Amerika Serikat, Sebuah Ironi, dan Politik Pada Penegakkan HAM Dalam Perang

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Amerika Serikat (AS) menjadi negara yang paling sering terlibat dalam perang. Sejak dari Perang Korea hingga Perang Irak, AS selalu melibatkan kekuatan militer mereka didalam hampir setiap peperangan, baik secara multilateral dalam framework pasukan koalisi penjaga perdamaian (peace-keeping force) seperti pada Perang Bosnia maupun secara unilateral seperti dalam Perang Afghanistan. Disamping itu, AS juga merupakan negara yang paling mendukung upaya pembentukan pengadilan bagi para pelaku pelanggaran HAM dalam perang seperti Pengadilan Tokyo, International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY), International Tribunal for Rwanda (ICTR), dan Iraqi Special Tribunal (IST). Hal ini seakan menegaskan posisi AS sebagai negara adidaya, paling aktif dalam dinamika konflik bersenjata internasional, dan paling berpengaruh di dunia dalam upaya penegakkan hak asasi manusia (HAM) dalam perang.

Tetapi, disamping fakta-fakta diatas, AS juga merupakan salah satu negara yang paling banyak melakukan pelanggaran HAM dalam perang dengan beberapa contoh kasus. Pertama, perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan oleh tentara AS terhadap tawanan seperti pelecehan dan penyiksaan di penjara Abu Ghraib, Irak dimana Sekretaris Pertahanan AS Donald Rumsfeld dicurigai ikut terlibat meskipun tidak secara langsung. Kasus ini menyebabkan sebelas personel militer AS yang terlibat diadili ke pengadilan militer dan bahkan sempat diangkat ke layar lebar lewat film Boys of Abu Ghraib pada tahun 2014. Kedua, kasus pembunuhan terhadap empat warga sipil tidak bersenjata yang dilakukan oleh Staff Sergeant Calvin Gibbs dan empat orang rekannya di Kandahar, Afghanistan. Ketiga, pada bulan Oktober 2015 Angkatan Bersenjata AS melakukan serangan udara ke rumah sakit milik Médecins Sans Frontières (MSF) di Kunduz, Afghanistan dan menewaskan 20 orang. Sampai saat ini belum diketahui siapa yang paling bertanggung jawab dan meskipun Departemen Pertahanan AS sudah melakukan investigasi internal atas serangan tersebut. Pihak MSF sendiri menuntut diadakannya penyelidikan yang lebih independen dan menganggap AS telah melanggar Konvensi Jenewa. Dengan demikian, AS layak diseret ke pengadilan HAM internasional (ICC/International Court of Justice) atau biasa disebut dengan Mahkamah Internasional.

Meskipun terdapat gelombang protes dan kecaman publik yang menuntut diseretnya AS ke ICC, tetapi hingga saat ini tidak ada tindakan pengusutan atau penuntutan yang dilakukan oleh institusi internasional manapun terhadap AS. Yang ada hanyalah tuntutan simbolis dari pihak Palang Merah Internasional (ICRC) dan pernyataan mereka tentang pentingnya perlindungan tenaga medis dalam peperangan. Sedangkan upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM dalam perang yang dilakukan oleh anggota militer AS selalu diselesaikan secara eksklusif hanya oleh kalangan internal dari militer AS saja. Hal ini merupakan sebuah ironi karena negara yang paling berpengaruh dalam upaya penegakkan HAM dalam perang justru merupakan negara yang sering melakukan pelanggaran HAM dalam perang dan belum pernah dapat diseret ke Mahkamah Internasional.

Dalam kasus pelanggaran HAM dalam perang, ICC atau Mahkamah Internasional adalah institusi internasional yang melambangkan penegakan HAM baik bagi pelaku maupun korban. Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag menjadi institusi garda depan dalam mengadili pelaku pelanggaran HAM dalam perang. ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma yang hingga kini telah diratifikasi oleh 123 negara. Bagi negara yang menolak untuk meratifikasi, tentu ada alasan khusus mengapa negara hanya mau menandatangi tetapi tidak mau meratifikasi perjanjian internasional.

