Chaos Theory: Melihat Wajah Alam yang Sebenarnya
Di paruh kedua abad ke-20, teori chaos mendadak melejit di lingkup kesadaran para akademisi dengan banyaknya konferensi dan jurnal yang digelar mengenainya, serta secara khusus, di antara kesadaran khalayak umum. Arcadia (1993), drama karya Tom Stoppard yang kerap dianggap sebagai salah satu karya fiksi-sains terbaik sepanjang masa, membawa tema tentang menemukan keteraturan dalam kekacauan,banyak meminjam gagasan yang berasal dari teori ini. Dalam film Jurassic Park (1993), Jeff Goldblum memerankan tokoh legendaris Dr. Ian Malcolm, seorang pakar teori chaos yang dipekerjakan sebagai konsultan di taman dinosaurus bernasib naas tersebut.
Teori chaos tak hentinya memukau masyarakat luas dengan kompleksitasnya. Ilustrasi Himpunan Mandelbrot masih membuat siapapun yang melihatnya kagum dengan penampilannya nan khayali dan struktur yang rumit serta bagaimana di dalamnya terkandung gambar dirinya yang identik, bagaikan rantai mikrokosmos yang berulang tanpa henti.
Alam semesta pun penuh dengan chaos. Ia berada dimana-mana, dari pergerakan awan asap hingga Bintik Merah Raksasa Jupiter, dalam simulasi megah fenomena alam nan rumit yang hanya mungkin dilakukan dengan komputer, maupun persamaan sederhana yang bisa diamati dengan sebuah kalkulator saku dan sedikit waktu senggang.
Ini merupakan fenomena unik dalam sejarah matematika dimana keyakinan mutlak bahwa kita memahami secara utuh hakikat semua abstraksi logika yang kita rumuskan menjadi runtuh. Selama berabad-abad lamanya, barangkali sejak awal sejarah matematika, matematikawan bersikeras bahwa matematika “serius” adalah ilmu logika formal — ia membakukan intuisi, membangun abstraksi dari aturan-aturan logis yang dilandaskan oleh persepsi. Chaos menunjukkan bahwa terdapat beberapa hal yang kita ciptakan tetapi perilakunya tidak sepenuhnya kita pahami. Hal ini kembali menghidupkan sisi eksperimental dalam matematika. Alih-alih membangun teorema di atas teorema, matematikawan bermain-main dengan fungsi, memvisualisasikannya di komputer, dan mengamati bagaimana merekaberkembang.
Dalam matematika, gagasan chaos erat kaitannya dengan bidang ilmu sistem dinamis yang menyimulasikan fenomena alam dengan sebuah sistem (baca: sekumpulan) persamaan diferensial yang menggambarkan perkembangan setiap komponennya seiring waktu. Salah satu sifat dasar chaos adalah “Efek Kupu-Kupu” yang sudah tidak asing terdengar, sebuah jargon yang seringkali dipakai sebagai metafora “ketergantungan sensitif terhadap kondisi awal”. Serupa dengan ungkapan “kepak sayap kupu-kupu di Brazil boleh jadi menyebabkan angin ribut di Texas,” jika suatu sistem dengan sifat chaos dijalankan dengan dua kondisi awal berbeda, sekecil apapun perbedaannya, seiring waktu perbedaan tersebut akan membesar sedemikian rupa sehingga kedua kondisi awal tersebut akhirnya memberikan masa depan yang sangat berbeda. Seperti yang disimpulkan oleh salah satu pionirnya, masa kini menentukan masa depan, tapi mengetahui hampiran masa kini tidak memberi kita hampiran masa depan.
Sejarah teori chaos dapat ditelusuri kembali ke abad ke-19, dalam karya matematikawan Henry Poincaré mengenai n-body problem di bidang fisika astronomi dan karya Littlewood-Cartwright mengenai osilator Van der Pol di bidang elektromagnetik. Meskipun demikian, secara umum, ketertarikan luas terhadap teori chaos dipantik oleh seorang meteorolog yang sedang mendalami ilmu prakiraan cuaca.
