Rumah-rumah Tanpa Pintu

Sri Suryani
Forum Kampung Kota
Published in
13 min readOct 28, 2016

Assalamualaikum. Wr. Wb.

Terima kasih atas kehadiran saudara-saudara sekalian pada hari ini di kampung kami Bukit Duri.

Kampung pinggiran kota Jakarta yang tumbuh dan berkembang dari beragam suku dan budaya.

Kampung pinggir kali yang erat sekali dengan stigma miskin dan kotor, bahkan stigma itu dipakai mereka untuk meratakan kampung kami dalam waktu dekat ini.

Seperti sudah kita ketahui bersama, kampung ini akan bernasib sama dengan kampung tetangga kita, Kampung Pulo. Tapi ancaman itu tidak membuat kami mundur mempertahankan kampung. Caranya? Bukan dengan bom Molotov, bukan pula dengan panah berapi… tapi dengan potensi warga kampung.

Kampung kami bersatu menyatukan suara, kami bersatu membulatkan tekad… bahwa Bukit Duri adalah satu!

Bersatu kami teguh dan kami sadar bercerai kami akan runtuh!

Diadakannya pasar rakyat kali ini adalah bentuk persatuan kami. Potensi di bidang ekonomi, sosial, budaya, kami hadirkan disini. Bukti bahwa kami adalah manusia berbudaya, manusia yang harusnya dimanusiakan. Bukan diusir semena-mena tanpa perikemanusiaan.

Kampung kota kami punya.

Kampung Bukit Duri adalah salah satu kampung berbudaya di Jakarta yang berhak tentukan nasibnya sendiri. Harapan saya semoga pasar rakyat kali ini tidak menjadi pasar rakyat terakhir di kampung ini. Amin…

Wabilahi taufik walhidayah

Wassalam..

Sanik Setyowati (Ketua panitia Pasar Rakyat 2016. Warga Bukit Duri. 1 April 2016)

Setelah Kampung, Sebelum Rumah

Air pasang Ciliwung baru saja surut sekitar pukul sembilan pagi, tapi semangat warga Bukit Duri menggelar Pasar Rakyat tak turut surut. Pintu-pintu rumah terbuka, sapu lidi dan pengki cekatan menghela air saat berduyun-duyun warga membersihkan lantai dasar dan jalan depan rumah. Panggung yang mulanya tergenang itu kembali hidup oleh tawa canda anak-anak. Para pemuda sigap mengecek kondisi sound system.

Selama tiga hari, gelaran ekspresi budaya berupa wisata kuliner, pertunjukan musik, pentas tari anak-anak, hingga stand up comedy meramaikan kampung Bukit Duri. Warga menjajakan kuliner dan kerajinan tangan di depan rumah di bawah naungan tenda karya tim arsitek dan peneliti kampung dari ASF Bandung. Pada gelar budaya tahunan tersebut, mereka mengadakan diskusi tentang tata ruang dan kebijakan publik terkait rencana normalisasi sungai, dan juga workshop penataan pemukiman. Bersama dengan tim arsitek dan perencana, warga merancang bagaimana desain rumah yang diinginkan berdasarkan hasil pemetaan kampung. Pertanyaan untuk membangun diskusi antara warga sungguh sederhana: Apa yang akan hilang? Apa yang ingin dibangun bersama?

Gerbang masuk Pasar Rakyat Bukit Duri 2016
Suasana kampung saat Pasar Rakyat Bukit Duri 2016
Suasana diskusi dalam perencanaan permukiman warga Bukit Duri
Presentasi hasil workshop desain perancangan permukiman warga Bukit Duri

Mereka tak butuh banyak persiapan untuk menyulap koridor kampung menjadi festival budaya. Hampir setiap rumah di Bukit Duri merangkap tempat usaha dan sosialisasi. Di sepanjang Jembatan Tongtek hingga Kampung Melayu, berbagai usaha skala rumah tangga seperti kedai makanan, toko kelontong, pembuatan sapu, pemotongan ayam, jasa laundry, hingga sablon kaos membuat kehidupan di kampung ini berdenyut 24 jam. Berjalan menelusuri kampung Bukit Duri perlukan pemahaman kritis di luar stigma kumuh dan ‘liar’ yang sering menghantuinya dalam wacana penguasa, media, atau obrolan keseharian. Namun, apa yang sesungguhnya terjadi di sana? Di balik deretan rumah yang sangat rapat ini, ada jaringan sosial dan ekonomi dengan riwayat yang panjang dan tak lepas dari pembentukan kota.

