug 20, 2018

Ayu Nuzul (Rumah Pengetahuan Daulat Hijau Jombang/FNKSDA Jombang)

“ Pernah dipaksa memilih agama. Dipaksa meninggalkan ritual dan hutan sebelum datangnya perusahaan industri kayu. Punya keladi dan sagu tapi terjebak dalam politik beras. Membuat kepulauan ini tergantung pasokan pangan dari Sumatra daratan. Kisah ini tentang mereka yang bertahan, sebagian besar lainnya telah kalah.”

Demikian kata-kata pembuka dalam film dokumenter produksi Watchdoc berjudul Made In Siberut. Pada Jum’at 17 Agustus 2018 bertema Solidaritas untuk Lombok dan Kemerdekaan Rumah Pengetahuan Daulat Hijau menggelar nobar film “Made In Siberut” dan diskusi terbuka. Menghadirkan pemantik diskusi Lailatul Maskhuroh Dosen STIT Al Urwatul Wutsqo Jombang dan Wahyu Eka Setyawan Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA).

Mengawali diskusi setelah film diputar Lailatul Maskhuroh mengatakan, “saya melihat bahwa ternyata kebudayaan tidak berasal dari sesuatu yang kosong, obyeknya lebih dahulu muncul daripada subyek.” Menurutnya, budaya seharusnya menjadi watak dan sumber nilai. Budaya yang kaya akan ilmu harusnya menjadi salah satu nilai survive tersendiri. Munculnya keberagaman tanpa harus satu ragam (uniform). Dan untuk mempertahankan ini butuh perjuangan.

Rata-rata dari kita pada abad sekarang lebih menikmati hasil dari ilmu salah satunya teknologi dan informasi sehingga sibuk dengan itu. Tidak menanyakan ulang tentang hakikat ilmu. Salah satu hal untuk melanggengkan ilmu adalah pendidikan. Namun pendidikan itu sendiri direkayasa sehingga hakikat pendidikan tidak tercapai atau mendegradasi nilai itu sendiri, seperti kapitalisme, hegemoni, dan politik kepentingan.

Sedangkan pemantik Wahyu Eka Setyawan melihat dari sisi pola gerak kapitalisme, menyatakan bahwa anak kampung masyarakat di Mentawai tengah menghadapi injeksi modernisasi yang memiliki banyak corak, terutama bagaimana perebutan ruang atau tempat hidup khususnya di wilayah kelola hutan dengan masyarakat adat. Perampasan tersebut lebih diinisiasi oleh stakeholder, dan pemangku kepentingan terkait, sehingga jelas terpampang sirkuit akumulasi terkait bagaimana mendapat nilai tambah. Flash back ke belakang, hari ini sedang marak-maraknya hutan tanam industri (HTI) yang merongrong masyarakat, terutama yang mereka hidup dengan alamnya.

Di Siberut ini ada semacam dukun atau disebut sikerei, dia memanfaatkan alam sekitar misal mengambil tanaman sekitar untuk obat. Namun ketika hutan tanam industri masuk melalui obralan konsesi, terlihat baru-baru ini di tahun 2016san, marak yang namanya pengembangan biomassa dikarenakan minyak mulai berkurang. Biomassa yang dikembangkan berupa biofuel, yang bahan dasarnya berasal dari sawit. Ia dikatakan sebagai industri ekstraktif biologis, sambungnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dalam beberapa kajian sawit yang dilakukan oleh beberapa ahli dari IPB yang dalam kajian keilmuannya berciri neo-positivisme, ilmu menjadi sesuatu yang netral dan deterministik. Padahal jika dilihat secara fenomenologi, (para ahli) tersebut tak memperhatikan aspek-aspek lainnya.

Sawit memakan banyak lahan, penguasaan tanah cukup timpang,boros air, merusak hutan adat yang menjadi wilayah kelola hutan masyarakat. Hal ini juga yang terjadi pada suku Anak Dalam yang mengalami islamisasi. Pertama diberi jatah konsumsi, rumah, jika ingin akses itu lagi diharuskan memilih agama yang diakui negara. Padahal suku Anak Dalam sendiri hidup dengan lokalitas, alam, dan apa yang ada disekitarnya. Istilahnya hidup harmonis di alam sendiri. Situasi tersebut menggambarkan bagaimana segala cara dihalalkan untuk merampas ruang hidup rakyat.

Masyarakat Siberut ini mengalami cultural shock, awalnya tanah-tanah yang cukup luas digunakan secara kolektif tiba-tiba diambil secara masif. Selain kehilangan locus produksinya, mereka juga kehilangan adat. Hal ini juga terjadi di masyarakat kita, seperti di Jombang dahulu setiap ada peringatan kemerdekaan 17 Agustus dengan kolektif. Sekarang, ada CSR yang kemudian menjadi bergantung yang menjadikan sisi kolektif ini akan hilang.