Pada 1961, ahli meteorologi dan matematikawan, Edward Lorenz, menjalankan simulasi yang memodelkan pergerakan atmosfer di komputer. Ketika mengamati metode statistik yang digunakan untuk memprediksi cuaca saat itu, ia menyadari bahwa semua faktor bersifat linier, meskipun ia mengetahui bahwa cuaca hakikatnya adalah sistem yang nonlinier. Dalam kisah yang kini terkenal, suatu hari ia memutuskan untuk menghentikan komputernya beberapa saat dan meneruskannya lagi kemudian. Ini berarti Lorentz harus mencetak hasil simulasi terkini, dan baru kemudian memasukkannya kembali. Akan tetapi, nasib berkata lain. Ketika mencetak hasil simulasi, komputer membulatkan angka yang dihasilkan — ketika seharusnya angkanya 0.9407, komputer menampilkan 0.941 — sehingga nilai yang dimasukkan Lorenz sebagai input berbeda sebesar tiga per sepuluh ribu, perbedaan yang sangat kecil dengan nilai yang sebenarnya tetapi namun menghasilkan cerita yang sangat berbeda.
Akibatnya, angka berikutnya yang dihasilkan oleh simulasi, meskipun pada awalnya serupa, berakhir jauh dari yang diperkirakan Lorenz. Selisih kecil tersebut tidak akan membuat perbedaan dalam model prakiraan linier sehingga model tersebut tidak bisa memprediksi cuaca dalam jangka panjang. Tanpa disengaja, Lorenz telah menemukan chaos dalam simulasi kecilnya, walaupun ia belum memiliki nama untuk fenomena ini.
Lorenz kemudian menelaah fenomena ini lebih jauh dalam makalahnya, “Deterministic Nonperiodic Flow” (Aliran Deterministik Non-Periodik). Kali ini ia menggunakan model yang telah disederhanakan dengan hanya tiga komponen. Dalam salah satu hasil yang ia tunjukkan, Lorenz memplot pergerakan suatu titik terhadap waktu dalam ruang fasa, yakni ruang dengan nilai keadaan peubahnya dipetakan ke ruang tersebut. Pergerakan titik tersebut tampak mengelilingi dua titik (disebut atraktor dalam bahasa matematika) dengan cara yang misterius, pertama mengelilingi titik pertama, lalu berpindah ke titik kedua, kemudian bergantian mengelilingi kedua titik tanpa adanya pola yang jelas. Lama-kelamaan, lintasan yang ditempuhnya secara tak terduga mulai membentuk sebuah motif besar, seakan sepasang sayap kupu-kupu yang terbentang. Inilah awal mula dari nama Butterfly Effect.
Sayangnya, penemuan matematika yang sedemikian penting ini tersembunyi dalam sebuah jurnal meteorologi selama hampir sepuluh tahun, sebelum akhirnya sampai ke tangan seseorang yang menghargai penemuan yang signifikan tersebut. Terinspirasi olehnya, matematikawan James A. Yorke mempelajari hal ini lebih jauh dan menjadi orang pertama yang menggunakan istilah “chaos” dalam makalahnya, “Period Three Implies Chaos” (Periode-Tiga Berarti Kekacauan).
Hampir secara bersamaan, beberapa perkembangan lain dalam teori chaos juga berlangsung. Ahli dinamika fluida, David Ruelle dan Floris Takens, menemukan bentuk atraktor baru. Sistem atraktor tersebut tidak menuju ke suatu titik tetap maupun bergerak dalam suatu pola konstan, tetapi ia akan tetap berada di dalam suatu daerah di dekat titik tersebut selamanya. Mereka menyebut atraktor tersebut “strange attractor” (atraktor aneh). Apakah atraktor Lorentz termasuk jenis tersebut telah menjadi pertanyaan tak terselesaikan untuk kurun waktu yang cukup lama sebelum akhirnya Warwick Tucker, matematikawan dari Australia berhasil memecahkannya pada tahun 2002.
Selain model diferensial, suatu area studi yang berkembang dalam teori chaos adalah teori iterasi. Teori ini berhubungan dengan dinamika suatu fungsi yang secara berulang diaplikasikan pada dirinya sendiri. Dengan melakukan ini, dapat dilihat bahwa persamaan sederhana sekalipun dapat menghasilkan perilaku yang rumit. Salah satu orang pertama yang membicarakan ini adalah ahli ekologi Robert May yang menulis makalah “(Model Matematika Sederhana dengan Dinamika Sangat Rumit)” pada tahun 1976.