Embrio kampung Bukit Duri telah muncul sejak abad ke-17 saat Mesteer Cornelis, seorang misionaris dari Pulau Banda, menguasai pemanfaatan lahan perkebunan di Jatinegara hingga Cipinang. Para pekerja perkebunan mendiami area tepi Sungai Ciliwung yang merupakan sumber air dan transportasi barang masa itu. Pertumbuhan Bukit Duri dan Kampung Pulo semakin pesat seiring berkembangnya Pasar Mester dan Jatinegara sebagai salah satu pusat ekonomi Jakarta.

Transaksi kuasa akan tanah pun bergulir. Sebagian tanah permukiman milik Mesteer Cornelis diwariskan kepada para pekerja dari generasi ke generasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya warga Bukit Duri dan Kampung Pulo yang memegang surat pengakuan kepemilikan berupa verponding (penguasaan tanah sebelum adanya negara Indonesia). Penyebaran aset tanah dan rumah tiap keluarga juga terbentuk secara spasial. Bu Sa’diah, generasi ke tiga keluarga Betawi yang tinggal di Bukit Duri, misalnya, memiliki rumah dan berbagi petak tanah dengan lima saudaranya dalam satu nama kepemilikan. Dengan demikian, ikatan sosial dan ekonomi pada kampung ini adalah kerja keras membangun kepercayaan antara warga selama bertahun-tahun.

Kini, lebih dari 300 keluarga hidup di kampung Bukit Duri dengan keseharian layaknya warga Jakarta lainnya. Mereka menetap di sana turun temurun, memiliki KTP, terdaftar dalam struktur administrasi negara seperti RT/RW, aktif membayar tagihan PLN, dan PBB. Sebagian warga membagi-bagi ruang rumah dengan ukuran lebih kecil untuk disewakan pada buruh harian yang bekerja di Pasar Mester Jatinegara.

Saat kebutuhan perumahan begitu tinggi karena derasnya arus perpindahan orang, jutaan warga yang mencari penghidupan di Jakarta membangun rumah secara swadaya (self-help) sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi yang mereka miliki. Pertumbuhan perumahan tak lepas dari transformasi kota, sirkulasi modal, dan ekspansi ruang bagi kapitalisme. Di satu sisi, Jakarta membutuhkan asupan tenaga kerja untuk memutar ekonomi kota. Di sisi lain, tumbuh kembangnya permukiman kota yang pesat tak mampu direspon pemerintah dengan penyediaan perumahan untuk mendukung perputaran ekonomi tersebut. Secara skalatis, kampung Bukit Duri adalah satu potret permukiman yang tumbuh secara organik, mandiri dengan modal sosial-ekonomi, dan tak lepas dari pertumbuhan ekonomi Jatinegara, serta kota Jakarta.

Menyadari kemandirian yang telah mereka pupuk bertahun-tahun, warga ingin menegaskan kembali potensi dan identitas kolektif mereka dengan Pasar Rakyat. Dalam pidatonya, Bu Sanik tidak hanya menekankan hal itu, tetapi juga keteguhannya untuk membuka pintu dialog dengan pemerintah. Namun, itu tetap tidak dapat menghalau pertanyaan yang menghantui mereka: Apakah ini Pasar Rakyat terakhir?

Pintu Partisipasi

Akhirnya, pertanyaan itu terjawab pada tragedi hari Rabu pagi. Di pertigaan Jembatan Tongtek, dimana pernah berdiri gapura bambu Pasar Rakyat, sosok-sosok warga yang biasa tersenyum tampak tegang.

Dari balik rontek, spanduk bertuliskan ‘Bukit Duri Menggugat’-‘Rakyat Bermartabat Pejabat Bermuslihat’-‘Dari Bukit Duri ke Balai Kota dan Istana’ dipasang, dan menjadi latar senandung perjuangan memenuhi udara. Derap langkah barisan berseragam yang datang dari arah SMA 8 memecah keheningan pagi. Satu, dua, tiga rombongan. Wajah-wajah mereka tetap kaku, dingin, diam seribu bahasa saat para ibu menyerahkan bunga sebagai simbol aksi damai menggugat penggusuran. Backhoe menderu, merayap, sigap memasuki jalan masuk kampung, didahului dan diikuti oleh ratusan aparat kepolisian dan brimob yang mendekat, merapat.