Penjelasan mengapa negara menolak meratifikasi Statuta Roma dalam tulisan ini dibahas dalam perspektif realisme. Varian realisme yang digunakan adalah teori neorealisme yang dicetuskan oleh Kenneth Waltz. Waltz berangkat dari konsep kunci anarki untuk menjelaskan bagaimana perilaku negara dalam politik internasional. Waltz menyebut anarki sebagai ‘prinsip yang mengatur’ (ordering principle) hubungan antar negara. Anarki memaksa negara berperilaku berdasarkan logika mementingkan diri sendiri (self-help). Perjuangan mengejar kepentingan nasional yang didefinisikan dalam konsep keamanan nasional adalah satu-satunya tujuan negara berinteraksi dalam dunia internasional. Konsekuensinya, negara tidak perlu mengindahkan aturan-aturan internasional termasuk hukum internasional karena dianggap hanya akan membatasi ruang gerak negara dalam rangka pencapaian kepentingan nasional. Selain itu, hukum internasional tidak perlu dipatuhi karena bagaimanapun juga negara adalah pembuatnya.

Bagi kaum realis, hukum internasional tidak selayaknya berada ‘di atas’ kedaulatan negara. Tidak ada kewajiban moral internasional apapun bagi negara kecuali kewajiban memajukan, melindungi, dan memenuhi kepentingan nasional. Hal ini ditegaskan oleh George Kennan, seorang realis dan salah satu penggagas doktrin kebijakan luar negeri Amerika Serikat, yang mengatakan bahwa kewajiban moral utama suatu negara adalah menjamin keamanan dan kesejahteraan warga negaranya karena rakyat telah memberikan mandat kekuasaan kepada pemerintah untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Konsep moralitas kaum realis dengan demikian sangat bertolakbelakang dengan kaum liberalis. Bagi kaum realis, moralitas bermakna ke dalam (inward-looking) yakni mengejar tujuan diri sendiri sedangkan bagi kaum liberalis moralitas bermakna keluar (outward-looking) yakni kewajiban mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati bersama.

Prinsip umum yang dianut oleh kaum realis dalam memperlakukan hukum internasional mengacu pada teori pilihan rasional. Teori pilihan rasional dibangun di atas asumsi bahwa setiap tindakan negara selalu mempertimbangkan untung dan rugi. Suatu tindakan dikatakan rasional sejauh ia mengejar keuntungan sebesar-besarnya dan mengurangi kerugian sekecil-kecilnya. Ini adalah prinsip kebijakan strategis dimana orientasi negara dalam hubungan internasionalnya senantiasa dituntun oleh logika instrumental. Realisme memiliki pandangan instrumental terhadap hukum internasional. Instrumentalisme memiliki pandangan sederhana saja yakni tingkat kepatuhan suatu negara kepada hukum internasional ditentukan oleh kesesuaian antara kepentingan nasional dan aturan-aturan yang tertuang dalam hukum internasional tersebut. Artinya, jika negara menemukan ada keuntungan dari penerapan hukum tersebut maka negara akan mematuhinya. Sebaliknya, jika ternyata hukum tersebut malah merugikan atau minimal berpotensi tidak menguntungkan maka negara tidak akan mematuhinya. Jadi, realisme sangat pragmatis dalam memperlakukan hukum internasional