Secara khusus, May sedang mempelajari persamaan beda (persamaan diferensial yang disederhanakan) dari persamaan logistik, yaitu model sederhana untuk menyimulasikan dinamika populasi. Persamaan tersebut berbentuk seperti: berikut.
Cara kerja persamaan ini cukup sederhana. Tetapkan suatu laju pertumbuhan populasi r. Pilih suatu bilangan antara 0 dan 1 sebagai populasi awal x₀. Substitusikan ke dalam persamaan kita untuk mendapatkan x₁. Substitusikan x₁ ke dalam persamaan untuk mendapatkan x₂, demikian seterusnya.
Selanjutnya, kita tentu ingin mengetahui apa yang terjadi pada nilai x apabila n menjadi yang sangat besar. Secara intuitif, jika rterlalu kecil, yaitu kurang dari 1, tentunya nilai xakan terus mengecil hingga mencapai 0 yang berarti populasi punah. Jikar berada di antara 1 dan 3, (xₙ) akan konvergen ke suatu bilangan positif. Sedangkan, apabila r sedikit saja lebih besar dari 3, keadaan menjadi menarik. Pada kasus ini, (xₙ) tidak lagi konvergen ke suatu nilai, melainkan mengitari 2 nilai. Kita menyebut kasus ini sebagai “bifurkasi”. Ketika r sedikit lebih besar lagi, siklus tersebut “terbelah” sehingga dan pergerakan x mengitari 4 titik. Begitu pula seterusnya. Jadi, dimana kekacauannya? Rupanya, ketika rmendekati 4, (xₙ) nampak tidak konvergen lagi, melainkan selalu mengambil nilai yang berbeda. Nilai populasi terus berubah tanpamengikuti pola yang jelas. Kita bisa memplot perilaku ke dalam sebuah diagram bifurkasi.
Pada tahun 1986, fisikawan matematis Mitchell Feigenbaum mempelajari persamaan ini hanya dengan bantuan kalkulator saku. Ia menemukan dua konstanta yang mendasari diagram tersebut. Pertama, ia menyadari bahwa laju bifurkasi menurun secara geometris sehingga bifurkasi berikutnya terjadi sekian kali lebih cepat dibandingkan sebelumnya, tepatnya bernilai =4.669201609…ketika dihitung secara numerik. Kedua, ia menemukan sebuah konstanta pada rasio geometris lainnya di antara lebar suatu “cabang” dengan cabang sebelumnya. Konstanta ini bernilai =502907…. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa pada nilai r yang besar, nilai x menjadi chaos; seiring meningkatnya r bifurkasi terjadi semakin cepat sehingga akhirnya bertabrakan satu sama lain, menghilangkan semua pola yang jelas.
Terakhir, penemuan terbesar Feigenbaum menunjukkan bahwa tampaknya perilaku fungsi dan konstanta αdan tersebut berlaku untuk setiap pemetaan dengan bentuk dasar yang sama dengan pemetaan logistik, yakni pemetaan unimodal. Sebagaimana adalah konstanta yang mendefinisikan bentuk lingkaran, konstanta-konstanta Feigenbaum mendeskripsikan secara tepat perilaku diagram bifurkasi yang chaotic dan misterius.
Jadi, apa faedahnya? Penemuan ini menunjukkan bahwa dalam kasus nonlinear, bahkan persamaan sederhana yang sepele seperti pemetaan logistik di atas dapat memunculkan perilaku yang liar nan ajaib yang menentang akal sehat dan intuisi. Akan tetapi, melalui desain aneh yang tersembunyi di dalam garis-garis yang anarkis dan tidak teratur ini, terdapat keteraturan yang misterius, semacam aturan universal yang mendasarinya semuanya.
Meskipun demikian, masih terdapat pertanyaan yang belum terjawab: bagaimana perilaku chaos muncul dan apa penyebabnya? Tentunya, ketaklinieran adalah bagian besar dari jawabannya, tetapi apa yang mendasari fenomena ini? Menjawab pertanyaan ini akan mengantar kita ke dalam cabang baru dari ilmu geometri, membuka jalan bagi kita untuk melihat alam dengan cara baru.