Betapapun tegarnya aksi damai ini, para bapak dan ibu mulai gentar, ingin melihat keadaan rumah mereka di dalam kampung. Dalam ratap sendu, warga menyanyikan Indonesia Tanah Air Beta, di saat atap-atap mulai runtuh. Gejolak emosi mulai memuncak di ubun-ubun. Beberapa warga hampir nekat menerobos penjagaan polisi untuk menghentikan mesin raksasa yang menghancurkan rumah mereka. Dimana posisi pemerintah yang bertugas melindungi masyarakat?

Janji bahwa kita adalah satu bangsa, satu bahasa, dan satu negara tidak serta merta bermakna pengambilan keputusan dari penguasa dan suara dominan. Sungguh ironis melihat bendera merah putih yang tertancap di atap-atap rumah diturunkan bersama dengan rumah yang rata dengan tanah. Satu per satu. Di antara lautan manusia, genderang turut bertalu-talu menyuarakan satu pesan: ketidakadilan.

Sejak sosialisasi yang dilakukan bulan April, warga Bukit Duri telah kecewa dengan satu-satunya pilihan yang ditawarkan Lurah dan Camat: relokasi ke Rusunawa Rawa Bebek. “Rayuan rumah palsu!” ujar Bu Betty, salah satu warga. Ia mengecam tertutupnya negosiasi yang seharusnya dilakukan pemerintah berdasarkan Undang-Undang №2 Tahun 2012 tentang Penyediaan Tanah untuk Pembangunan dan Kepentingan Umum.

“Kami tidak tertipu. Rumah susun itu kontrakan, hanya dua tahun. Lantas, kami diminta memberikan bukti kepemilikan tanah dan rumah kepada Lurah untuk ditukar dengan kunci kontrakan. Itu sama saja dengan membiarkan kami dirampok.”tegas ibu single parent dengan empat anak itu. “Biarpun sederhana, rumah ini hasil jerih payah saya mencari uang, [ini adalah hasilnya] di samping untuk makan dan menyekolahkan anak-anak saya.”

Bersama dengan 150 keluarga lainnya, Bu Betty menggugat solusi yang ditawarkan pemerintah melalui gugatan class action di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 7 Juni 2016. Tujuan gugatan ini sangat serderhana: mencegah penggusuran dan membuka mediasi di pengadilan.

Penggusuran terjadi dalam proses pengadilan

Apa yang terjadi pada tanggal 28 September 2016 menggedor pertanyaan bagaimana pemerintahan kita masih belum mampu mengakomodir perbedaan suara dalam pengambilan keputusan publik. Di tengah lansekap terik, sengat panas, deru debu, dan geram backhoe, lautan manusia hiruk pikuk menyelamatkan apa yang bernilai dari reruntuhan. Bu Betty tergopoh-gopoh melangkah menuju Mushola As Sa’adah. Wajahnya kalut dengan mata merah basah, tampak putus asa.

“Saya mau lihat rumah saya dirobohkan!” pungkasnya tegas saat saya minta ia mundur menjauhi backhoe yang mulai mendekat. Rumah kayu sederhana di samping mushola itu, seperti telah menjelma sebagai anaknya yang lain. Keinginan menyaksikan saat-saat terakhir mendera setiap warga yang telah menghidupi kampung itu bertahun-tahun. “Orang miskin kalian gusur, orang korupsi kalian bela! Buat apa ada negara! Bubarkan negara!” jerit nestapa salah seorang warga menyaksikan gemuruh rumah yang yang hancur satu demi satu.

Koridor Kampung Bukit Duri sebelum penggusuran
Koridor Kampung Bukit Duri sesudah penggusuran

Paska penggusuran di Bukit Duri, lebih dari 300 keluarga terusir dari rumahnya. “Di Rawa Bebek, mungkin orang bisa dapat tempat tinggal, tapi bukan tempat untuk hidup.” tegas Bu Ratna, warga Bukit Duri. Ia menolak tawaran rumah susun sewa (rusunawa) yang berlokasi 16 km dari kampung Bukit Duri dan dielu-elukan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta ‘memanusiakan’ warga. Ikatan sosial-ekonomi yang telah terbangun antara Kampung Bukit Duri dan Kampung Pulo, Sungai Ciliwung, serta Kawasan Jatinegara, Tebet, dan Kampung Melayu, tercerai-berai akibat keputusan sepihak dari pemerintah.

