Bala-bala Tak Bertuan

Gamais ITB
Gamais ITB
Published in
6 min readDec 25, 2020

“Bangun-bangun waktu sudah menunjukan pukul empat, bergegas sahur sebentar lagi azhan subuh berkumandang”, bunyi-bunyi tersebut terus berulang disertai oleh sirine yang memekakan telinga. sepagi ini sudah biasa pembina asrama untuk membangunkan kami, dengan menahan kantuk kubangun kemudian kubasuh mukaku. Susana pada dini hari itu beragam ada yang sudah bangun jauh sebelum subuh, ada yang bagun ketika dibagunkan dan adapula yang perlu disiram berkali-kali untuk bangun. Sambil melangkah ke kantin Aku baru ingat ini hari kamis, kami biasa untuk melakukan puasa sunnah hari ini.

Susana kantin pada pagi itu sudah ramai kulihat yang lain rapih mengantri menunggu giliranya untuk mengambil makan, beberapa orang berlalu lalang membawa makananya ke meja, ibu-ibu kantin yg hilir-mudik menyiapkan lauk dan peralatan makan, terdengar percakapan dan gelak tawa dari meja sebrang dan juga beberapa yang asik menonton tv. Tak terasa bedug sudah ditabu disusul kumandang azhan yang merdu.

Perbukitan berbaris kokoh dan rapih seakan perlu untuk menjaga desa ini, dengan perlahan matahari terbit dibaliknya, menerangi pepohonohan hijau yang terhampar sejauh mata memandang, memberikan kesejukan bagi yang bersyukur. Sepertinya hari itu berjalan sebagaimana biasanya beberapa murid mengantuk sehingga ditegur, bukanya nurut yg ditegur malah membela “Bu belajar itu kan ibadah, tidur buat orang puasakan juga ibadah, apa salahnya saya belajar sambil tidur?”. Seisi kelas pun tertawa tinggalah yg berkata dihukum mengelap pohon namun Ia tidak menyesal.

Nyatanya hari ini Aku tidak bisa memperhatikan pelajaran. Terus terngiang dalam benakku perihal mimpiku semalam. Disebuah desa hiduplah seorang pemuda. Desanya memiliki pemandangan yg luar biasa, masyarakatnya ramah dan terkenal sebagai penghasil bala-bala terbaik dipenghujung negri. Namun hal itu tiada artinya bagi pemuda ini, Ia sangat berambisi merantau hingga ke hujung negri mencari Ilmu pengetahuan dan bela diri. Sampai suatu titik dimana Ia berkali-kali mendengar puisi lama

Bala-bala tak bertuan

Dengannya kau akan tak tertandingi

kekal abadi

hanya yg dapat melihat apa yg tak terlihat yg berhak

Apakah engkau

Siapa yang tahu

Itulah legenda disampaikan oleh leluhurnya turun temurun. Selama ini pemuda itu menolak untuk percaya “omong kosong, puisi tak berguna!” namun perjalanannya selama ini, buku-buku yg Ia pelajari, bisikan-bisikan selama ini, hingga musuh-musuh yang Ia hadapai, selalu merujuk kepada hal tersebut.

Disematkan pedang dipinggangnya berjalan dengan angkuh kembali ke desanya. “cepat serahkan bala-bala itu, bagi yang menghalangi akan tahu akibatnya”. Semua penduduk desa terdiam dan tertunduk mereka sudah siap bahkan untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Hingga seorang berkata “Wahai anak muda kami tak akan menyerahkannya, kalau kau berhak pergilah kebalik bukit disanalah tinggal seorang penjaga”. Segeralah dengan bersusah payah pemuda tersebut mendaki bukit dan di kejauhan malam terlihat setitik cahaya dari sebuah gubuk . Masuklah Ia kegubuk tersebut ditemuinya seorah paruh baya. Pemuda tersebut heran apakah benar Ia seorang penjaga, pikirnya bagaimana mungkin sebuah pusaka hanya dijaga oleh orang yang entahlah mungkin untuk mempertahankan dirinya saja sulit.

“Wahai pemuda sungguh kutahu apa yang kau pikir tentang diriku dan kutahu apa yang membawa mu jauh hingga kegubuk ku ini, aku takan berbasa-basi kalau kau ingin buktikanlah kalau kau berhak maka pusaka itu kan jadi milikmu”

“baiklah katakan apa maumu orang tua?”

“Cukup jawablah puisi itu, apa yang membuat pusaka itu tak tertandingi?, mengapa dengannya bisa dapat kekal abadi?, dapatkah kau melihat apa yang tak terlihat?.

Lupakan mimpi itu sudahlah ceritanya begitu aneh kenapa pula harus bala-bala banyak pusaka lain seperti pedang, tombak ataupun panah selain itu kenapa juga harus berakhir menggantung. Aku tidak bisa terus memikirkannya, lama-lama imajinasiku akan semakin liar bisa-bisa melahap tuannya sendiri. Kulihat jam dinding sudah pukul lima sore “seharusnya daritadi aku sudah mandi membeli takjil jam segini mah kamar mandi sudah ramai oleh yang main futsal”. Hari yang sudah tidak berjalan semestinya seharian memikirkan mimpi aneh lalai kegiatan sehari-hari, seperti kata pepatah “sudah mah jatuh tertimpa tangga”.

Aku pikir sisa hari ini akan biasa namun tidak, setiap puasa sudah biasa bahwa kami akan membeli takjil karena yang disediakan oleh katin dirasa kurang dapat memenuhi kebutuhan berbuka. Karena tidak keburu maka harus ku terima berbuka dengan seadanya sampai kejadian itu.