Mengutip Henry Lefebvre yang berbicara ruang, ia menjelaskan bahwa ruang untuk berproduksi itu dikuasai masyarakat sendiri, ruang sebagai representasi yaitu menggambarkan masyarakat yang mendiaminya, mempunyai modal sosial, dan aksestabilitas yang digunakan secara kolektif. Maka ketika ada infiltrasi atau masuknya invasi modal yang akan merebut produksinya. Ketika sudah direbut produksinya maka mereka (masyarakat adat, penulis) akan berubah relasi antar manusia dengan cara produksinya, hingga akhirnya representasi ruang itu akan berubah, dan itu yang disebut Henry Lefebvre poin pokok locus produksi atau ruang bagaimana berproduksi.

Karena dalam kapitalisme prinsip utamanya akumulasi modal yang punya ruang untuk berproduksi akhirnya menghasilkan suatu keuntungan. Kalau memakai istilah Adam Smith kata kuncinya pertama adalah produksi, kedua hasil produksi, ketiga konsumsi, dan keempat pasar. Ketika konsumsi sebagai tujuan suatu produksi yang nantinya dilempar ke pasar, maka yang dikejar hanya keuntungan atau profit semata. Dan keuntungan untuk orang itu sendiri sebagai pemodal. Sehingga hal itu dipaksakan untuk mengambil kepentingan banyak orang seperti di Siberut.

Dan yang paling menarik dari film ini, “kita” di 73 tahun kemerdekaan Indonesia melihat Papua dengan adanya proyek MIFEE atau proyek pangan. Proyek pangan itu merusak hutan, menciptakan kelas-kelas penguasa baru, tuan tanah baru, kemudian hasil dari pertaniannya tidak didistribusikan secara menyeluruh. Pertanyaannya mengapa memilih Papua?

Karena disana ruangnya masih banyak, itulah yang disebut perebutan ruang. Karena masyarakat yang sudah hidup dengan lokalitas, makan sagu yang bergizi otomatis mereka juga kehilangan itu. Persis ketika Freeport dahulu masuk setelah ditetapkannya UU Penanaman Modal Asing yang mengusir suku Amungme. Amungme punya yang namanya Nemangkawi (gunung, penulis) yang diibaratkan ibu karena saling mempengaruhi hidup manusia maka ketika ekspansi kapital mengambilnya mereka tersisihkan, yang sekarang tidak tahu ke mana.

Hal ini dalam tanda kutip sering dikatakan adalah untuk kepentingan negara, untuk kepentingan negara apa investor?

Kita tidak usah mengatakan nasionalisme, asing, Aseng, karena Indonesia disupport World Bank. Program KotaKu oleh World Bank, Support PLTU bank dari Jepang, bandara Kulonprogo investor dari India, bandara Kediri oleh Gudang Garam. Itulah contoh nyata posisi lepas tangan dalam gerak kapital Indonesia yang masih memakai cara-cara kohesif dimana steakholder bekerja sama dengan korporasi. Ada semacam kolusi dan nepotisme dalam menyusun aturan-aturan terkait untuk memudahkan mengambilalih ruang produksi dari masyarakat itu sendiri.”

Dampak dari akumulasi primitif adalah tanah yang awalnya sebagai identitas budaya, hutan jadi identitas budaya, secara tidak langsung dijadikan komoditas. Itulah perubahan bertahapnya, menurut istilah Dede Mulyanto dinamakan Pseudocomodity, awalnya yang tidak diproduksi secara langsung disediakan oleh alam, dijadikan komoditas, yang akhirnya banyak perubahan, contohnya petani jadi buruh.

Yang paling ngeri adalah di sektor informal, banyak PKL itu bukan datang tiba-tiba tetapi itu adalah salah satu dampak penciutan ruang di kampung dan akhirnya mendorong urbanisasi, penyebaran migrasi manusia ke kota. Dampaknya adalah kemiskinan sistemik. Jadi, perebutan ruang di desa, yang akhirnya dikapling-kapling atau diambil oleh beberapa orang, akan mendorong orang-orang masuk ke kota yang akhirnya menjadi sektor informal. Maka kemudian di kota banyak pencopet dan lain-lain adalah dampak dari perebutan ruang, sama dengan masyarakat Mentawai ketika mereka diambil hutannya tidak tahu ke depan bagaimana ?

Sahid Sae’un selaku pegiat Rumah Pengetahuan Daulat Hijau mengatakan bahwa tujuan mengadakan acara ini untuk sebuah refleksi apakah Indonesia benar-benar merdeka?Sekaligus sebuah solidaritas untuk saudara di Lombok yang beberapa waktu lalu mengalami bencana alam gempa bumi.

Maka sebelum acara ditutup dengan doa yang dipimpin Sahid Sae’un mengumpulkan dana bantuan seikhlasnya dari peserta yang datang. Dana yang terkumpul sebesar Rp. 196.500,00 (seratus sembilan puluh enam lima ratus rupiah) yang akan didonasikan melalui rekening LazisNU.

--

--

Forum Diskusi
Forum Diskusi Progresif

Forum Diskusi Progresif, merupakan wadah bertukar pengetahuan dan penyikapan atas isu-isu terkini.