“Rumah kami dirampas, lalu kami diminta bayar setiap bulan, di saat kami juga kehilangan pekerjaan. Lihat saja nasib warga Kampung Pulo sekarang. Mereka terpaksa tinggal di rusunawa karena rumah di bantaran sudah ngga ada. Yang lain malah balik lagi, numpang di rumah saudaranya di Kampung Pulo.” ia menambahkan. Pilihan warga untuk pindah ke rusunawa berujung pada ketidak pastian. Keputusan menggusur dan merelokasi permukiman di tepi sungai Ciliwung ke rumah susun sewa tidak menciptakan kondisi yang setara bagi pihak yang terlibat. Pintu negosiasi terkunci rapat. Melalui jalur hukum di pengadilan, warga Bukit Duri terus menggugat.

Rumah-rumah Tanpa Pintu

Unit rusunawa disegel karena tunggakan tagihan sewa

“Masalah kami hanyalah rumah susun. Saya sudah bilang sama Bu Ika, tahun depan harus bangun 50 ribu rumah susun. Tahun ini 20 ribu, tahun depan 50 ribu. Tiap tahun bangun 50 ribu unit.” — Basuki Tjahaja Purnama, saat menelusuri Sungai Ciliwung, 18 Mei 2016. (Sumber: cnnindonesia.com)

Rusunawa menjadi mega-proyek pemerintah pusat dan DKI Jakarta sejak tahun 2014, seiring dengan pembebasan lahan warga untuk proyek pembangunan dinding beton dan pelebaran Sungai Cliwung sepanjang 19 km. Pertumbuhan ini signifikan dibanding era Jokowi di tahun 2013, dimana penggusuran dan relokasi dilakukan ke rusunawa yang telah dibangun sejak awal tahun 2000 namun dibiarkan kosong, seperti Rusunawa Marunda dan Rusunawa Pinus Elok.

Pola yang digunakan masih sama: stigmatisasi warga sebagai penghuni liar, pemukiman kumuh, menduduki tanah negara, anti-pembangunan, lantas memposisikan pemerintah sebagai pahlawan yang memberikan rumah yang layak. Pemilihan kata yang digunakan untuk membuat label subjek ini muncul dalam pemberitaan berbagai media massa.

Dalam jangka waktu setahun, dua tahun, fokus pemberitaan jatuh pada mekanisme relokasi, rencana pembangunan rusunawa, dan jumlah keluarga yang dipindahkan. Beberapa media kritis memberitakan kondisi kehidupan warga paska penggusuran, terjadinya praktik penyewaan ke pihak luar karena warga tidak sanggup membayar, dan tingginya tunggakan sewa akan berujung pada pengusiran warga dari rusunawa. Satu aspek krusial yang minim dibicarakan adalah landasan dari rumah itu sendiri: pengadaan tanah dan jaminan bermukim.

Dalam sejarah, kebijakan perumahan akan selalu melekat dengan agenda regenerasi kota. Housing Act 1949 menjadi landasan perbaikan permukiman kumuh di kota St Louis, Amerika Serikat, dengan merelokasi warga miskin ke kompleks rusunawa bernama Puitt Igoe di tahun 1956. Tujuan riil dari relokasi ini adalah memperbaiki wajah kota dan meningkatkan nilai properti tanah untuk menggiatkan investasi. Segregasi ras, krisis ekonomi, dan pembangunan berlandaskan infrastruktur dan kegagapan pengelolaan bangunan menciptakan praktik vandalisme dan stigma kriminalitas di dalam dan sekitar rusunawa. Pada tahun 1972, kompleks perumahan seluas 22,8 hektar itu akhirnya dihancurkan oleh pemerintah.

Kasus perumahan massal juga dilakukan oleh pemerintahan SBY-JK dalam proyek 1000 menara rumah susun yang menggandeng pengembang pada tahun 2006. Dalam jangka waktu tiga tahun, proyek rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) itu gagal karena tidak tepat sasaran, bahkan beberapa kini berubah menjadi apartemen.