“Ayok fik buka bareng sini gabung sama yang lain”

“tapi saya kan tidak ikut patungan”

“Udah gk apa-apa ambil aja, ini kamarku emang udah berniat untuk berbagi seikhlasnya, ambil saja kalau kamu tidak enak minggu depan bisa kok kalau mau ikut patungan”

“berapa?”

“seikhlasnya bahkan kalau tidak juga ngakapa-apa, ayok sini cepet udah mau azhan nih nanti kehabisan sama yang lain”

Magrib itu mungkin apa yang kumakan biasa saja gorengan, tapi sepertinya ada suatu hal menancap dalam sanubari. Waktu berjalan begitu cepat minggu depan kuikut menyumbang walau tak banyak, perasaan yang sangat berbeda sekali ketika dapat berbuka bareng memberi seikhlasnya, berbincang dan tertawa bersama, tidak ada perasaan sombong ketika memberi ataupun hina ketika hanya dapat meminta semuanya sama. Duduk dengang sejajar dilantai menghabiskan hidangan sudah dipersiapkan. Bahkan kita sendiri tidak tahu makanan yang kita makan siapa yang memberikannya. Semua orang bebas menaruh uangnya dalam toples di salah satu kamar dan toples itu dibiarkan begitu saja tidak ada yang menjaga.

Kabar berhembus begitu cepat menembus tiap-tiap lorong asrama. Minggu-minggu selanjutnya makin banyak yang ikut menyumbang hingga ketua angkatan membagi tanggung-jawab ini ke empat kamar di tiap-tiap lorong. Pembagian tugas menjadi lebih kompleks yang membeli dan menyiapkan dibagi tidak hanya bergantung ke empat kamar tersebut. Tiap orang saling bahu-membahu mempersiapkannya. Kini sudah satu asrama mengikutinya tidak ada lagi membeli takjil sendiri-sendiri dan tak perlu khawatir ketika kau tak sempat semuanya sudah ada.

Pemandangan yang begitu indah ketika berbuka setelah seharian menahan haus dan dahaga. Kini lebih-lebih lagi semuanya menantikannya ketika dapat berbuka bersama berbagi seikhlasnya. Namun permasalahan baru muncul dari minggu keminggu takjil selalu bersisa bahkan semakin banyak sisanya. Kini kita tak lagi berebut, ku senang akan hal itu tetapi ada hal lain yang menjadi konsekuensinya. Di kamis sore Aku hendak menyumbang tapi kuheran kenapa toplesnya hilang, sudah biasa kami memilih waktu yg sepi sehingga tidak ada yg tahu, perasangka buruk mulai menghampiri diriku, apa jangan-jangan uangnya dicuri, ah tidak aku harus bisa berpikir jernih saat ini. Ku tunggu hingga seorang datang.

“ini toplesnya kok gk ada si?”

“oh itu, udah simpan saja uangnya buat minggu depan, untuk sekarang sudah cukup nanti malah mubazir”

Hening sekita

“Aku tahu ko, udah gk apa-apa tadi yang lain juga udah banyak yg kecewa kayak gini. Ini salah ketua angkatan juga si buat kebijakan gk bilang-bilang”

Kini ku mengerti akan mimpiku meskipun malam-malam selanjutnya tak pernah mimpi itu terselesaikan. Pertama tentu saja bala-bala itu tak tertandingi mungkin akan lebih keren jika pusaka itu pedang, tombak, ataupun busur panah tapi lihatlah penduduk desa itu tak selalu ramah, merasa cukup dengan apa yang mereka punya, tak merasa rendah diri walau hanya membuat bala-bala kini kulihat banyak orang yang punya rencana besar ingin ini, ingin itu tapi banyak yang berakhir menjadi wacana. Mereka lupa akan hal-hal kecil disekitarnya yang jika mereka peduli itulah hal yang tak tertandingi.

Kedua, tentu saja ia kekal abadi lihatlah penduduk desa itu mereka bertahun-tahun hidup ramah dapat memaknai hal kecil tersebut. Keikhlasan selalu tertanam dalam diri mereka diceritakan lewat puisi turun-temurun. Kau ingat siapa penjaga itu? Seorang tua yang untuk mempertahankan dirinya saja susah ya begitulah sama halnya dengan toples yang tidak dijaga. Ketika semuanya sudah dapat memahaminya hal itu kekal abadi. Untuk apa mereka melawan sesuatu yang tak tertandingi? Yang ada hanyalah rugi.

Ketiga, sesuatu kebaikan pasti akan muncul bagi yang melakukan. Hal itu tertanam dalam dirinya dan Ia akan merasa kehilangan ketika tak melakukannya lagi. Itulah hal yang tak terlihat seperti teman-teman yang kecewa tak dapat menyumbang, tapi apakah semua orang dapat melihatnya tentu tidak ingatlah kisah seorang pemuda bahkan Ia dekat sekali dengan pusaka itu tapi lihatlah Ia tak mau memperhatikan hal kecil menganngapnya tak berguna dibutakan oleh nafsu dan prasangka. Maka itulah sebenarnya “bala-bala tak bertuan” Aku takut penjelasanku tak dapat dimengerti karena sekali lagi.

Bala-bala tak bertuan

Dengannya kau akan tak tertandingi

kekal abadi

hanya yg dapat melihat apa yg tak terlihat yg berhak

Apakah engkau

Siapa yang tahu

by: Anonim

--

--

Gamais ITB
Gamais ITB

Keluarga Mahasiswa Islam ITB | #TransformasiProgresif