FAQ masalah hukum penggusuran

Siapa yang melanggar hukum? Korban gusuran atau pemerintah penggusur? Dua ahli hukum menjawab.

Forum Kampung Kota
Forum Kampung Kota
12 min readOct 13, 2016

--

Liarkah mereka? Maling tanah negarakah orang tua mereka yang mewarisi tanah dari orang tua mereka sendiri zaman dulu? Pentas teater musikal Ciliwung Merdeka, yang mementaskan “Ciliwung Larung” di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tanggal 4–5–6 Juli 2011. Sekitar 150 warga Bukit Duri terlibat dalam produksi ini dan 120 naik ke atas panggung. Credit: Ciliwung Merdeka

Tanya: Penggusuran adalah bentuk penegakan hukum yang sudah seharusnya dilakukan setelah pengabaian hukum bertahun-tahun oleh pemimpin sebelumnya. Yang digusur telah menyerobot tanah yang bukan hak mereka. Mereka liar dan ilegal dan layak digusur kan?

Jawaban Vera Soemarwi:

Tiga alasan yang sering digunakan oleh pemerintah dalam menggusur suatu pemukiman warga:

Pertama, penggusuran yang disebabkan oleh sengketa kepemilikan hak atas tanah maupun rumah.

Para pihak yang bersengketa membawa penyelesaian kasusnya ke pengadilan negeri. Setelah pengadilan memutuskan tanah maupun rumah dimenangkan oleh salah satu pihak dan putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap kemudian pemenang diberi hak untuk memohon eksekusi. Permohonan eksekusi berisi permintaan kepada ketua pengadilan negeri, panitera, jurusita, dan meminta bantuan kepada walikota/bupati setempat, Satpol PP, polisi dan militer untuk mengeksekusi atau mengusir paksa pihak yang menguasai rumah dan tanah. Seluruh biaya yang timbul untuk menggusur akan dibebankan kepada pemohon eksekusi.

Kedua, penggusuran yang disebabkan oleh perubahan tata ruang.

Alasan ini sering digunakan oleh pemerintah. Dampak yang dirasakan oleh warga: Pertama, warga dituduh sebagai pelanggar aturan tata ruang. Kedua, dituduh penghuni liar atau warga liar atau penghuni/penjarah tanah negara. Stigma-stigma negatif berdampak sangat buruk bagi warga. Warga akan kehilangan haknya untuk mendapat ganti rugi dan hinaan dilontarkan kepada warga dari pihak lain seperti masyarakat dan media.

UU Tata Ruang (UU No. 26/2007) mengatur beberapa hak warga terdampak. Hak-hak seperti:

  1. mengetahui rencana tata ruang [Pasal 60 huruf a].
  2. berpartisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; pemanfaatan ruang; dan pengendalian pemanfaatan ruang [Pasal 65 ayat (1) dan (2)]
  3. masyarakat berperan aktif dalam perumusan konsepsi rencana konsepsi rencana tata ruang termasuk dalam prosedur penyusunan rencana tata ruang [PP No. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Pasal 7 (4), Pasal 20, dan Pasal 27 (1)].
  4. Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan [UU Tata Ruang Pasal 66 (1)]. Masyarakat berhak untuk mendapatkan ganti rugi bila di lokasi tanah dan rumahnya ada perubahan penataan ruang.

Secara singkat disimpulkan bahwa bila pemerintah akan mengubah tata ruang di suatu wilayah menurut UU Tata Ruang, pemerintah diwajibkan untuk meminta persetujuan dari warga terdampak. Bila warga menyetujui perubahan ruang maka pemerintah harus memberikan ganti untung yang pantas untuk warga selaku pemilik tanah.

Kewajiban untuk membeli tanah dan rumah warganya seringkali diabaikan oleh pemerintah dalam mengubah tata ruang di wilayahnya. Contoh kasus: Kalijodo, Aquarium atau Pasar Ikan, Klender.

Ketiga, penggusuran karena pembangunan jalan raya, jalan tol, normalisasi kali, pembangunan waduk, atau bandara.

