Antara Takdir dan Pilihan

Gamais ITB
Gamais ITB
Published in
3 min readSep 30, 2023

Oleh Khansa Adilla Reva (STI 2022)

Pernah nggak, sih, terlintas pertanyaan, “Untuk apa aku capek-capek kerja keras? Kan, semuanya sudah ditakdirkan. Kalau nyatanya memang nggak ditakdirkan untuk aku, mau sekeras apapun usaha yang aku lakukan, tetap aja nggak bakalan dapat, kan? Jadi, apa gunanya berusaha?”

Mungkin juga pernah terlintas pertanyaan, “Kalau Allah Maha Tahu, berarti Allah udah tau dong, aku bakal masuk surga atau neraka. Jadi, aku nggak punya kemampuan untuk memilih. Kalau Allah takdirkan aku di neraka, ya aku bakalan berakhir di neraka juga, kan?”

Oke, mari mengawali pembahasan kali ini dengan sebuah kisah!

Pada zaman dahulu, di negeri antah-berantah, ada seorang pencuri yang tertangkap basah saat mencuri. Berhubung dia telah memenuhi syarat untuk menerima hukuman potongan tangan, akhirnya tangannya akan dipotong.

Tentu saja dia nggak terima dengan keputusan itu. Ia membela dirinya di depan hakim dengan berkata, “Hakim percaya kan bahwa Allah Maha Tahu? Berarti Allah sudah tahu bahwa saya akan mencuri dari 3 bulan lalu. Allah tidak menghentikan perbuatan saya, berarti Allah setuju dengan perbuatan saya. Dan ini semua sudah tertulis di lauhul mahfudz. Jadi, saya hanya menjalani garis hidup saya saja.”

Hakim pun mengiyakan omongan dari sang pencuri. Lalu, ia berkata, “Oke, kalau begitu, potong tangannya!!!”

Akhirnya, si pencuri kehilangan tangannya. Dia pun nggak terima dan berkata, “Katanya kamu percaya, tapi kenapa kau tetap memotong tanganku?”

Hakim pun menjawab, “Ya kan sekarang tangan kamu sudah dipotong. Tandanya itu juga sudah Allah takdirkan, kan?”

Jadi, siapakah yang benar? Pencuri atau hakim?

Di antara mereka berdua ngga ada yang benar. Mereka berdua itu salah. Soalnya, sama-sama sok tau mengenai takdir Allah.

Cara berpikir mereka terhadap takdir itu salah. Makanya, nggak mungkin menghasilkan pemikiran yang benar.

Kalau kita merasa bahwa cara berpikir kita sama dengan pencuri ataupun hakim, mungkin itu pertanda bahwa cara berpikir kita masih salah.

Oke, mari kita memperbaiki cara berpikir mengenai takdir dan pilihan!

Coba jawab pertanyaan ini :

10+a=3

7+b=100

Siapakah nama bapak budi?

Bisa nggak jawabnya? Kalau nggak bisa, ya udah deh.

Coba jawab pertanyaan ini aja:

Mana yang lebih cepat, mobil atau pena?

Gimana? Masih nggak bisa jawab?

Ya wajar dong. Soalnya, pertanyaannya nggak nyambung.

Pertanyaan yang salah, ngga akan pernah bisa memberikan jawaban yang benar.

Nah, ini sama juga dengan kita ketika mempertanyakan hal-hal di awal tadi.

“Allah kan Maha Tahu, berarti Allah tau dong aku masuk surga atau neraka.”

Kita menyandingkan antara kemahaannya Allah dengan aktivitas manusia yang terbatas. Maha Tahu-Nya Allah itu ngga setara dengan taunya manusia. Jadi, kalau kita mencampurkan keduanya di dalam satu pertanyaan, ngga bakal ada jawabannya. Soalnya, pertanyaannya nggak nyambung.

Sama juga dengan pertanyaan, “Kalau semuanya sudah Allah takdirkan, untuk apa berusaha?”

Takdir itu adalah rumahnya Allah. Usaha itu adalah ranahnya kita.

Kita senantiasa berada di antara dua wilayah. Wilayah yang bisa kita kontrol dan wilayah yang ngga bisa kita kontrol.

Kita selalu bisa memilih untuk bisa jadi rajin atau malas. Tapi, kita nggak pernah bisa memilih siapa orang tua kita.

Semua pilihan akan dipertanggungjawabkan, sedangkan hal yang ngga kita pilih ngga akan pernah diminta pertanggungjawabannya.

Jadi, jangan terbalik.

Untuk hal yang ngga bisa kita pilih malah pengen diubah. Untuk hal yang bisa kita pilih malah pasrah.

Kita baru bisa produktif ketika tau mana yang harus diusahakan dan mana yang harus dipasrahkan.

Kita baru bisa produktif ketika tau mana yang takdir dan mana yang pilihan.

Ya balik lagi. Segala sesuatu yang ngga pernah kita pilih adalah takdir, sedangkan segala sesuatu yang bisa kita pilih adalah pilihan.

Bertawakkallah kepada takdir dan berikhtiarlah terhadap pilihan, maka kita akan menjadi sebaik-baiknya manusia.

Sumber referensi:
Antara Pilihan dan Takdir

--

--

Gamais ITB
Gamais ITB

Keluarga Mahasiswa Islam ITB | #TransformasiProgresif