Hukum internasional mengenal konsep customary international law atau hukum kebiasaan internasional sebagai sumber hukum. Secara sederhana, konsep ini didefinsikan sebagai hukum internasional yang “…mengatur semua atau hampir semua negara, atau paling tidak semua negara ‘beradab’.” Disebut ‘customary’ karena hukum ini diterapkan berdasarkan norma adat atau kebiasaan (custom) yang telah lama dianut komunitas internasional. Beberapa norma yang telah menjadi kebiasaan internasional dan diakui secara universal antara lain anti-perbudakan, anti-penindasan, anti-penyiksaan, dan lain sebagainya yang melanggar prinsip dan nilai kemanusiaan. Karena telah diakui secara univerasal maka negara-negara wajib mematuhinya. Konvensi Jenewa sebagai Hukum Humaniter Internasional termasuk ke dalam kategori hukum kebiasaan internasional. Ada dua syarat supaya hukum internasional dikategorikan sebagai hukum kebiasaan internasional: ada negara yang mengimplementasikannya secara konsisten dan adanya keyakinan serta pengakuan dari negara bahwa norma tersebut sah atau disebut dengan istilah opinio juris sive necessitatis. Implementasi aturan-aturan hukum internasional harus seragam, ekstensif, dan representatif. Agar dapat mengikat secara keseluruhan, sebuah hukum harus memberi pengaruh signifikan bagi negara tertentu yang terlibat atau tersangkut kasus pelanggaran hukum internasional. Jadi prinsipnya bukan kuantitas tetapi kualitas. Tidak penting berapa banyak negara yang menerapkan aturan itu melainkan negara mana yang harus dikenai aturan itu. Selain itu, hukum kebiasaan internasional tidak mempedulikan apakah negara mau menandatangani atau tidak tetapi cukup dengan meyakini bahwa aturan-aturan dalam perjanjian internasional itu penting dan diperlukan.

Selanjutnya adalah perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional. Perjanjian internasional disini didefinisikan sebagai kesepakatan yang diadakan oleh negara dengan negara lain sebagai subjek hukum internasional dan bertujuan untuk meciptakan suatu hukum tertentu. Dalam praktiknya, perjanjian internasional dibagi menjadi dua yaitu treaty contract dan law making treaty. Treaty contract diartikan sebagai perjanjian yang dibuat eksklusif hanya bagi pihak yang mengadakan perjanjian tersebut, sedangkan law making treaty merupakan perjanjian yang dibuat untuk meletakkan ketentuan hukum bagi seluruh negara di dunia secara keseluruhan. Statuta Roma sebagai hukum yang pengatur tentang pelanggaran HAM dalam perang termasuk kedalam kategori law making treaty. Ada tiga tahap pembuatan perjanjian internasional yang dilakukan secara berurutan yaitu perundingan, penandatanganan, dan pengesahan/ratifikasi. Diluar dua tahap lainnya, tahap ratifikasi merupakan tahap terpenting karena ketika negara telah meratifikasi perjanjian internasional, maka negara tersebut secara langsung telah terikat dan wajib mengimplementasikan nilai-nilai yang terdapat dalam perjanjian internasional tersebut. Jika negara hanya menandatangi sebuah perjanjian internasional, maka perjanjian tersebut tidak akan memberikan efek mengikat sebelum diratifikasi. Menandatangani merupakan simbol dukungan implisit suatu negara terhadap sebuah perjanjian internasional namun tidak diikuti dengan komitmen untuk terikat di dalamnya. Dengan kata lain, menandatangani tidak lebih dari sebuah dukungan moral yang tidak memberi konsekuensi hukum apa-apa bagi negara.

Pada kasus ini, ada dua masalah didalam penegakkan HAM dalam perang yang membuat AS tidak bisa diseret ke ICC meskipun telah melakukan pelanggaran HAM dalam perang. Pertama, tidak adanya institusi internasional yang dapat menindak negara jika melanggar Konvensi Jenewa. Sebagai hukum kebiasaan internasional, Konvensi Jenewa bersifat mengikat negara-negara di dunia mengingat Konvensi Jenewa juga merupakan hukum internasional subordinatif sehingga negara-negara di dunia wajib mematuhinya. Masalahnya, saat ini belum ada institusi internasional manapun yang dapat menindak negara yang melanggar Konvensi Jenewa. Terlepas dari status ICRC sebagai salah satu subjek hukum internasional dan institusi yang menaungi Konvensi Jenewa, ICRC tidak memiliki kewenangan untuk menuntut pelanggaran Konvensi Jenewa yang dilakukan oleh negara dan hanya memiliki yurisdiksi dalam praktik pelaksanaan nilai-nilai yang terkandung didalam Konvensi Jenewa.