Pada rentang waktu yang sama ketika Feigenbaum terlibat dengan pemetaan logistik, ada orang lain yang juga mempelajari fungsi iterasi dengan pendekatan yang berbeda dan rasa yang sedikit berbeda.
Benoit Mandelbrot, seorang matematikawan Perancis-Polandia nan gigih di IBM, sedang meneliti fungsi rekursif bernilai kompleks f(z) = z2 +cyang bermula dari 0. Dengan kata lain, barisan bilangan kompleks c, c2+c, (c2+c)2+c,…yang serupa dengan pemetaan kuadratik, seperti yang diselidiki Feigenbaum. Mandelbrot ingin mengidentifikasi semua nilai cyang setelah sekian banyak iterasi akhirnya konvergen ke satu titik.
Dengan perangkat matematika yang tersedia saat itu, menyelesaikan pekerjaan ini secara langsung menjadi mustahil — kerumitan persamaannya tumbuh secara eksponensial sehingga dengan setiap iterasi baru mengakibatkan penyelesaiannya semakin sukar. Akan tetapi, dengan menghitung setiap titik secara manual, kita bisa membuat tebakan kasar. Dengan mengamati perubahan nilainya selama sekian iterasi, kita bisa menyimpulkan apakah ia konvergen atau tidak.
Dengan bantuan prinsip ini dan kemampuan kalkulasi komputer, Mandelbrot mewarnai titik-titik yang konvergen dengan warna hitam kemudian mencetaknya. Hasilnya, meskipun tidak semenakjubkan versi yang kita ketahui saat ini, tidak lain merupakan Himpunan Mandelbrot yang terkenal.
Himpunan Mandelbrot adalah contoh terkenal dari fraktal, padanan geometris dari pemetaan logistik yang cenderung mengulang diri sendiri. Suatu fraktal dimulai dengan bentuk dan aturan sederhana, yang kemudian ditransformasi sesuai dengan aturan tersebut. Terapkan aturan tersebut terus-menerus, dan kita akan mendapat sesuatu seperti gambar di bawah ini.
Aplikasikan aturan tak hingga kali, akan terbentuk sebuah bentuk yang self-similar, yakni bentuk yang dibangun dari versi miniatur dirinya sendiri. Pada tak terhingga, kita mendapatkan benda-benda yang nampak ganjil, seperti segitiga dalam segitiga, lingkaran dalam lingkaran, Himpunan Mandelbrot dalam Himpunan Mandelbrot, dan seterusnya — objek yang self-similar.
Ternyata fungsi yang dipelajari oleh Mandelbrot pada dasarnya adalah fungsi yang serupa dengan pemetaan logistik yang dipelajari May dan Feigenbaum. Perbedaannya, fungsi logistik memiliki domain bilangan riil. Oleh karena itu, Himpunan Mandelbrot — dan sebagai akibatnya geometri fraktal secara keseluruhan — terikat erat dengan studi teori chaos. Dalam hal pemetaan logistik dan Himpunan Mandelbrot, ahli teori chaos secara khusus tertarik pada bifurkasi dan daerah padanannya di Himpunan Mandelbrot, yakni daerah “kemunculan kekacauan.” Pada Himpunan Mandelbrot, hal ini berarti daerah di dekat tepian fraktal dimana level divergensinya bervariasi dengan luas, tingkat kekacauannya, sementara keteraturan memudar. Hubungan semacam ini dipelajari lebih jauh dalam studi tentang fractal basin boundaries.
Penutup: Studi Teori Chaos di Masa Kini
Penemuan tentang chaos berdampak besar, baik bagi ilmu matematika maupun ilmu pengetahuan alam. Ia mengajari kita bahwa kemampuan menyederhanakan alam menjadi bentuk paling sederhana dan platonik serta mengambil aturan dasarnya tidak selalu cukup untuk memahami alam semesta dengan komponen-komponennya yang selalu berinteraksi satu sama lain menghasilkan kompleksitas yang tak ada habisnya. Pada saat yang sama, penelitian tentang chaos menghasilkan kemajuan besar di bidang teori sistem dinamis dan merintis berbagai cabang matematika baru, seperti geometri fraktal, fractal basin boundaries, teori iterasi, dan masih banyak lagi. Geometri fraktal, yang tumbuh bersama-sama dengan teori chaos, memberikan kita suatu sudut pandang yang lebih tepat dalam memahami wujud semesta dengan bentuk dan pola rumit nan indah yang tak akan pernah bisa dideskripsikan oleh abstraksi dingin dari geometri Euclid.
