01 Agama : Logika atau Kepercayaan?

Gamais ITB
Gamais ITB
Published in
8 min read1 day ago

Pernahkah kamu bertanya, “Apakah Tuhan benar-benar ada? Atau itu cuma omong kosong belaka? Selama ini, cuma percaya yang diajarkan oleh agama. Tapi, apakah agama itu benar-benar nyata dan bukan akal-akalan manusia?”

Apakah pertanyaan tersebut sudah mendapatkan jawabannya? Atau malah hanya menjadi pertanyaan tanpa jawaban? Terlebih lagi mendengar perkataan, “Jangan dicari, nanti bisa gila! Cukup dipercaya lewat hati aja.”

Emang iya?

Apa yang menjadi pembeda antara manusia dan hewan?

Perbedaan antara manusia dan hewan terletak pada akal. Tanda seseorang memiliki akal adalah ia bisa mempertanyakan sesuatu. Misalnya, jika tiba-tiba ada orang yang tidak kita kenali memberi kita makanan. Secara otomatis kita akan bertanya-tanya, “Kamu siapa? Ini makanannya buatku? Apa tujuan kamu ngasih aku makanan?” Berbeda dengan kucing yang tidak pernah bertanya-tanya dalam situasi yang serupa.

Namun, akal manusia bukan hanya berfungsi untuk mempertanyakan hal-hal remeh seperti makanan. Ada hal yang lebih krusial lagi yang dapat dipertanyakan oleh akal seperti refleksi mendalam mengenai kehidupan.

“Bagaimana alam semesta ini bisa ada? Bagaimana aku bisa tercipta?”

Sungguh aneh jika kita hidup sekadar hidup. Sungguh aneh apabila semua ini tercipta secara kebetulan semata. Bahkan, Roger Penrose, seorang fisikawan terkenal, mengatakan bahwa kemungkinan alam semesta tercipta adalah 1/1¹⁰^¹²³ [1].

Kemungkinan yang amat kecil ini mendorong kita untuk mencari penjelasan yang lebih mendalam, seperti yang dijelaskan oleh Avicenna melalui argumen kontingensi [2].

Argumen kontingensi menyatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini tidak mandiri dan selalu memerlukan sesuatu yang lain untuk ada. Oleh karena itu, harus ada satu entitas yang eksistensinya tidak bergantung pada apapun yang menjadi sumber dari segala sesuatu.

Jika kita melihat alam semesta dengan lebih dekat, kita dapat melihat bagaimana setiap hal memerlukan sesuatu yang lain untuk eksis dan bertahan. Misalnya, kita membutuhkan makanan untuk bertahan hidup, pohon memerlukan air untuk pertumbuhannya, dan planet bergantung pada bintang untuk mengorbit. Setiap elemen dalam alam semesta tampaknya bergantung pada elemen lain untuk eksistensi dan kelangsungannya.

Namun, jika setiap elemen di alam semesta ini membutuhkan elemen lain, maka kita akan menghadapi rantai ketergantungan yang tidak ada habisnya.

Bayangkan jika setiap ibu memiliki ibu, dan seterusnya. Kita pun akan bertanya, “Di mana rantai keterhubungan ini berakhir? Siapakah wanita pertama yang tidak dilahirkan oleh ibu? Bagaimana dia bisa ada? Siapakah yang mengawali penciptaannya?”

Kita akan terus mempertanyakan titik awalnya. Sebab, jika tidak ada titik awal yang memulai keberadaan segala sesuatu, kita akan terjebak dalam lingkaran ketergantungan yang tak berujung.

Avicenna mengusulkan konsep necessary existence, yaitu entitas yang eksistensinya tidak tergantung pada apa pun di luar dirinya. Ini adalah entitas yang harus ada dan menjadi dasar bagi keberadaan segala sesuatu. Konsep ini memberikan titik awal yang kita cari untuk menjelaskan keberadaan dan menopang seluruh alam semesta.

Dengan adanya necessary existence ini, kita dapat memahami bahwa ada sesuatu yang mutlak dan mandiri. Entitas ini yang menjadi sumber dari semua yang ada. Dan entitas ini, tidak tergantung pada apa pun.

Necessary existence inilah yang kita sebut sebagai Tuhan, yang merupakan awal dari segala sesuatu dan memberikan eksistensi serta keteraturan bagi alam semesta.

Ketika kita bermain lego, kita membutuhkan manual instruction untuk mengetahui cara merakitnya. Salah merangkai sedikit saja, maka lego yang sudah kita susun pun akan hancur berantakan.

Source

Keliru dalam merangkai bisa menghancurkan lego, apalagi jika merangkai tanpa manual instruction. Tanpa petunjuk, pasti banyak kesalahan yang akan terjadi.

Lalu, muncullah pertanyaan, “Hal seremeh lego aja ada manual instruction-nya. Apakah manusia juga punya manual instruction?”

