Bencana Nasional dan Miskoordinasi Kabut Asap
Tahun ke tahun, penanganan darurat kabut asap oleh pemerintah daerah dan pusat terkesan ‘gagap’. Setidaknya ada dua hal yang dapat diidentifikasi sebagai permasalahan koordinasi antar pemerintah. Pertama adalah masalah tumpang tindih antar komando dan komunikasi antar struktur manajemen penanganan bencana asap dan kebakaran, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini diungkapkan oleh Anggota DPD RI daerah pemilihan Riau, Intsiawiati Ayus bahwa kegagapan Pemerintah tampak dari tumpang tindih komando pemadaman, antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Menurut Intsiawiati adanya ketidakjelasan komando membuat pemadaman jadi lambat. Hal yang senada diungkapkan oleh Anggota DPR dari Fraksi Gerindra Sutan Adil Hendra, “Koordinasi yang dilakukan pemerintah (dinilai) parsial. BNPB jalan sendiri, polisi jalan sendiri, bupati dan kepala daerah jalan sendiri, (sehingga) mereka terlihat gagap di lapangan.”
Kedua, lemahnya koordinasi pemerintah juga diperparah oleh minimnya anggaran penanggulangan bencana di tiap daerah yang terpapar asap. Hal ini didukung oleh pernyataan Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho bahwa anggaran penanggulangan bencana di Badan Penanggulangan Bencana Derah (BPBD) hanya 0,02 persen dari alokasi dana APBD yang dapat digunakan untuk bencana. Padahal, anggaran yang ideal untuk penanganan risiko bencana dalam APBD minimal satu persen. Sutopo juga menjelaskan, bahkan Kalimantan Tengah — sebagai provinsi langganan kebakaran hutan dan lahan tidak menganggarkan satu persen pun untuk pencegahan kebakaran lahan dan hutan.
Permasalahan koordinasi berkaitan erat dengan perdebatan mengenai status kabut asap sebagai “Bencana Nasional” atau tidak. Sebab, koordinasi dan anggaran akan dipegang dan ditentukan oleh pusat jika sebuah bencana dikategorikan sebagai “Bencana Nasional”. Pada dasarnya, penetapan status dan tingkatan bencana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yaitu pada Pasal 1, Pasal 7 dan Pasal 51. Dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf (c) menyebutkan wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah. Sementara Ayat (2) menjelaskan penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah memuat indikator yang meliputi; jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Selanjutnya Ayat (3) menjelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai status dan tingkatan bencana diatur dengan Peraturan Presiden.
Hingga 2 November 2015, Pemerintah belum menetapkan kabut asap sebagai bencana nasional, meskipun terdapat banyak pihak yang telah mendesak demikian. Respon akhirnya datang dari Biro Hukum dan Kerjasama Badan Nasional Penanggulangan Bencana tentang upaya penyusunan rancangan peraturan presiden tentang penetapan status dan tingkatan bencana pada tanggal 30 Oktober — 1 November di Bogor. Inspektorat Utama BNPB Bintang Susmanto menjelaskan penetapan status dan tingkatan bencana ini tidak lain untuk memperoleh kemudahan akses seperti kemudahan penggunaan dana dan lain-lain, agar dalam penanggulangan bencana pihak terkait tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Dengan adanya pembahasan rancangan perpres ini, diharapkan penanggulangan kebakaran lahan dan kabut asap dapat terkoordinasi dengan baik dari pusat hingga ke bawah sehingga respon yang diberikan tidak terkesan lamban dan berjalan sendiri-sendiri.
Penanganan kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap yang dihasilkan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah pusat dan daerah tiap tahunnya. Tinjauan ini melihat kembali beberapa permasalahan mendasar yang menjadi perhatian bagi banyak pihak. Pemerintahan yang bersih-transparan dan revisi payung hukum adalah sekian dari tantangan terbesar yang harus dituntaskan. Tak hanya itu, beberapa respon penanganan kabut asap telah dilakukan oleh pemerintah, dan meskipun terkesan terlambat — hingga 2 November 2015 situasi dan kondisi di lapangan berangsur membaik. Sejumlah titik api masih terlihat namun jumlahnya sudah berkurang. Bahkan hujan telah turun di beberapa daerah yang terpapar asap. Pemerintah melalui BNPB telah menghabiskan dana lebih dari Rp 500 miliar untuk menangani kabut asap tahun ini. Dengan dana yang begitu besarnya, pemerintah berharap kebakaran lahan dan kabut asap dapat teratasi hingga akhir tahun 2015. Terlepas dari respon darurat dan permasalahan mendasar yang ada, perlunya komunikasi dan komitmen berkelanjutan dari semua aktor untuk mentaati peraturan yang berlaku menjadi urgensi tersendiri agar kebakaran hutan dan lahan serta bencana kabut asap tidak terulang lagi di tahun yang akan datang.
Bagian I — Kabut Asap, Tantangan bagi Tata Kelola Pemerintahan
Bagian II — Legalitas Pembukaan Lahan dan Penegakan Hukum
Originally posted on Academia