Dalam dua kasus tersebut, kebijakan perumahan cenderung melihat warga miskin sebagai objek yang ‘dimanusiakan’, dan akhirnya malah menjadi alat mengontrol mereka. Cara kerja kebijakan perumahan massal masih sama; pendekatan produksi suplai unit rumah berdasarkan target, bukan berdasarkan demand dari warga yang memiliki aspirasi dan kebutuhan rumah. Kita disilaukan dengan kemegahan bentuk arsitektur rumah dan pencapaian target pembangunan, lantas melupakan tujuan dan proses arsitektur itu sendiri. Rumah adalah proses panjang pemenuhan kebutuhan dasar untuk mengembangkan kualitas hidup.

Pembangunan Rusunawa Pasar Rumput (Sumber: jakarta.go.id)

Skema partisipasi menjadi kunci berhasil atau tidaknya kebijakan perumahan dalam mengatur siapa dan bagaimana jaminan bermukim dan berkehidupan dirancang dengan penataan ruang. Spektrum partisipasi ini memiliki level yang berbeda, dari bottom-up hingga top-down. Konsep land sharing dan konsolidasi tanah adalah salah satu bentuk negosiasi dimana tingkat partisipasi warga dalam memetakan ruang dan perhitungan aset dilakukan dengan intensif dan mendalam.

Dibandingkan dengan relokasi, penataan setempat dalam konsep konsolidasi tanah dan land sharing membuka peluang terbukanya dialog antara pihak yang berkepentingan. Jika negosiasi terakhir adalah relokasi karena kendala daya dukung lingkungan, pemerintah perlu membuka skema kerja sama pemanfaatan aset tanah di lokasi yang dekat dengan permukiman warga. Landasan hukum konsep ini dijamin dalam PP №68 tahun 2010 tentang Partisipasi Warga dalam Perencanaan Tata Ruang dan Permen PU №17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRW). Proses partisipasi memberikan posisi tawar yang setara bagi warga yang terlibat dalam pembangunan sebagai pemangku kepentingan kebijakan publik.

Saat Jokowi menjabat Gubernur pada tahun 2013, langkah dialog untuk warga Bukit Duri sudah dilakukan. Bahkan, warga Bukit Duri telah bersedia berbagi ruang dengan mengajukan konsep penataan permukiman tepi sungai. Ada tim arsitek yang mendampingi warga untuk merancang dengan landasan pemetaan kondisi kampung dan aspirasi warga akan hunian barunya. Sebagai kompensasi, warga bersedia tinggal di permukiman berkepadatan tinggi yang dikelola oleh koperasi, dan diinisiasi oleh warga.

Pada proses rancang bangun inilah tercipta jembatan antara pemerintah dan warga Bukit Duri. Strategi bernama ‘Kampung Susun’ itu adalah contoh praktik penataan setempat dalam bentuk land sharing. Konsep pembangunan permukiman ini sudah lama dilakukan oleh negara lain, seperti Thailand dengan program Baan Mankong (secure housing), atau Kamboja, Bangladesh, dan Nepal dengan terbentuknya Community Development Fund (CDF). Perumahan berbasis koperasi juga bukan hal baru, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia di tahun 1950-an. Yang perlu digali dan dirumuskan adalah skema administrasi dan pengelolaan permukiman berbasis warga yang tergabung dalam koperasi, serta pengembangan sosial-ekonomi yang ingin diwujudkan bersama.

Rusunawa, dengan bayangan sejarah dan prakteknya saat ini, masih berupa rumah-rumah tanpa pintu. Rumah-rumah ini memanjakan logika dengan angka jumlah unit dan pembangunan fisik, namun abai terhadap emansipasi warga akan jaminan bermukim. Warga miskin membangun kehidupan di kampung melalui proses sosial, ekonomi, dan politik yang panjang. Ikatan spasial warga terhadap rumah dan kampungnya dalam proses membangun kehidupan yang berlangsung sejak lama tak dapat dinilai dan ditukar dengan unit sewa. Sistem nilai ini akan muncul dalam proses dialog dan negosiasi bersama warga yang merumuskan kesepakatan atas nilai materi dan imateri kampung mereka.

Dengan adanya proses pemetaan masalah dan potensi kampung, maka pengetahuan lokal, sejarah, dan nilai-nilai kolektif dalam kampung muncul dan menjadi modal sosial dalam pembangunan. Posisi warga, arsitek, perencana, pendamping warga, dan aparat pemerintah adalah setara dalam berbagi pengetahuan, peran, dan tanggung jawab. Dengan skema kolaborasi ini, perspektif pembangunan bersifat multidimensi.

