Bagaimana Sebaiknya Seorang Muslim Memilih Pemimpin?

Gamais ITB
Gamais ITB
Published in
2 min readSep 21, 2016

Panduan Muslim Memilih Pemimpin

#1 Musyawarah atau Voting?

Bismillah…
Assalamu’alaikum, sahabat Gamais :D
Tentu kita sering mendengar bahkan mungkin telah menyaksikan sendiri proses dalam pergantian kepemimpinan, baik di tingkat organisasi kecil seperti unit di ITB, hingga lingkup yang sangat luas seperti negara.

Islam sebagai agama yang sempurna tidak luput dari urusan pemilihan pemimpin. Muslimin memiliki panduan yang jelas dalam urusan memilih pemimpin. Nah, kali ini Gamais akan membahas beberapa panduan ringkas yang harus diperhatikan. Apa saja?
Yang pertama adalah masalah sistem penentuannya. Musyawarah atau voting?

Dalam pemilihan pemimpin, Islam mengedepankan prinsip musyawarah, bukan metode voting. Dalam Alquran, Allah berfirman,

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَأَمْرُهُمْ شُورٰى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُونَ
dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka,
[QS. Asy-Syura: Ayat 38]

Perintah bermusyawarah dalam memilih pemimpin juga telah diisyaratkan oleh Rasulullah dalam setiap hal, misalnya saat perang Badar, Uhud, dan Khandak. Dan tentunya, musyawarah ini dilakukan oleh orang-orang yang memang kompeten dan berilmu, bukan sembarang orang.

Kasus khusus musyawarah dalam memilih pemimpin telah dicontohkan oleh para sahabat Nabi dalam pemilihan khalifah pengganti Umar bin Khattab. Ketika Umar mendekati ajalnya, beliau menunjuk enam orang untuk memilih satu diantara mereka, yaitu Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, Abdur-Rahman bin Auf dan Sa’d bin Abi Waqqas. Alasannya, Umar pernah mendengar Rasul berkata bahwa mereka adalah penghuni surga.

Bagaimana dengan sistem voting?
Voting yang memenangkan calon pemimpin hanya dengan suara terbanyak tentu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Siapa saja, asalkan memiliki suara terbanyak, entah bagaimana caranya dia mendapatkan itu, dialah yang dimenangkan. Suara ustadz, orang biasa, penyanyi, bahkan pendosa, semuanya dihitung seragam, yaitu satu suara. Berbeda dengan sistem musyawarah yang mengedepankan orang-orang berilmu.

Akan tetapi, voting dapat digunakan sebagai jalan terakhir ketika tidak diperoleh mufakat dalam sebuah musyawarah. Apabila tersisa beberapa calon yang dinilai berimbang dalam forum musyawarah, sehingga tidak kunjung tercapai kata sepakat, maka dibolehkan melakukan voting kepada masyarakat. Karena siapa saja yang akan menjadi pemimpin,ia sudah merupakan calon yang terbaik.

Sebagaimana yang terjadi dalam kisah penggantian khalifah Umar, pada forum musyawarah tersisa dua orang, yaitu Ali dan Utsman radhiyallahu ‘anhuma. Hingga forum menyerahkan urusan kepada Abdurrahman bin Auf untuk memutuskannya. Akhirnya, beliau menunda musyawarah hingga tiga hari, dan selama tiga hari itu beliau berkeliling menemui seluruh penduduk Madinah untuk meminta pendapat siapa yang sebaiknya menjadi pemimpin. Hingga pada akhirnya, semua penduduk sepakat Utsmanlah pengganti Umar.

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -
GAMAIS ITB 2016
#MenyinariDalamHarmoni
#KarenaKitaKeluarga

--

--

Gamais ITB
Gamais ITB

Keluarga Mahasiswa Islam ITB | #TransformasiProgresif