Bukan Tanpa Definisi

Ahmad Wali Radhi
Gamais ITB
Published in
3 min readSep 20, 2016

Bak angin kencang menghantam, keributannya menjadi momok bagi sang petualang malam. Layaknya terpaan ombak yang datang menjadi tsunami, ia hadir menjamah daratan tanpa peringatan kepada daratan Bumi. Seperti halnya dengan banjir bandang, kemunculannya selalu tidak diharapkan oleh setiap Ibu yang khawatir mengenai anaknya yang sedang bermain air di sungai Bengawan. Atau mungkin peristiwa turunnya hujan dalam teriknya siang. Hadirnya yang tak diundang menjadi semacam rezeki yang tak terduga. Padahal tak ada tanda mendung yang menyertai sebelumnya.

Begitulah cinta berproses dalam kehidupan manusia. Adanya cinta bersemi dalam hati-hati yang berbunga telah banyak menciptakan berbagai kisah tak lekang dari zaman. Semua kisah itu bukan sama sekali tidak direkayasa. Tapi, memang begitu adanya. Karena hadirnya cinta memberikan dampak yang sangat beragam bagi setiap insan. Hingga sampai saat ini manusia telah banyak mendengar kisah-kisah yang melegenda. Sebut saja Romeo dan Juliet, Qais dan Laila, Ali dan Fathimah hingga kisah Muhammad dan Khadijah. Semua kisah cinta tersebut selalu menjadi saksi adanya sejarah peradaban manusia.

Mari bersikap jujur bahwa setiap rasa dalam hati yang menjiwai, setiap niat dalam laku tindak, setiap maksud dalam ucap kata, akan selalu ada kisah-kisah yang berbeda bagi setiap mereka yang sedang diterpa badai cinta. Percayalah bahwa setiap kisah cinta tiap-tiap manusia akan selalu berbeda. Tak ada yang persis sama. Seperti yang dikatakan oleh Erich Fromm dalam karyanya The Art of Loving bahwa cinta merupakan kemampuan yang dapat dipelajari dan dikembangkan. Maka, sudah dapat dipastikan bahwa kemampuan setiap manusia tentu saja beragam, khususnya kemampuan dalam mengelola cinta. Hingga kisah-kisah yang melegenda itu tersampaikan dengan rekayasa yang disengaja oleh para pelaku sejarahnya.

Ibnul Qayyim dalam salah satu karya fenomenalnya, Raudhatul Muhibbin, mendefinisikan cinta dengan banyak nama. Inilah sebab kemampuan manusia dalam mengelola cinta sangat tergantung bagaimana ia memaknai cinta. Dalam penjelasan yang lebih mendalam, Ibnul Qayyim memberikan penjabarannya secara mendasar, bahwa manusia menurut kebiasaannya selalu terbagi menjadi tiga kelompok besar dalam memaknai cinta. Kelompok Pertama adalah mereka yang menganggap cinta seperti singa atau pedang. Kelompok kedua beranggapan bahwa cinta seperti layaknya bencana. Kelompok ketiga menjadikan cinta sebagai minuman keras. Ketiga kelompok ini saling mengisi kisah-kisah mereka dalam sejarah peradaban manusia sehingga nama-nama cinta yang jumlahnya puluhan itu tercipta sebagai tanda masing-masing dari kemampuan mereka.

Maka, tersebab pemaknaan cinta yang berbeda, tercipta kisah yang begitu beragam. Karena itulah hadirnya cinta dalam jiwa manusia tak akan pernah dapat disalahkan kemunculannya. Ia merupakan karunia dan nikmat yang pasti akan diterima dari Sang Maha Pencipta. Maka, tersebab cintalah seorang pengecut menjadi pemberani. Tersebab hadirnya cintalah seorang yang terbiasa malu menjadi begitu vokal berbicara. Tersebab serangan cintalah perubahan terjadi dari kufur dan futur menjadi syukur dan semangat melipur. Dan tentu saja tersebab munculnya cinta dalam jiwa menjadikan rasa terkembang menjadi kata yang kemudian berubah menjadi laku dan sikap.

Bagi ia yang sedang merasakan cinta dalam hatinya, ia telah terjebak dalam keromantisan rasa yang telah terkarunia. Kadang setiap waktunya dimanfaatkan dengan merenung tak menentu. Kadang pula ia terlalu bersemangat untuk menunjukkan cintanya dengan segala proses yang dapat diusahakan. Bahkan, karena cinta ia semakin tidak mengerti dengan keanehan-keanehan yang selama hidup tak pernah ia temui sebelumnya. Itulah cinta! Dengan hadirnya yang tak pernah diundang memberikan banyak sekali dampak bagi hidup insan yang sedang merasakan cinta. Hingga dirinya tak mampu mendefinisikan apa arti cinta bagi dirinya.

Namun, salah jika cinta tak dapat didefinisikan. Cinta bukan tanpa definisi. Justru keterkaitannya yang sangat dekat dengan jiwa manusia membuat maknanya begitu mungkin untuk dicerna. Bagi mereka yang mampu mendalami jiwanya dengan baik, tentu cita rasa cinta dapat dimaknai dengan sempurna. Seperti halnya Muhammad dan Khadijah serta Ali dan Fathimah. Mereka bercerita kedalaman makna cinta secara sederhana dalam kisah hidup mereka. Hingga tak dapat dimungkiri kemampuan mereka dalam mengelola cinta secara hakiki. Sebaliknya, bagi mereka yang tak mampu mendalami jiwanya dengan baik, maka cita rasa cinta dimaknai secara parsial. Layaknya kisah Qais dan Laila. Keduanya menjadi gila dan mati tragis atas ketidakmampuan mereka dalam mengelola cinta. Atau kisah Romeo dan Juliet yang tak mampu mengomunikasikan rasa cinta mereka, hingga akhirnya tak dipercaya untuk mengelola cinta dengan cara mereka sendiri. Itulah keempat pasangan bercita rasa cinta, tetapi berproses dan berakhir dengan cara yang tak sama.

--

--

Ahmad Wali Radhi
Gamais ITB

“Aku bukanlah seorang anak raja, maka aku pun menulis!”