Pembangunan tersebut dalam bahasa undang-undang sering disebut pembangunan bagi kepentingan umum. Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan sesuai dengan UU Pengadaan Tanah (UU No. 2/2012). Pelaksanaan pembebasan tanah dan bangunan untuk pelaksanaan proyek harus mengacu pada Peraturan Presiden No. 71/2012. Tahap-tahapnya adalah:

  1. Sebelum pembangunan proyek ditetapkan pemerintah harus berkonsultasi dengan masyarakat pemilik tanah dan rumah.
  2. Bila warga menolak maka pemerintah tidak bisa melanjutkan proyek tersebut.
  3. Bila warga setuju maka ditetapkan berapa nilai ganti untung yang layak bagi tanah dan bangunan warga. Penetapan harga ini harus disetujui oleh kedua belah pihak. Bila warga tidak setuju dengan harga yang ditetapkan oleh panitia penetap harga, maka warga diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan penetapan harga ke pengadilan negeri. Bila ketidaksesuaian harga berlarut-larut maka pemerintah dapat menitipkan harga tanah ke pengadilan (sering disebut dengan istilah konsinyasi).
  4. Sebelum nilai yang disepakati itu diterima di rekening warga, maka pemerintah tidak bisa menggusur warga dari rumah dan tanahnya.

Dalam kasus normalisasi Kali Ciliwung seharusnya Pemerintah DKI Jakarta dan BBWSCC harus melalui langkah-langkah tersebut di atas. Tapi Pemerintah DKI Jakarta justru menyalahkan warga di pinggiran bantaran kali sebagai warga penghuni liar, warga penjarah tanah negara, warga miskin yang mereklamasi sungai, dan segala cap negatif diberikan kepada warga agar Pemerintah DKI Jakarta tidak perlu memberikan ganti rugi yang layak. Warga hanya pantas diberikan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) di Rawabebek, di suatu tempat yang secara ekonomi tidak strategis.

Penggusuran Bukit Duri September 2016. Credit: Ucu Agustin/Widya Narsi

Jawaban Alldo Fellix Januardy:

Menurut Pasal 19 UU No. 5/1960 tentang Aturan Dasar Pokok Agraria, setiap hak atas tanah wajib didaftarkan dan disertifikatkan pada Badan Pertanahan Nasional. Prosedur ini perlu dilakukan baik oleh setiap warga negara ataupun pemerintah yang ingin mengklaim suatu hak atas tanah.

Namun, dalam kasus penggusuran, sukar sekali memberikan stigma “liar” bagi hunian informal yang menduduki suatu tanah. Hal tersebut karena baik pemerintah yang melakukan penggusuran ataupun warga yang menduduki tanah tersebut, sama-sama memiliki basis klaim:

Pemerintah diwajibkan untuk melakukan pendaftaran dan sertifikasi asetnya berupa tanah berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Tetapi dalam banyak kasus penggusuran, pemerintah kerap kali tidak dapat menunjukkan alas hak tersebut dikarenakan buruknya inventarisasi aset pemerintah.

Warga yang telah menduduki suatu tanah dengan itikad baik (rechtsverwerking) (itikad baik, salah satu contohnya, dapat dimaknai dengan membayar PBB, persis seperti kondisi hunian informal di berbagai wilayah di ibukota yang sertifikatnya tidak terbit, tetapi rutin membayar PBB) selama minimal 20 tahun juga dilindungi ketentuan Pasal 1963 dan Pasal 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Ketentuan tersebut memberikan hak bagi warga yang menduduki tanah tersebut untuk mendaftarkan tanahnya, dan apabila masa pendudukan telah melampaui 30 tahun, hak atas tanah tersebut mutlak tidak dapat dituntut pihak ketiga. Namun, mekanisme pendaftaran dan sertifikasi tanah warga atas dasar ketentuan tersebut lazim mengalami hambatan akibat maraknya praktik korupsi di bidang pendaftaran tanah.

Dengan memahami aspek politik hukum dan carut marutnya penegakan hukum pertanahan sebagaimana telah diuraikan di atas, sukar sekali mendefinisikan apakah pendudukan suatu tanah oleh warga dapat secara sederhana dikategorikan sebagai “pendudukan liar”. Sehingga, idealnya, pembuktian legalitas hunian informal yang diklaim oleh pemerintah wajib terlebih dahulu melalui proses peradilan.

Tanya: Ada argumen yang mengatakan tanah negara boleh untuk rakyat. Apa maksudnya? Bukankah pemerintah baik pusat dan daerah lebih berhak memanfaatkan tanah negara tinimbang rakyatnya?

Jawaban Vera Soemarwi:

Dengan dasar bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” [Pasal 33 (3) UUD 1945 jo UU No. 5/1960 UUPA Pasal 1 (2)].