Partisipasi menggarisbawahi pentingnya metode dalam proses perumusan masalah, bukan melompat praktis pada pengambilan keputusan dan kesimpulan. Keterlibatan warga Bukit Duri dalam dalam merencanakan dan merancang permukiman untuk membangun proses kreatif bermukim di kota. Warga, yang juga penerima penghargaan City Changer dari Kementrian PU PR ini, memerlukan kolaborasi dengan pihak lain dalam mewujudkan mimpi kota yang demokratis dan berkelanjutan.

Emansipasi Bermukim: sebuah perspektif awal

“Kementrian PUPR berencana membangun Rusun Sewa tingkat tinggi dengan jumlah anggaran Rp. 5,786 triliun dalam kontrak tahun jamak mulai tahun 2016 hingga 2018.” –Chirst Robert Marbun, Direktur Rumah Susun Ditjen Penyediaan Perumahan Kementrian PUPR, 3 Mei 2016. (Sumber: Liputan6.com)

Bu Sanik, Betty, Bu Ratna menyuarakan keadaan aktual di lapangan mengenai pilihan-pilihan sulit di tangan 34.000 keluarga yang terkena imbas proyek normalisasi sungai Ciliwung. Pertanyaan yang selalu muncul: mungkinkah kita membangun tanpa menggusur?

Pos RT 8 Bukit Duri paska penggusuran
Pos RT 8 saat upacara peringatan 17 Agustus 2016

Apa yang dihadapi dan diupayakan oleh warga Bukit Duri sesungguhnya sederhana; keinginan untuk mewujudkan kehidupan bermukim dan perbaikan infrastruktur kota yang lebih baik. Akses tanah dan rumah adalah modal paling dasar yang dimiliki warga miskin yang terkena imbas program normalisasi Ciliwung. Relokasi ke rusunawa hanya satu dari skema-skema kebijakan perumahan dan konsep penataan ruang. Dengan target pembangunan rusunawa di tahun 2017, pemerintah memposisikan penggusuran dan relokasi sebagai satu-satunya keputusan yang harus diambil. Proses perancangan partisipatif, serta pengelolaan koperasi perumahan tengah dilakukan oleh warga Bukit Duri yang kini menggugat pemerintah atas hilangnya pintu partisipasi dalam pembangunan.

30 hari paska penggusuran, warga Bukit Duri dengan teguh terus menuntut keadilan. Dalam sidang pada hari Selasa tanggal 18 Oktober 2016, kuasa hukum warga telah membacakan materi gugatan berisi latar belakang, sejarah, pelanggaran hukum, dan tuntutan kewajiban yang harus dilakukan pemerintah selaku tergugat. Pengadilan memberikan waktu tiga minggu untuk tergugat memberikan jawaban atas gugatan tersebut. Sementara itu, semangat juang warga masih terus membara.“Kita optimis menang.”tegas Bu Santi, warga Bukit Duri. “Saat ini warga mempersiapkan diri untuk kelanjutan permukiman melalui koperasi yang sedang berjalan.”ia menambahkan dengan lugas. Apa yang diperjuangkan warga Bukit Duri adalah hak dasar berjuta warga negara Indonesia yang berlaku juga untuk kita semua, sehingga patut dicatat dan mendapat tempat.

28 Oktober 2016

Sri Suryani melaporkan dari Bukit Duri, Jakarta.

Catatan:

Terima kasih kepada Pak Sandyawan Soemardi, Yusni Aziz, Bosman Batubara, Indrawan Prabaharyaka, Ivana Lee, dan Devil Rinaldo, serta para warga yang bersuara dalam perjuangan. Refleksi ini disempurnakan berkat tanggapan kritis dari mereka.

Untuk studi lanjutan tentang kebijakan perumahan, partisipasi bermukim dan desain partisipatif, dapat membaca Housing By People karya John Turner, Self-help housing: a critique karya Peter M. Ward, Rethinking Informal City: Critical Persperctives from Latin America karya Felipe Hernandez, Housing The Margin: Perumahan Rakyat and The Future Urban Form of Jakarta karya Abidin Kusno, Spatial Agency: Other Ways of Doing Architecture dan Architecture Depends karya Jeremy Till.

--

--

Sri Suryani
Forum Kampung Kota

belajar menterjemahkan ruang hidup melalui arsitektur dan kota. INTP. sketchwalker.