Masyarakat Ekonomi ASEAN: Peluang, Tantangan, dan Paradoks
Indonesia termasuk salah satu negara dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) yang akan bergulir mulai akhir tahun 2015 ini. Pembentukan MEA merupakan bagian dari upaya ASEAN untuk lebih mempererat integrasi ASEAN dalam bidang ekonomi. Selain itu juga merupakan upaya evolutif ASEAN untuk menyesuaikan cara pandang agar dapat lebih terbuka dalam membahas permasalahan domestik yang berdampak pada kawasan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip utama ASEAN, yaitu: saling menghormati, non-intervensi, penetapan konsensus, dialog, dan konsultasi. Tujuan dibentuknya MEA sendiri adalah untuk meningkatkan stabilitas dan memperkecil kesenjangan perekonomian dikawasan ASEAN, serta diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah dibidang ekonomi antar negara ASEAN. Selain itu, MEA juga diharapkan untuk meningkatkan interdependensi anggota-anggota didalamnya dalam upaya pembentukan blok perdagangan yang dapat menangani dan bernegosiasi dengan eksportir dan importir non-ASEAN.
Pembentukan MEA sendiri berawal dari kesepakatan para pemimpin ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada Desember 1997 di Kuala Lumpur, Malaysia. Kesepakatan ini bertujuan meningkatkan daya saing ASEAN serta bisa menyaingi Tiongkok dan India untuk menarik investasi asing. Modal asing dianggap dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan warga ASEAN. Selain itu, MEA nantinya juga memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat.
Terdapat tiga hal yang menjadi karakter MEA pada tahun 2015 yang dapat dijadikan suatu momentum yang baik untuk Indonesia. Pertama, negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini akan dijadikan sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi maka akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah yang besar, dan tenaga kerja terlatih menjadi tidak ada hambatan dari satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara.
Kedua, MEA akan dijadikan sebagai kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing dan dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi.
Ketiga, MEA akan diintegrasikan terhadap perekonomian global. Dengan membangun sebuah sistem untuk meningkatkan koordinasi terhadap negara-negara anggota, partisipasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada jaringan pasokan global melalui pengembangkan paket bantuan kepada negara-negara anggota ASEAN yang kurang berkembang akan digalakkan. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemampuan industri dan produktivitas sehingga tidak hanya terjadi peningkatkan partisipasi mereka pada skala regional namun juga memunculkan inisiatif untuk terintegrasi secara global.
Dari karakter dan dampak MEA tersebut di atas sebenarnya ada peluang dari momentum MEA yang bisa diraih Indonesia. Kondisi pasar yang sudah bebas di kawasan sendirinya akan mendorong pihak produsen dan pelaku usaha lainnya untuk memproduksi dan mendistribusikan barang yang berkualitas secara efisien sehingga mampu bersaing dengan produk-produk dari negara lain. Di sisi lain, para konsumen juga mempunyai alternatif pilihan yang beragam yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Indonesia sebagai salah satu negara besar yang juga memiliki tingat integrasi di sektor pertanian dan keunggulan komparatif pada sektor berbasis sumber daya alam berpeluang besar untuk mengembangkan industri di sektor-sektor tersebut di dalam negeri. Dampak positif lainnya yaitu investor Indonesia dapat memperluas ruang investasinya tanpa ada batasan ruang antar negara anggota ASEAN. Selain itu, Indonesia juga dapat menarik investasi dari para pemodal-pemodal ASEAN sehingga para pengusaha akan semakin kreatif karena persaingan yang ketat dan para pekerja akan semakin meningkatakan tingkat skill, kompetansi dan profesionalitas yang dimilikinya. Kondisi ini bisa dijadikan peluang bagi Indonesia untuk memperluas pasar tenaga kerjanya ke pasar luar negeri, terutama ke negara-negara ASEAN, dimana jumlah tenaga Indonesia diperkirakan akan naik hingga 123 juta jiwa pada tahun 2019.
Namun, selain peluang, ada pula hambatan yang harus kita perhatikan. Pertama, mutu pendidikan tenaga kerja masih rendah, di mana data BPS pada Mei 2015 menunjukkan jumlah pekerja yang masih berpendidikan rendah tercatat sebanyak 75,78 juta orang. Perhatian pemerintah terhadap mutu pendidikan tenaga kerja merupakan hal penting tidak hanya untuk menyongsong MEA, tapi juga agar masyarakat Indonesia bisa bekerja dengan produktif. Sehingga tenaga kerja Indonesia bisa meningkatkan nilai tambah bagi perusahaan tempat bekerja dan meningkatkan kesejahteraan keluarga tenaga kerja. Selanjutnya, kuantitas dan kualitas infrastuktur masih kurang sehingga mempengaruhi kelancaran arus barang dan jasa mengingat infrastruktur kita masih tertinggal dibandingkan negara Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand. Belum ditambah dengan masalah-masalah non-teknis dalam bidang infrastruktur seperti waktu bongkar muat kapal (dwelling time) di pelabuhan Indonesia yang masih kalah cepat dan efisien dibandingkan dengan pelabuhan seperti Singapura.