Terantum dalam UUPA Pasal 2 ayat (2), hak menguasai negara memberikan wewenang untuk:

  1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
  2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang-angkasa.
  3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Wewenang negara untuk menguasai bumi, air dan ruang angkasa untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tercantum dalam UUPA Pasal 2 ayat (3). Hak menguasai negara dapat dikuasakan kepada daerah dan masyarakat menurut UUPA Pasal 2 ayat (4).

UU telah memberikan hak kuasa negara kepada pemerintah dan masyarakat. Negara harus mendistribusikan dan memberikan hak atas tanah kepada masyarakatnya. Tujuan pemberian hak menguasai atas tanah kepada masyarakat agar masyarakat dapat sejahtera dan makmur dalam menggunakan tanahnya. Sejauh penggunaan tanah tidak bertentangan dengan UU dan kepentingan umum.

Bila masyarakat telah menguasai tanah selama 20 tahun dan tanah tersebut tidak dalam sengketa (tanah dalam keadaan bebas) maka pemerintah wajib memberikan hak atas tanah kepada masyarakat itu [PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 24 ayat 2]:

Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan syarat :

a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.

b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

Pemerintah tidak berhak menguasai seluruh tanah-tanah di Indonesia. Pemerintah selaku pelaksana UU harus menjalankan UU. Pemerintah berdasarkan UU berkewajiban untuk memberikan tanah-tanah di Indonesia demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Penggusuran warga Rawajati, Jakarta Selatan, 1 September 2016. Credit: Liputan6.com/Immanuel Antonius

Jawaban Alldo Fellix Januardy:

Terminologi “tanah negara” yang kerap dijadikan landasan mutlak bagi pemerintah untuk memperoleh kepemilikan dari suatu tanah yang sedang diduduki oleh warga sesungguhnya sama sekali tidak dikenal di dalam hukum agraria.

Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 5/1960 tentang Aturan Dasar Pokok-Pokok Agraria hanya mengatur tentang “hak menguasai negara”, yaitu negara diposisikan sebagai pemberi wewenang untuk:

  1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
  2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
  3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Seluruh pelaksanaannya diatur di dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang agraria. Tetapi, negara tidak memiliki hak mutlak untuk mengklaim sebuah tanah tanpa prosedur yang sah.

Klaim pemerintah atas tanah nirsertifikat sebagai “tanah negara” sesungguhnya didasarkan pada hukum kolonial yang sudah tidak berlaku lagi, yaitu konsep Domein Verklaring pada ketentuan Agrarisch Wet/Besluit 1870 (AB 1870). Ketentuan ini dahulu memberikan wewenang bagi Gubernur Jenderal di bawah pemerintahan kolonial untuk secara sepihak merampas tanah yang diduduki oleh warga dengan alasan ilegal.

Prof. Boedi Harsono (Alm.), Guru Besar Hukum Agraria Universitas Trisakti, dalam Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya mengutarakan bahwa pasal Domein Verklaring sesungguhnya “merampas hak-hak masyarakat” sehingga hendaknya tidak diterapkan lagi pada hukum agraria modern.

Penggusuran di Pasar Ikan, April 2016. Credit: Tribunnews.com/Irwan Rismawan

Tanya: Warga yang digusur ada yang mengaku punya sertifikat atau dokumen lainnya. Tapi tetap digusur. Apa dasar hukum pemerintah melakukannya?

Jawaban Vera Soemarwi:

Bila melihat pada ketiga alasan penggusuran yaitu: sengketa kepemilikan, perubahan tata ruang, pembangunan untuk kepentingan umum maka masyarakat selaku pemilik tanah yang mempunyai sertifikat tetap bisa digusur.

Bila pemilik sertifikat digusur dengan alasan kalah di pengadilan maka pemilik sertifikat harus rela memberikan tanah dan bangunannya tanpa ada ganti rugi.

Bila pemilik sertifikat digusur karena perubahan tata ruang dan pembangunan untuk kepentingan umum maka pemilik sertifikat berhak untuk mendapatkan ganti untung. Penetapan harga tanah ditentukan oleh tim penilai tanah dengan ketentuan harga pasar. Pemilik sertifikat atas tanahpun mungkin bisa digusur dengan alasan-alasan tersebut karena tanah-tanah di Indonesia mempunyai fungsi sosial.