Kita bukan sekadar benda; kita jauh lebih kompleks karena memiliki kebutuhan fisik, emosional, dan intelektual. Jika benda buatan manusia memerlukan manual instruction, manusia tentu lebih memerlukannya. Oleh karena itu, adalah hal yang mustahil jika Tuhan tidak menyediakan petunjuk hidup untuk kita.

Apalagi setelah kita meyakini keberadaan Tuhan, sering kali muncul pertanyaan mendalam: “Apa tujuan Tuhan menciptakanku? Apakah hidupku hanya untuk menjalani rutinitas sehari-hari dan kemudian mati begitu saja?” Pertanyaan ini semakin mendorong kita untuk menemukan manual instruction dari Tuhan.

“Terus gimana cara nyari manual instructionnya?”

Kita bisa mencarinya lewat agama. Sebab, agama mengklaim bahwa agama membawa ajaran dari Tuhan. Apalagi ketika kita melihat ajaran agama yang berisi kebaikan. Bukankah mencari manual instruction di agama adalah pilihan yang tepat?

Namun, berita-berita seperti ini malah membuat skeptis dengan agama.

Source

Meskipun agama banyak mengajarkan kebaikan, bisa saja hal itu sengaja dibuat agar menarik perhatian orang. Dengan cara ini, agama dapat menarik banyak pengikut. Setelah seseorang mempercayai agama, pemimpin agama pun berperluang memanfaatkan kepercayaan tersebut untuk kepentingannya sendiri.

“Agama itu sempurna, manusianya yang tidak sempurna. Jangan salahkan agamanya, tapi salahkan orangnya.”

Namun, dengan banyaknya kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh pemuka agama, kita pun jadi bertanya-tanya: apakah masalah ini benar-benar hanya karena manusianya atau ada masalah dengan ajarannya? Menjadi skeptis terhadap agama karena penyalahgunaan kekuasaan memang wajar, tetapi menolak agama secara keseluruhan mungkin bukan keputusan yang bijaksana.

Kita memang dapat berpikir menggunakan akal, tetapi akal terbatas dan hanya dapat mengolah informasi yang kita miliki. Meskipun observasi berguna, pertanyaan tentang asal-usul alam semesta, keberadaan Tuhan, dan tujuan hidup sulit untuk dijawab dengan cara ini karena berada di luar jangkauan pengetahuan kita.

Demikian juga, kita bisa memahami banyak hal fisik dengan sains, tetapi sains terbatas dalam menjawab pertanyaan metafisik tentang “mengapa” sesuatu ada. Filsafat dapat memberi argumen logis, tetapi sering kali tidak dapat dipastikan kebenarannya. Meditasi membuat kita berpikir mendalam, namun sangat subjektif dan sulit diverifikasi.

Analoginya tuh gini. Kita tiba-tiba tersesat di dalam hutan. Kita baru pertama kali ke hutan itu. Jadi, kita ga punya informasi apa pun.

Lalu, di tengah hutan kita menemukan peta yang memberi petunjuk untuk keluar dari hutan!

Meskipun kita ngga tau peta itu valid atau ngga, seengganya lebih baik mengikuti peta dibanding berjalan tanpa arah karena ngga punya informasi.

Begitu juga dengan kehidupan kita di dunia ini. Daripada terus-terusan berusaha mencari jawaban atas makna kehidupan seorang diri. Akan lebih baik apabila kita berusaha mencari jawaban dari sumber lain karena akal kita terbatas.

Di sinilah agama dapat memainkan peran penting. Agama mengklaim memiliki wahyu dari Tuhan. Wahyu ini mengatasi keterbatasan akal dengan memberi informasi yang berada di luar jangkauan pengetahuan dan observasi akal manusia.

Skeptis terhadap agama memang wajar, tetapi langsung menganggap agama itu salah sama dengan mengabaikan sumber yang sangat berpotensi memberi jawaban atas pertanyaan kita. Pada akhirnya, meskipun akal kita terbatas, mengandalkan agama sebagai sumber informasi yang lebih tinggi dapat memberikan petunjuk yang lebih jelas dan bermakna.

Jadi, meskipun bukti nyata bahwa agama merupakan kebenaran belum ada, agama tetap menawarkan panduan yang dapat membantu kita memahami keberadaan hidup kita. Dengan demikian, merupakan pilihan bijak untuk menjadikan agama sebagai salah satu kemungkinan sumber dari manual instruction yang diberikan oleh Tuhan.

Namun, dalam proses pembuktian agama sebagai sumber manual instruction, kita harus tetap menjaga kekritisan akal agar tidak dapat diperdaya oleh klaim tidak berdasar.