Kedua, meskipun Konvensi Jenewa memiliki keterkaitan dengan Statuta Roma yang merupakan dasar yurisdiksi ICC, Konvensi Jenewa tetaplah bukan dasar yurisdiksi dari ICC sehingga ICC tidak bisa menindak pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa. ICC baru bisa bertindak terhadap negara pelanggar HAM dalam perang jika yang menjadi acuan adalah Statuta Roma. Masalahnya, Statua Roma merupakan hukum internasional koordinatif yang hanya berlaku bagi negara yang menyetujuinya untuk terikat lewat proses ratifikasi dengan kaidah pacta sunt servanda. Jika negara tidak menyatakan untuk terikat dalam perjanjian tersebut, maka negara tidak memiliki kewajiban dan tidak bisa diwajibkan untuk menaati Statuta Roma. Konsekuensinya, ICC tidak dapat melakukan tindakan apa-apa terhadap negara yang melanggar Statuta Roma jika negara tersebut tidak meratifikasi Statuta Roma sebagai aturan yang mengikat negara secara legal/hukum.

Mengenai kasus pelanggaran HAM dalam perang, hingga saat ini masih banyak negara yang belum meratifikasi Statuta Roma. Padahal, negara-negara tersebut kebanyakan merupakan negara yang sering melakukan pelanggaran HAM dalam perang, contohnya AS. Meskipun secara kuantitas Statuta Roma telah diratifikasi sebagian besar negara di dunia, namun secara kualitas Statuta Roma belum mengikat negara-negara pelaku utama kejahatan perang. Meskipun begitu, subjek yang dikenai Statuta Roma bukan negara melainkan individu. Artinya, meskipun negara melakukan kejahatan perang namun yang dibawa ke pengadilan kriminal internasional bukan negaranya melainkan individu-individu yang bertanggung jawab atas tindak kejahatan perang tersebut. Karena Statuta Roma termasuk hukum perjanjian internasional, negara pihak yang meratifikasi Statuta Roma akan dikenai kewajiban-kewajiban sesuai ketentuan dalam Statuta Roma. Sedangkan bagi negara yang tidak meratifikasi, maka akan sangat sulit melakukan penuntutan karena terbentur masalah kedaulatan. Penuntutan hanya bisa dilakukan jika sistem hukum negara asal si pelanggar lumpuh. Para pelaku pelanggaran HAM baru dapat diseret ke ICC pada saat kondisi negaranya tidak bisa menjalankan fungsinya secara normal, misalnya ketika kalah perang atau berada di bawah pengawasan PBB. Jika negaranya masih berdiri kokoh, maka negara yang tidak meratifikasi akan bebas melakukan apa saja.

Contoh paling representatif untuk menggambarkan argumen ini adalah penolakan AS meratifikasi Statuta Roma. AS terkenal sebagai negara yang selalu menerapkan standar ganda dalam kebijakan luar negerinya. Hal ini nampak sekali dalam konteks penegakkan HAM dalam perang. AS mendukung semua institusi pengadilan pelanggaran HAM dalam perang mulai dari Pengadilan Nuremberg, ICTY, sampai ICTR. Namun dukungan yang sama tidak terjadi ketika ICC dan Statuta Roma dibentuk. Sikap ini amat masuk akal sebab AS hanya mendukung institusi yang melayani kepentingannya. Jika pelaku pelanggaran HAM dalam perang berasal dari negara lain maka AS akan mendukung upaya untuk membawa pelaku ke pengadilan, sedangkan ICC dan Statuta Roma bukan dibentuk secara khusus untuk individu dari negara tertentu melainkan seluruh negara di dunia, termasuk AS. Dengan kata lain, sikap AS yang menolak meratifikasi Statuta Roma adalah untuk melindungi kepentingan nasionalnya yaitu melindungi individu-individu yang berperang demi mencapai tujuan yang sudah digariskan oleh pemerintah AS mengingat perang adalah bagian integral dari strategi kebijakan luar negeri AS. Dengan demikian, meratifikasi Statuta Roma berarti sama saja memberikan akses kepada ICC untuk mengintervensi kebijakan luar negeri AS.

