Kabut Asap, Tantangan bagi Tata Kelola Pemerintahan

Fadhil Alghifari
Forum for International Studies
3 min readNov 7, 2015
source: Image

Tahun 2015 menjadi salah satu tahun terburuk bencana asap bagi Indonesia. Setidaknya lebih dari 43 juta jiwa terpapar kabut asap di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Data yang dihimpun dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), World Resources Institute, Center for International Forestry Research, Global Fire Emissions Database dan National Aeronautics and Space Administration (NASA) menunjukkan sebanyak 505.527 jiwa terinfeksi penyakit saluran pernafasan, perkiraan total kerugian mencapai USD 14 miliar, terdapat 115.940 titik api — terbanyak semenjak tahun 2003, dan lebih dari 22.000 personel gabungan diturunkan untuk memadamkan api di lapangan. Lebih mencengangkan lagi, 99% kebakaran lahan disebabkan oleh aktifitas manusia. Dengan kata lain, bencana kabut asap ini adalah hasil dari perbuatan kita sendiri.

Data lain milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyebutkan lebih dari 800.000 hektar hutan dan lahan terbakar di Sumatera yang dihitung dari 1 Juli hingga 20 Oktober 2015. Luas lahan terbakar (hektare) di Sumatera tersebut dihitung di 10 provinsi, antara lain Sumatera Selatan (359.100 ha), Riau (169.119 ha), Jambi (137.853 ha), Lampung (66.176 ha), Bangka-Belitung (48.996 ha), Sumatera Barat (21.161 ha), Bengkulu (5.805 ha), Nanggroe Aceh Darussalam 4.315 ha), Kep. Riau 2.034 ha). Kemudian, Kalimantan dengan luas lahan terbakar mencapai 806.817 hektare. Jumlah tersebut terdiri dari 319.386 hektare lahan gambut, dan 487.431 hektare lahan non-gambut. Provinsi Kalimantan Tengah menyumbang besaran lahan gambut terbakar terbanyak dengan 196.987 hektare. LAPAN memperkirakan sebanyak 2.089.911 hektar luas wilayah Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan selama periode 21 Juni hingga 20 Oktober 2015. Perincian perkiraan tersebut yaitu sebanyak 618.574 hektar merupakan lahan gambut dan 1.471.337 hektar merupakan lahan nongambut.

Sejarah dan Pemerintahan yang Tidak Transparan

Sejarah kebakaran hutan dan lahan dapat dijadikan analisa pola dan perilaku yang menjadi dasar pemikiran untuk melakukan upaya pencegahan di masa mendatang. Sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sejatinya sudah menjadi permasalahan sejak pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini menjadi perhatian yang tertuang dalam beberapa aturan dan pasal. Seperti Ordonasi Hutan untuk Jawa dan Madura tahun 1927, dan dalam Provinciale Bosverordening Midden Java (pasal 14) yang menyebutkan upaya kesiapsiagaan menghadapi musim kebakaran di bulan Mei sampai dengan November dan tata cara penggunaan api atau pembakaran di perbatasan hutan.

Setelah kemerdekaan, kebakaran hutan dan lahan terjadi berulang, bahkan terlihat ada peningkatan jumlah titik api dari tahun ke tahun. Puncaknya tahun 1997/1998, pembukaan lahan ditambah dengan kekeringan dan gelombang panas menyebabkan kebakaran hampir di seluruh pulau Sumatera dan Kalimantan yang mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi serta menelan biaya ekonomi sekitar USD 1.62–2.7 miliar. Asap tebal yang terjadi mengakibatkan lumpuhnya beberapa bandara, pelabuhan dan jalan raya di Sumatera dan Kalimantan sehingga mengganggu roda perekonomian masyarakat.

Sejak tahun 1960-an hingga sekarang, kita dapat melihat pola kebakaran dan asap di wilayah yang sama yakni Kalimantan dan Sumatera. Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah merupakan provinsi-provinsi ‘langganan’ ulah manusia yang tidak bertanggungjawab itu. Jika kebakaran dan bencana asap terjadi berulang di titik yang sama, lalu apakah ada indikasi pembiaran dari pemerintahan setempat atau justru terdapat indikasi tata kelola pemerintahan yang tidak transparan?

Awal tahun 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memulai langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya, yaitu investigasi korupsi di sektor kehutanan. Menurut Pelaksana tugas Wakil Ketua KPK, Johan Budi “Penyimpangan pengelolaan sumber daya kita tidak hanya menyebabkan negara kehilangan banyak uang, tapi juga memiliki imbas sosial yang harus dibayar publik setiap tahun dengan menghirup asap beracun”. Tahun 2014, KPK menangkap mantan Gubernur Riau, Annas Maamun yang menerima uang suap dari pengusaha sawit. Annas pun akhirnya dijatuhi penjara selama enam tahun pada Juni 2015. Tak hanya Annas, KPK juga menangkap mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal, dan dihukum 14 tahun penjara lantaran terbukti menyalahgunakan wewenang dalam penerbitan izin usaha pemanfaatan hutan. Dalam kasus yang sama KPK juga telah menetapkan sejumlah pejabat sebagai tersangka yakni mantan Bupati Pelalawan, Burhanuddin Husin, serta mantan Bupati Siak, Arwin AS.

Berkaca dari kasus yang menimpa sejumlah pejabat tersebut, terdapat pemerintahan yang tidak transparan dalam menangani izin pembukaan hutan dan lahan. Ini tentunya menjadi tantangan terbesar bagi kepala daerah dan pusat — yang menjabat sekarang atau di masa depan — untuk berkomitmen lebih terhadap pemerintahan yang bersih dan transparan, terkhusus di daerah yang menjadi ‘langganan’ kebakaran hutan dan bencana asap.

Bagian II — Legalitas Pembukaan Lahan dan Penegakan Hukum

Bagian III — Bencana Nasional dan Miskoordinasi

Originally posted on Academia

--

--