Terdapat banyak agama di dunia, masing-masing mengenalkan Tuhan dengan cara yang berbeda. Lalu, bagaimana kita bisa mengetahui agama mana yang benar-benar sesuai dengan Tuhan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa mengacu pada paradigma pemikiran René Descartes, yaitu Cartesian Skepticism [3].

Cartesian Skepticism adalah konsep yang meragukan semua hal yang kita percayai untuk menemukan kebenaran yang tidak terbantahkan. Artinya, kita harus meragukan segala sesuatu terlebih dahulu untuk memastikan bahwa pengetahuan yang kita peroleh benar-benar valid dan berdasarkan kriteria yang jelas, bukan hanya sekadar kepercayaan tanpa landasan.

Sebagai contoh, kita memiliki kumpulan telur yang ingin digunakan untuk memasak. Setelah mengambil salah satu telur, ternyata telur tersebut busuk. Ketimbang memecahkan telur satu persatu untuk mengetahui kesegarannya, lebih baik melakukan seleksi terhadap semua telur.

Pada kasus ini, kita dapat mengaplikasi Cartesian Skepticism dengan cara meragukan semua kondisi telur dan melakukan filtrasi dengan suatu parameter basis yang dapat membantah keraguan kita.

Telur busuk akan mengapung di air. Hal ini terjadi karena ketika telur membusuk, gas seperti hidrogen sulfida terbentuk dan menambah volume di dalam telur. Selain itu, air dan cairan dari dalam telur keluar melalui cangkang yang berpori sehingga membuat telur menjadi lebih ringan. Karena telur yang busuk mengandung lebih banyak udara dan gas, massa jenisnya jadi lebih rendah daripada air, sehingga telur busuk pun mengapung.

Pada kasus ini, kita dapat menjadikan telur mengapung atau tidak sebagai parameter dalam membantah keraguan kita. Dengan begitu, kita bisa melakukan filtrasi dengan menggunakan parameter tersebut. Kita pun tinggal menenggelamkan seluruh telur dan dengan mudah menemukan telur yang segar dan busuk.

Jika dikaitkan dengan pencarian agama yang benar, kita bisa menerapkan prinsip Cartesian Skepticism dengan meragukan semua keyakinan agama yang kita miliki dan mencari kebenaran dengan parameter basis yang objektif.

Ada dua parameter utama yang bisa digunakan untuk menjadi basis kebenaran suatu agama:

  1. Instruksi Jelas dan Firman Tuhan (Kitab Suci): Agama harus memiliki kitab suci yang memberikan instruksi jelas mengenai kehidupan. Semakin jelas dan komprehensif instruksi yang diberikan, semakin besar kemungkinan bahwa agama tersebut benar. Sebagaimana pencarian kita tadi, tidak mungkin Tuhan menciptakan kita tanpa petunjuk yang jauh lebih jelas dibanding petunjuk lego. Kitab suci juga menjadi suatu elemen yang diperlukan karena diklaim sebagai firman langsung dari Tuhan, sehingga didalamnya perlu terdapat klaim pembuktian kebenarannya yang membantah keraguan kita seperti foreknowledge.
  2. Sosok Pembimbing dan Penerima Wahyu (Nabi) : Selain kitab suci, agama perlu memiliki sosok pembimbing yang diakui membawa wahyu dari Tuhan. Walaupun kitab sucinya sama, penafsiran bisa berbeda-beda. Sosok pembimbing membantu dalam memahami wahyu dengan benar dan memberikan legitimasi serta otoritas pada ajaran agama tersebut. Anggap saja seperti hubungan mahasiswa dengan dosen, agar tidak ada kesalahpahaman mahasiswa pada buku rujukan, maka diperlukan dosen yang terkualifikasi untuk meluruskan pemahaman mahasiswa tersebut saat mengajar.

Dengan menggunakan kedua parameter ini, kita dapat melakukan evaluasi kritis terhadap berbagai agama. Kita dapat meragukan terlebih dahulu semua keyakinan yang ada, kemudian melakukan eliminasi dengan memeriksa keberadaan kitab suci dan sosok pembimbing dalam setiap agama. Melalui proses ini, kita berusaha menemukan agama yang memberikan instruksi paling jelas dan memiliki sosok pembimbing yang paling layak dipercaya.

Referensi :

[1] Dari buku The Emperor’s New Mind yang ditulis oleh Roger Penrose
[2] Is This The Best Argument For God’s Existence?
[3] Cartesian Skepticism — Neo, Meet Rene: Crash Course Philosophy #5

Dengan semua ini, kita belum menemukan jawaban pasti. Namun, bukankah lebih baik kita mencoba mencari manual instruction hidup kita daripada berjalan tanpa arah? Lalu, bagaimana perjalanan kita dalam menentukan agama yang benar? Mari kita lanjutkan pencarian ini di episode berikutnya!

--

--

Gamais ITB
Gamais ITB

Keluarga Mahasiswa Islam ITB | #TransformasiProgresif