Sejarah ilmu chaos memang kaya dan unik. Ia penuh dengan kisah tentang kegigihan, tentang penemuan ilmiah di tempat yang tak terduga, tentang perjalanan ilmuwan yang dikritik “aneh” dan “penyendiri” oleh komunitasnya, namun yang pada saat bersamaan juga diyakini bahwa mereka telah menghasilkan sebuah penemuan besar dan penting. Setidaknya, melegakan bagi kita untuk mengetahui bahwa usaha mereka tidak sia-sia. Walaupun penelitian mengenai hal ini tidak lagi dianggap sebagai satu cabang ilmu tersendiri, chaos kini diakui sebagai salah satu bagian tak terpisahkan dari semesta. Dunia kini mempunyai kemampuan untuk memahaminya.
Ini tidak berarti penelitian dalam bidang teori chaos telah selesai. Chaos masih menyimpan banyak misteri yang belum terpecahkan. Peneliti masih terus mempelajari cara untuk meminimalkan dan memprediksi perilaku chaos dalam sistem. Sesekali, pendekatan baru diciptakan untuk mencoba memahami perilaku chaotic, misalnya melalui pendekatan statistik/probabilitas yang digunakan untuk mencoba mendapatkan sifat dasarnya. Pada 2018, Edward Ott, Jaideep Pathak, dan tiga peneliti lainnya menggunakan pendekatan pembelajaran mesin (machine learning) bernama reservoir computing untuk memprediksi nilai persamaan Kuramoto-Sivashinsky, suatu sistem persamaan diferensial yang memodelkan api. Mereka dan berhasil mendapatkan akurasi yang cukup tinggi untuk periode waktu yang cukup panjang tanpa mengetahui persamaan itu sendiri.
Secara keseluruhan, penemuan-penemuan ini menunjukkan pada kita suatu sifat mendalam dan rumit dari semesta yang digambarkan dalam bentuk gambar abstrak hasil simulasi berdasarkan persamaan matematika. Penemuan-penemuan tersebut menerangi jurang pemahaman kita terkait interaksi yang ada di alam maupun dalam sistem matematika. Interaksi-interaksi tersebut mungkin secara dasar mengikuti aturan yang jelas dan sederhana. Namun, sesuatu yang mengikuti aturan yang jelas dan sederhana sekalipun juga dapat menghasilkan pola yang sungguh kompleks. Dengan mengapresiasi dan mempelajari chaos, mungkin kita akan lebih mampu memahami luasnya semesta dan mekanisme yang mendasarinya.
Sebagai penutup, berikut sebuah penggalan naskah Arcadia yang dirasa Penulis dapat merangkum pembahasan kita ini.
“Kita lebih mampu memprediksi apa yang terjadi di tepian galaksi maupun di dalam inti atom dibandingkan menebak apakah akan hujan saat arisan tante tiga minggu ke depan. Karena ternyata ia keduanya adalah masalah yang berbeda. Bahkan kita tidak bisa memprediksi tetesan berikutnya dari keran ketika keran tersebut meneteskan air secara tidak teratur. Setiap tetesan air mengubah keadaan untuk tetesan berikutnya, perubahan terkecil sekalipun menggagalkan usaha meramalnya. Begitu pula cuaca yang tidak dapat diprediksi dengan alasan yang sama. Ketika kamu memasukkan angka-angkanya dalam komputer, kamu bisa dapat melihatnya di layar. Masa depan adalah ketakteraturan. Pintu seperti ini telah terbuka lima atau enam kali sejak pertama kali umat manusia berjalan di atas dua kaki. Ini saat paling baik untuk hidup, ketika hampir semua yang kau pikir kau ketahui ternyata keliru.”
— Tom Stoppard, Arcadia.
Artikel ini diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh Naufal Aushaf.