Sebagai negara yang paling sering berperang, AS tidak ingin Statuta Roma membatasi ruang gerak mereka di medan tempur. Ketika AS menginvasi Afganistan tahun 2001, George Bush mengatakan: “ The United States cooperates with many other nations to keep the peace, but we will not submit American troops to prosecutors and judges whose jurisdiction we do not accept. Every person who serves under the American flag will answer to his or her own superiors and to military law, not to the rulings of an unaccountable International Criminal Court. We will take the actions necessary to ensure that our efforts to meet our global security commitments and protect Americans are not impaired by the potential for investigations, inquiry, or prosecution by the International Criminal Court, whose jurisdiction does not extend to Americans and which we do not accept”.

Hal senada juga dikatakan oleh John Bolton, seorang politikus penganut neokonservatif, yang menegaskan pernyataan yang sama bahwa AS harus melindungi para pemimpin sipil dan militer yang bertanggung jawab dalam bidang pertahanan dan kebijakan luar negeri. Bolton bahkan secara konfrontatif berpendapat bahwa Statuta Roma mengancam kepentingan nasional AS, merusak kebijakan luar negeri, serta mengancam independensi dan fleksibilitas untuk mempertahankan kepentingan nasional di seluruh dunia. Dalam kesempatan lain, ia juga mengirim surat kepada Sekretaris Umum PBB Kofi Annan tertanggal 6 Mei 2002 mengenai posisi AS dalam Statuta Roma, yang mengatakan: “ …the United States does not intend to become a party to the treaty. Accordingly, the United States has no legal obligations arising from its signature on December 31, 2000. The United States requests that its intention not to become a party, as expressed in this letter, be reflected in the depositary’s status lists relating to this treaty.”. Perlawanan AS kepada ICC dan Statuta Roma tidak hanya sebatas pernyataan, tetapi juga dilakukan lewat tekanan diplomatik dan kebijakan dalam negeri. AS beberapa kali mengancam akan memveto resolusi PBB yang berkaitan dengan misi perdamaian. Selain itu, pada tahun 2005 AS juga mengeluarkan undang-undang perlindungan kepada para petinggi kebijakan pertahanan dan luar negeri atau ASPA (American Service-member’s Protection Act) yang memberi kewenangan pemerintah untuk melakukan segala cara untuk membebaskan mereka dari jeratan yurisdiksi ICC.

Sikap AS terhadap ICC tetap tidak berubah pada masa pemerintahan Barack Obama. Meskipun Obama sedikit melunak dengan bersedia bekerjasama dengan ICC dan berbagi informasi, namun garis besar kebijakannya tetap sama seperti pendahulunya. Lagipula, sikap mau bekerjasama dengan ICC semata-mata dilandasi oleh kepentingan nasional AS dan menyangkut kasus yang bukan dilakukan oleh personel maupun pejabat AS. Sikap AS yang dengan cepat menyerahkan pemimpin pemberontak Kongo, Bosco Ntaganda pada Maret 2013 kepada ICC merupakan bukti bahwa dukungan AS kepada ICC hanya berlaku di luar ranah kebijakan luar negeri AS. Bagaimanapun juga, Obama tetap berpegang pada ASPA yang melindungi personel militer dan pejabat pemerintah dalam melaksanakan tugas negara. Dalam sebuah memo yang ditujukan untuk misi perdamaian PBB di Mali, Obama menyatakan para personel militer yang terjun di Mali mendapatkan perlindungan dari ASPA tahun 2005 yang mencegah intervensi ICC. Terlepas dari dukungan mereka kepada ICC, AS bersikeras bahwa tidak ada hukum internasional apapun yang boleh membatasi kebijakan luar negerinya.

--

--