Jawaban Alldo Fellix Januardy:

Tidak ada satupun ketentuan hukum yang membenarkan penggusuran atas tanah yang memiliki alas hak, kecuali dilakukan dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang patut melewati serangkaian syarat ketat sebagaimana diatur di dalam ketentuan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang mewajibkan adanya musyawarah dan mekanisme penilaian independen terkait dengan harga tanah tersebut agar diberikan ganti rugi sesuai dengan harga pasar.

Penggusuran yang dilakukan terhadap tanah bersertifikat tanpa melalui mekanisme tersebut justru dapat dikenakan sanksi pidana, misalnya Pasal 167 ayat (1) KUHP (memasuki pekarangan rumah orang lain tanpa izin) atau Pasal 170 ayat (1) KUHP (pengrusakan barang).

Tanya: Dalam kasus Bukit Duri di Jakarta Selatan pemerintah daerah DKI Jakarta tetap menggusur meski sedang ada gugatan di PN Jakarta Pusat. Apakah tindakan pemerintah DKI bisa dibenarkan? Toh kebanyakan warga Bukit Duri sudah pindah sukarela. Mengapa harus mendengarkan yang hanya sekian puluh keluarga jika yang ratusan sudah pindah?

Jawaban Vera Soemarwi:

Tindakan Pemerintah DKI Jakarta dalam melakukan penggusuran di Bukit Duri jelas melanggar UUD 1945 Pasal 1 (3) yang menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Setiap tindakan pemerintah (UU Administrasi Pemerintahan/UU No. 30/2014) harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, tidak melanggar hak asasi warga negaranya dan tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Tindakan Pemerintah DKI Jakarta dalam menggusur warga Bukit Duri di mana kasus normalisasi sedang diperiksa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tata Usaha Negara jelas melanggar UUD 1945 dan UU Administrasi Pemerintah. Ketua Majelis Hakim di PN Jakarta Pusat dan PTUN menghimbau agar Pemerintah DKI tidak menggunakan kekuasaannya secara semena-mena untuk menggusur warga Bukit Duri. Penggusuran itu harus menunggu sampai proses pemeriksaan di kedua pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 16/1984 jelas memerintahkan kepada gubernur untuk tidak melakukan sesuatu apapun terhadap tanah dan rumah (status quo) yang sedang berproses di pengadilan sampai ada keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Meskipun hanya ada satu orang yang keberatan terhadap kebijakan pemerintah, maka pemerintah tidak dapat melanjutkan kebijakan tersebut. Hak satu orang tidak bisa dikorbankan untuk hak yang lebih banyak.

Tanya: Akhir-akhir ini ada wacana geser bukan gusur, penataan bukan perataan. Bukankah hal itu seperti memberi angin bagi para pelanggar hukum? Bukannya dihukum kok malah dilegalkan? Jakarta akan makin kacau dong.

Jawaban Alldo Fellix Januardy:

Melakukan penataan partisipatif bersama warga yang menduduki hunian informal justru sejalan dengan semangat Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia berdasarkan UU No. 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Pasal 11 Kovenan Ekosob (dan Komentar Umum No. 7/1997 tentang Penggusuran Paksa) mengatur bahwa penggusuran hendaknya dijadikan solusi yang benar-benar terakhir terhadap masalah perkotaan karena berpotensi melanggar hak-hak dasar warga, seperti hak atas tempat tinggal, hak atas rasa aman, hak atas perlindungan harta benda, kesamaan di hadapan hukum, hak atas pendidikan bagi anak-anak warga terdampak, dan sebagainya. Terlebih, resolusi Komisi HAM PBB No. 2004/28 menyatakan bahwa penggusuran paksa termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.

Namun, apabila penggusuran benar-benar harus dilaksanakan karena tidak ada jalan lain, mekanismenya pun harus memenuhi serangkaian syarat ketat sebagai berikut:

Pra Penggusuran:

  1. Pemerintah wajib menjelajahi semua kemungkinan alternatif selain pelaksanaan penggusuran.
  2. Melakukan konsultasi, audiensi, dan musyawarah yang tulus kepada publik, beserta masyarakat yang akan terkena dampak.
  3. Melakukan penilaian terhadap dampak penggusuran secara holistik dan komprehensif, dan memperhitungkan dampak kerugian materil dan immateril yang akan dialami oleh warga terdampak.
  4. Membuktikan bahwa mekanisme penggusuran sudah tidak bisa dihindarkan lagi.
  5. Memberikan surat pemberitahuan dalam bentuk tertulis dengan lengkap dengan menguraikan alasan-alasan yang rasional tentang rencana penggusuran
  6. Memastikan bahwa tidak ada orang yang akan kehilangan tempat tinggal.
  7. Menjamin terlebih dahulu akan adanya alternatif tempat tinggal yang memadai, yakni tempat tinggal yang dekat dengan lingkungan tempat warga terdampak bermata pencaharian.

