Sampai Akhir Hayatku, Aku Tetap Menanti Bima

Forum Diskusi
Forum Diskusi Progresif
4 min readAug 18, 2018

Ketut Shandy Swastika

“Pencarianku tak pernah berhenti, suara kebenaran selalu kulantangkan dengan keras, meminta keadilan untuk anakku” Ibu Misiati

Pada tanggal 6 Agustus 2018 telah berpulang Ny. Genoveva Misiati (76) di RS Panti Nirmala kota Malang. Setiap orang pasti akan berpulang, namun dalam kepulangan Ibu Misiati terdapat duka dan ketidakadilan. Ibu Misiati merupakan salah satu orang yang hak dan kewajibannya sebagai seorang Ibu dicabut oleh rezim orde baru. Anaknya yang bernama Petrus Bima Anugerah (Bimpet) merupakan salah satu korban penghilangan paksa di tahun '98.

Penyadaran dan perlawanan yang dilakukan Bimpet dan kawan-kawannya memang sangat membahayakan bagi penguasa rezim pada saat itu. Ketika mahasiswa pada umumnya duduk manis dalam bangku perkuliahan, Bimpet tak seperti itu. Bimpet tak bisa tenang melihat pelanggaran HAM serta demokrasi yang dikebiri. Pada tanggal 29 September 1997 tepatnya 5 hari setelah hari lahirnya Bimpet menulis surat untuk ibunya. Kepada Ibundanya Bimpet menulis :

"Kebanyakan, seorang anak diharapkan semenjak lahir, disusui, disekolahkan, kalo lulus diharapkan dapat kerja, hidup mapan, jadi orang baik-baik, kawin, dan mati. Kalo hanya seperti itu saja, banyak contohnya. Dan itu sah-sah saja. Persoalannya, bagi Bima enggak cukup di situ saja persoalan hidup ini. Banyak yang jauh lebih penting, banyak yang belum Bima ketahui (sampai matipun mungkin pengetahuan Bima enggak akan cukup) daripada yang datar-datar saja.

Mungkin hal ini pernah Bima singgung di surat yang terdahulu. Hanya sekedar refleksi saja kali ini. Enggak enak rasanya kalo hidup ini hanya datar-datar saja. Enggak ada seninya.

Mumpung masih muda, Bima pengin masa muda Bima betul-betul bermakna. Entah itu salah atau benar jalan yang Bima tempuh. Yang penting bermakna. Daripada sampe jadi kakek-kakek enggak berbuat sebuah makna pun dalam hidupnya.

Bima mesti bergulat dengan sisi lain yang miris dari atmosfer Jakarta. Namun di sana, di tengah-tengah kaum buruh yang tertindas, kaum miskin kota yang terhempas, Bima menemukan rumah Bima yang sejati.”

Jalan yang dipilih oleh Bimpet untuk dapat hidup lebih bermakna membuatnya dihilangkan paksa. Tertanggal 31 Maret 1998, Bimpet dinyatakan hilang dan sampai saat ini belum ditemukan. Ibu Misiati tak pernah sedetikpun untuk tak mencarinya, berbagai cara beliau telah lakukan.

Namun tak pernah mendapatkan suatu kejelasan, mengutip dari asumsi.co, Ibu Misiati pernah berpesan

"Yang kami butuhkan selama ini hanya satu, kepastian. Kalau memang masih ada, sekarang ada di mana ? Kalau memang sudah tidak ada, ya tolong dikasih tahu kapan dan kena apa, biar kita bisa mendoakan.”

Dan kini hingga akhir hayatnya, pesan tersebut tak pernah ada jawabnya.

Kasih Ibu dalam Hidup yang Lebih Bermakna

Setiap Ibu pasti akan mendukung jalan yang dipilih oleh anaknya untuk sebuah tujuan yang mulia. Tak ada Ibu yang akan melarang anaknya untuk hidup seperti itu. Namun dalam "Hidup lebih bermakna" seperti Bimpet pilih, tak semua Ibu dapat memberikan kasih sayang dan dukungan. Seorang Ibu seperti itu harus kuat menghadapi pikiran was was akan keselamatan anaknya di tiap harinya, apalagi jika anaknya dianggap ancaman oleh Negaranya sendiri.