Terakhir, sektor industri yang rapuh karena ketergantungan impor bahan baku dan barang setengah jadi. Ketergantungan terhadap impor komoditas asing sendiri sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dolar AS. Jika Rupiah menguat terhadap Dolar, maka harga komoditas impor menjadi murah sehingga sektor industri bisa lebih leluasa dalam menjalankan usahanya. Tetapi jika Rupiah melemah terhadap Dolar, akibatnya harga komditas impor menjadi mahal sehingga dapat menyebabkan sektor industri menjadi lesu dan bahkan bangkrut karena tidak mampu memenuhi kebutuhannya agar kegiatannya terus berjalan sebagai efek dari ketidakmampuan mengimpor bahan baku.
Selain itu, masalah juga muncul dari dalam MEA sendiri. Selain untuk mengintegrasikan sistem perdagangan, dalam cetak birunya MEA juga dibentuk untuk menciptakan sistem mata uang tunggal (single currency) dengan maksud agar terciptanya efisiensi perdagangan dan transparansi harga produk yang diikuti dengan hilangnya biaya transaksi mata uang seperti negara-negara Eropa ketika membentuk Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Rencana penetapan mata uang tunggal ini sendiri belum mendapatkan respon positif dari negara-negara ASEAN dan terutama Sekjen ASEAN Le Luong Minh. Disamping itu, rencana untuk membentuk pasar modal ASEAN yang terintegrasi juga masih menemui jalan buntu dimana Bursa Efek Indonesia, sebagai otoritas negara yang mengatur perdagangan saham Indonesia, masih menyatakan keengganannya untuk membentuk pasar modal ASEAN.
Ada tiga penyebab masalah dalam hal ini. Pertama, ASEAN belum memiliki parameter tentang penerapan mata uang tunggal. Sistem mata uang tunggal hanya akan relevan jika kawasan yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat dalam berbagai bidang seperti kestabilan kondisi politik dan tingkat pertumbuhan serta sistem ekonomi yang tidak berbeda jauh satu sama lain. Hal ini penting karena penetapan mata uang tunggal juga secara langsung membentuk sistem ekonomi tunggal yaitu pasar bebas dimana seluruh negara yang terlibat mau tidak mau harus menerapkan sistem ekonomi tersebut. Selain itu, layak tidaknya sebuah sistem mata uang yang akan dipakai tergantung dari kesiapan perekonomian kawasan tersebut. Di ASEAN, Singapura terkenal jauh lebih unggul dalam pembangunan ekonomi dibandingkan negara lain seperti Kamboja, Myanmar, dan Vietnam. Sementara itu, Indonesia, Thailand, Malaysia & Filipina masih tergolong berada di pertengahan. Yang juga tidak boleh diabaikan adalah perbedaan sistem politik/pemerintahan, khususnya di Myanmar yang relatif otoriter dan menganut fasisme dan Vietnam yang masih menganut paham komunis.
Kedua, faktor geografis. Empat dari lima negara besar ASEAN adalah negara kepulauan yang dipisahkan lautan. Sebaliknya, negara-negara Eropa saling terhubung satu sama lain dalam satu daratan yang luas sehingga efek yang diharapkan dari penyatuan mata uang yaitu berupa turunnya biaya transaksi menjadi lebih terasa. Medan laut yang jika ditempuh memiliki durasi yang lebih lama sama saja akan membuat biaya transaksi semakin mahal. Terutama bagi Indonesia, yang wilayahnya dipisahkan oleh laut, hal ini tentu saja dapat menjadi kendala utama jika hanya dilihat dalam perdagangan berskala domestik.
Ketiga, penerapan sistem mata uang tunggal mensyaratkan penerapan kebijakan moneter secara kolektif. Dengan kata lain, harus dibentuk bank sentral ASEAN sebagai institusi regional yang mengatur segala aktivitas dan lalu lintas moneter di kawasan Asia Tenggara. Konsekuensinya, fungsi pengelolaan kebijakan moneter di setiap negara anggota akan hilang dan pemerintah tidak lagi punya instrumen kebijakan untuk melakukan intervensi pasar atau memonopoli perekonomian negarannya secara individual sehingga secara langsung MEA terkesan sebagai bentuk intervensi dalam ranah perekonomian negara. Selain terdengar seperti paradoks mengingat prinsip non-intervensi yang dianut oleh ASEAN, sistem ini juga memiliki bahaya tersembunyi ketika terjadi kegagalan pasar (market failure), yang jika berkaca dari krisis zona Euro tahun 2012, akan menyebabkan krisis secara stimultan terhadap sebagian besar negara ASEAN.
Dengan hadirnya MEA, Indonesia memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan ekonomi domestik sebagai basis memperoleh keuntungan. Namun demikian, Indonesia masih memiliki banyak tantangan dan resiko-resiko yang akan muncul bila MEA telah diimplementasikan. Oleh karena itu, para stakeholder diharapkan dapat lebih peka terhadap perkembangan yang akan terjadi agar dapat mengantisipasi risiko-risiko yang muncul dengan tepat. Selain itu, juga diperlukan kolaborasi antara otoritas negara dan para pelaku usaha, kesiapan infrastrukur, peningkatan kemampuan serta daya saing tenaga kerja dan perusahaan di Indonesia. Dari sisi ASEAN, penerapan sistem mata uang tunggal masih merupakan hal yang tidak realistis mengingat masih belum meratanya tingkat pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN dan faktor geografis wilayah Asia Tenggara yang kurang ideal. Selain itu, juga diperlukan beberapa analisis yang memberikan gambaran tentang kelayakan kawasan ASEAN untuk diterapkannya sistem mata uang tunggal mengingat masih beragamnya sistem ekonomi dan tingkat pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN