Membidik Perdagangan Bebas dari Kaca Mata Petani

FOIS
Forum for International Studies
4 min readOct 15, 2015

Indonesia Negara Agraris’, itu yang dulu sempat saya dengar waktu Sekolah Dasar. Indonesia memang bongkahan surga, (beberapa) tanahnya begitu subur guna lahan pertanian. Meminjam kalimat yang dipopulerkan Koes Plus, “Indonesia tanah surga, tanah dan batu jadi tanaman”. Selain itu, Indonesia juga pernah Jaya dengan Pertaniannya, era Kerajaan Mataram yang berpusat di Pulau Jawa. Pertanian jadi penopang kehidupan masa itu. Pemilik lahan yang tanahnya digarap oleh buruh tani jadi juragan. Petani pun sejahtera.

Namun, saat ini bagaimana nasib para petani Indonesia. Apalagi dihadapkan dengan dibukanya keran perdagangan bebas dalam sistem perdagangan internasional. Perdagangan bebas yang menjadikan petani lokal berhadapan langsung dengan petani dari negara bahkan benua lain. Ditambah kororasi-korporasi besar yang hasilkan produk pertanian dengan harga murah dan kualitas super. Mari ulas sekilas.

Dalam buku Global Political Economy “The Trading System” (Chapter 8 pg. 196), Robert Gilpin mencoba menjelaskan tentang sistem perdagangan internasional yang bebas. Perdagangan Bebas adalah meniadakan campur tangan pemerintah dalam sistem perdagangan, dimana perdagangan (ekspor-impor) akan dilemparkan kepada pasar baik pasar regional seperti Asean Free Trade Area (AFTA) maupun pasar global (digencarkan oleh World Trade Organization-Organisasi Perdagangan Dunia).

Dengan adanya perdagangan bebas ini, pemerintah dituntut untuk menghilangkan hambatan-hambatan dalam perdagangan seperti tarif (pajak masuk, pajak keluar, pajak transit), kuota, bahkan subsidi baik subsidi ekpor maupun subsidi produksi. Namun, bagaimanapun juga, masing-masing negara pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk memproteksi pasar dalam negerinya karena memang itulah kepentingannya guna mensejahterakan rakyatnya. Secara logika, penerapan tarif/pajak dan subsidi produksi cukup efektif jika digunakan sebagai alat proteksi agar barang luar tidak masuk ke dalam negeri. Dengan pajak masuk barang dari luar (barang impor) akan menjadi mahal, sedangkan subsidi produksi akan membuat harga barang produksi dalam negeri menjadi murah sehingga dapat bersaing. Sedangkan subsidi ekspor akan membuat barang produksi dalam negeri mampu bersaing di pasar internasional dengan harganya yang murah.

Tidak bisa dipungkiri, seperti yang diungkapkan Gilpin, kaum liberal bisa dianggap telah menang dalam membangun rezim ekonomi internasional saat ini. Negara berbondong-bondong bergabung dengan WTO, dimana WTO merupakan salah satu produk dari Kapitalisme. Kapitalisasi, Liberalisasi dan globalisasi merupakan konsep yang ditawarkan oleh Amerika Serikat usai Perang Dunia II dan Perang Dingin.

Sebenarnya, perdagangan bebas mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dengan adanya penghapusan berbagai hambatan perdagangan antarnegara, terdapat peluang yang besar guna ekspansi produk dalam negeri ke luar negeri. Namun, seiring dengan itu, muncul juga ancaman akan adanya produk luar negeri yang membanjiri pasar dalam negeri jika produk dalam negeri kalah bersaing.

Dalam tulisan ini, saya akan mencoba memberikan contoh fenomena yang terjadi akibat liberalisasi perdagangan ini. Tahun 1994, Indonesia meratifikasi pembentukan WTO. Dengan ratifikasi ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi semua perjanjian yang terkandung di dalamnya, termasuk Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture = AoA) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen WTO. Dalam AoA WTO terdapat tiga pilar utama, yaitu: Akses pasar, Subsidi domestik, dan Subsidi ekspor.

Dengan adanya kewajiban untuk mematuhi kesepakatan AoA-WTO tahun 2012 tersebut, Indonesia harus membuka pasar pertaniannya secara luas tanpa hambatan. Ini sungguh ironi. Negara yang mayoritas (68%) penduduknya menggantungkan diri pada sektor pertanian dengan begitu saja membiarkan komoditas pertanian diliberalisasi. Sejak diberlakukannya kesepakatan tersebut, Indonesia mengalami peningkatan impor pangan. Tingkat ketergantungan impor pangan meningkat dua kali lipat, yaitu beras sebesar 10 persen, jagung 20 persen, kedelai 55 persen, dan gula 50 persen. Dengan demikian, peningkatan impor pangan yang dilakukan sejak tahun 1998 telah meningkatkan jumlah petani dalam negeri kehilangan pekerjaan dan menjadi miskin karena produk pertanian kalah bersaing dengan luar.

Padahal pertanian merupakan pilar utama ketahanan pangan suatu negara dan ketahanan pangan merupakan hal vital dalam ketahanan nasional. Bayangkan jika Indonesia ketahanan pangannya tergantung sama negara lain. Suatu saat jika negara lain tersebut melakukan embargo pangan terhadap Indonesia, apa yang akan kita lakukan? Negara akan lumpuh karena tidak bisa mencukupi kebutuhan vital yakni pangan. Negara sekaya apapun jika ketahanan pangannya tidak kuat, akan mudah dilumpuhkan. Negara sekelas Jepang dan Korea Selatan saja yang notabene tidak mempunyai lahan pertanian luas pun memiliki ketahanan pangan yang kuat, sungguh ironis jika Indonesia yang dianggap “tanah surga” dimana tanahnya yang subur dan bisa ditanamai berbagai jenis tanaman malahan ketergantungan dengan negara lain.

Singkat saya, memang, perdagangan bebas membawa kebaikan bagi kemakmuran global saat ini. Namun, keuntungan tersebut lebih banyak dinikmati oleh negara-negara yang mempunyai kapital (modal) besar. Negara Besar dapat mendirikan perusahaan-perusahaan yang mampu mengelola barang dengan murah dan berkualitas. Kemampuan tersebut didukung dengan adanya penggunaan teknologi tinggi dan dana riset yang besar. Sedangkan negara berkembang seperti Indonesia belum memilikinya. Alhasil, produk luar bisa masuk pasar domestik dengan mudah, sedangkan produk kita sangat sulit masuk ke pasar negara mereka dengan adanya pemberlakuaan standar yang tinggi.

(Faiz Balya Marwan)

--

--