Diceritakan dalam liputan khusus Yayasan Pantau (2007), Bima pamit dari rumah setelah meminta restu orang tua untuk pindah kuliah ke Jakarta pada 1997. Sebelum itu, dia kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya. Diskusi panjang pun mengiringi kepindahannya selama empat jam bersama ayah dan ibunya.

“Nanti Ibu tahu sendiri apa yang kuperjuangkan.” Ujar Bima.

Dibandingkan dengan Alm. Genoveva Misiati, suaminya Dionyus Utomo Rahardjo lebih mengetahui aktivitas politik anaknya sejak awal. Ini dimulai dari keterlibatan Bima di SMID (Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi), sebuah organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan PRD (Partai Rakyat Demokratik), partai yang gencar melawan rezim totaliter Soeharto. SMID dideklarasikan di Jakarta pada Agustus 1994. Program utamanya adalah pencabutan dwi fungsi ABRI dan pencabutan paket 5 Undang-Undang Politik 1985 yang membungkam kebebasan orang untuk berpendapat dan berorganisasi.

“Justru itu kami mengkhawatirkanmu,” sahut Tomo,

“Berapa banyak kawanmu?”

“Kurang lebih 35 orang.”

“Kamu itu akan membentur tembok beton,” Tomo menggambarkan rezim Orde Baru, mengingatkan anaknya.

Namun Bima malah menjawab,

“Paling tidak aku yang menabraknya, Pak.”

Bima pun berangkat dibekali uang 100 ribu rupiah. Dia kemudian mendaftar ke Sekolah Tinggi Filsafat Drikarya, Jakarta. Surat terakhir kepada ibunya hanya memastikan bahwa dia baik-baik saja.

“Ibu tahu kan gedung-gedung mewah yang kita lihat waktu ke Jakarta. Tapi Ibu tahu gak, di balik gedung itu orang-orang tidak makan, anak-anak sekolah tak bersepatu. Di gedung tinggi, orangnya cuma sedikit tapi di balik gedung itu banyak sekali orang yang bergelimpangan. Itulah yang kuperjuangkan, Bu,” ujar Bima dalam suratnya.

Bima rajin menulis surat untuk Ibunya. Namun sayang, surat-surat itu baru sampai ke tangan Misiati belakangan, setelah Bima hilang. Misiati sedih saat membaca surat Bima yang berisi permintaan dimasakkan sayur lodeh kesukaannya jika pulang nanti.

Permintaan yang tidak akan pernah bisa dipenuhi oleh Alm. Misiati.
Dalam suatu misa yang khusus mendoakan Petrus Bima Anugrah di tahun 2007, Alm. Genoveva Misiati berkata dengan keyakinan,

“Kami akan menunggunya pulang sampai kapan pun. Suatu saat Tuhan akan membuka jalan.”

Secercah harapan sempat terbuka ketika Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Internasional tentang Perlindungan Setiap Orang dari Penghilangan Paksa pada 27 September 2010. Namun, hingga saat ini pemerintah belum melakukan ratifikasi atau pengesahan atas konvensi tersebut.
Dalam konvensi, Pasal 4 menyebutkan “Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah penting untuk menjamin bahwa penghilangan paksa merupakan kejahatan dalam hukum pidananya.”

Selain itu, dalam Pasal 6 menyatakan, “Praktek penghilangan secara paksa yang dilakukan secara meluas atau sistematis adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti dimaksud dalam hukum internasional yang berlaku dan harus memperoleh konsekwensi seperti yang berlaku di bawah hukum internasional.”

Namun janji untuk ratifikasi dan tindak lanjut secara hukum terhadap kasus penghilangan paksa tahun 1997/1998 hanyalah janji palsu pemimpin negeri ini. Penantian selama 20 tahun ternyata tidak cukup untuk mendapatkan kepastian keberadaan Petrus Bima Anugrah.

Mungkinkah negara menanti Alm. Genoveva Misiati, Utomo, dan keluarga korban penghilangan paksa lainnya mati satu per satu agar kebenaran tentang tragedi 1998 tak pernah terungkap.

--

--

Forum Diskusi
Forum Diskusi Progresif

Forum Diskusi Progresif, merupakan wadah bertukar pengetahuan dan penyikapan atas isu-isu terkini.