Saat Penggusuran:

  1. Memberikan surat pemberitahuan dalam bentuk tertulis dengan lengkap dengan menguraikan alasan-alasan yang rasional tentang rencana penggusuran.
  2. Memastikan bahwa tidak ada orang yang akan kehilangan tempat tinggal.
  3. Menjamin terlebih dahulu akan adanya alternatif tempat tinggal yang memadai, yakni tempat tinggal yang dekat dengan lingkungan tempat warga terdampak bermata pencaharian.

Pasca Penggusuran:

  1. Ada alternatif solusi pindah ke tempat tinggal baru yang menjamin kualitas hidup yang setidaknya sama baiknya, atau lebih baik, dari tempat tinggal warga terdampak sebelumnya.
  2. Ada pemulihan sesuai dengan ketentuan hukum bagi warga terdampak.
  3. Ada bantuan hukum yang disediakan bagi warga yang ingin menuntut kompensasi setelah penggusuran dilaksanakan.
  4. Warga terdampak yang sedang sakit atau terluka harus mendapatkan penanganan kesehatan terbaik yang disediakan oleh pemerintah.
  5. Tempat tinggal baru harus sesuai dengan standar HAM, yaitu: (1) kepastian hukum mengenai status kepemilikan (ada sertifikat); (2) sarana prasarana (sanitasi, listrik, air) yang memadai; (3) harga rumah yang terjangkau; (4) tempat yang patut untuk ditinggali (ruang cukup menampung keluarga, dapat melindungi dari dingin/panas/hujan/angin, bebas dari wabah penyakit, aman dan nyaman; (5) aksesibel dan aman, termasuk bagi kelompok rentan (disabilitas, perempuan, anak); (6) akses terhadap lapangan pekerjaan, pelayanan kesehatan, sekolah, tempat bermain anak, dan fasilitas sosial lain; (7) memenuhi kelayakan budaya (misal: ciri khusus desain, cukup tempat untuk melaksanakan ritual adat.)
Suasana Rusun Komaruddin di Cakung, Jakarta Timur pada Oktober 2015. Rusunawa di Kelurahan Penggilingan ini banyak ditinggalkan warga karena hampir roboh dan tidak terawat. Credit: Liputan6.com/Gempur Surya

Berdasarkan laporan LBH Jakarta tahun 2015, mayoritas penggusuran yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara nyata melanggar syarat-syarat tersebut karena tidak dilakukan dengan musyawarah (84%), melibatkan aparat yang tidak berwenang seperti TNI (67%), dan tidak memberikan solusi apapun kepada warga terdampak (67%).

Menurut penelitian dari Deden Rukmana yang berjudul The Change and Transformation of Indonesian Spatial Planning after Suharto’s New Order Regime: The Case of the Jakarta Metropolitan Area “kekacauan” tata ruang yang terjadi di wilayah ibukota justru lebih disebabkan karena penyalahgunaan tata ruang untuk pembangunan mal dan apartemen (penelitian mencatat setidaknya 9.701 acre atau 3.925 hektar daerah hijau disalahgunakan sepanjang tahun 1985–2005, belum termasuk bila menghitung pelanggaran pada tahun-tahun berikutnya). Padahal, menurut Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Tata Ruang, wilayah kota diwajibkan memiliki minimal 30 persen ruang terbuka hijau.

Daftar perubahan tata ruang dari ruang hijau ke properti komersil. Sumber: Deden Rukmana, 2015

Korban penggusuran yang dituduh sebagai “ilegal” dan “penyebab banjir” sesungguhnya adalah korban nyata dari ketidakadilan tata ruang di ibukota. Memperlakukan mereka dengan tidak manusiawi, seperti menggunakan pendekatan penggusuran paksa, adalah cerminan kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin kota.

Vera Soemarwi adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara dan kuasa hukum warga Bukit Duri.

Alldo Fellix Januardy adalah pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.

--

--