Emang Iya, IP Ngga Penting?

Gamais ITB
Gamais ITB
Published in
5 min readJun 30, 2024
Source

“IP mah ngga penting. Percuma aja IP bagus, tapi ngga punya soft skill. Nanti, ngga bakal bisa survive di dunia kerja!”

Mungkin, kalimat-kalimat seperti ini, sering kali kita dengar. Namun, apakah kalimat tersebut benar? Jangankan kerja, sekadar mendaftar beasiswa aja ada syarat minimal IPK. Masa iya, IP ngga penting?

“Wajar ngga sih pak, banyak orang yang ngga mau aktif di kegiatan non akademik. Soalnya kan melihat banyak kating yang ngga aktif, tapi dapat kerjaan bagus.”

“Saya tanya kepada anda, pekerjaan bagus yang anda maksud itu bagaimana? Pekerjaan yang dapat gaji besar? Bekerja di perusahaan yang besar? Kalau anda mendefinisikan ‘pekerjaan yang bagus’ seperti itu, menurut saya itu kurang banget. Seharusnya, kita mendefinisikan pekerjaan yang bagus itu dari seberapa banyak manfaat yang bisa kita berikan kepada orang lain. Bukannya sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat?”

Begitulah sekiranya percakapan antara seorang mahasiswa dan dosennya ketika membahas esensi dari IP.

Kalau dipikir-pikir, iya juga, ya? Selama ini, kita pengen IP bagus karena mengharapkan pekerjaan dengan gaji yang besar. Then, what? Apakah dengan gaji yang besar, hidup kita akan terasa lebih bahagia? Bukannya, banyak juga, ya, orang kaya yang mengakhiri hidupnya?

Kita juga seringkali mencemaskan IP karena takut nantinya ngga bisa jadi apa-apa. Kita takut bakal menjadi orang yang gagal. Kita takut dipandang buruk oleh orang lain, seperti perkataan :

Source

Namun, rasanya terlalu dangkal untuk memandang diri kita sebagai suatu kegagalan hanya karena IP kita yang kurang memuaskan.

Terlalu fokus kepada hasil, hanya akan membatasi kebahagiaan kita. Pada kenyataannya, acap kali realita tidak berjalan sesuai dengan harapan. Jadi, rasanya ngga masuk akal, jika kita membatasi kebahagiaan hanya dengan satu skenario.

Makanya, lebih baik fokus dengan proses. Ketika kita menyadari bahwa kita sudah berusaha dengan semaksimal kita, mau bagaimana pun hasilnya, kita akan tetap merasa bahagia.

Source

Perlakukanlah IP sebagaimana saintis memandang hasil percobaannya.

Setiap kali saintis melakukan percobaan, selalu ada dua kemungkinan, yaitu percobaan gagal dan percobaan berhasil. Mau bagaimana pun hasilnya, saintis memperlakukannya sebagai data yang akan membantunya dalam menemukan jawaban.

Begitu pula kita, mau bagaimana pun hasil IP kita, pandanglah IP kita sebagai data untuk membantu kita menjadi lebih baik. Ada begitu banyak faktor yang mempengaruhi IP kita. Dengan begitu, kita bisa melakukan evaluasi hal apa dari diri kita yang bisa diperbaiki dan yang harus dipertahankan.

Fokus kepada kata kerja, bukan kata sifat.

Fokus untuk mempertanyakan, “Apa yang bisa aku perbaiki?” bukannya malah mempertanyakan, “Kenapa aku bodoh banget, ya?”

Mengecap diri sendiri bodoh hanya akan membuat kita terjebak dalam pola pikir negatif dan perasaan ketidakberdayaan. Sebaliknya, ketika mempertanyakan apa yang bisa kita perbaiki, pertanyaan itu akan mengarahkan pikiran kita pada tindakan dan solusi, membantu kita melihat kesalahan sebagai peluang untuk belajar.

Memang, fase penerimaan IP ini ngga segampang teorinya. Pasti ada rasa sakit dalam proses penerimaannya. Terlebih lagi, ketika besar IP yang didapat mengakibatkan kita harus kehilangan kesempatan berkuliah di jurusan impian.

Source

But, let me tell you about burnt toast theory.

Bayangkan kita sedang memanggang roti untuk sarapan. Eh rotinya malah gosong.

Source

Akhirnya, kita harus menghabiskan waktu lebih lama untuk memanggang roti kembali.

Ketika di perjalanan menuju kampus, kita melihat ada kecelakaan yang terjadi. Di situ kita menyadari bahwa jika roti kita ngga gosong, kemungkinan besar kitalah yang mengalami kecelakaan itu.

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa bisa jadi hal-hal yang kita anggap buruk sekarang adalah penyelamat kita di masa depan.

Mungkin, jika kita masuk jurusan impian kita, hidup kita akan jadi berantakan. Makanya, Allah ngga mengizinkan kita masuk ke sana.

Sebagaimana ayat ini,

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 216)

Source

Mungkin, ada perasaan kayak, “Ini cuma hiburan buat orang-orang yang ngga mau berusaha. Aku salah. Aku terlalu banyak main-main. Aku ngga berusaha dengan maksimal. Katanya selama udah mengusahakan yang terbaik, pasti hasilnya yang terbaik. Lah aku aja ngga mengusahakan yang terbaik, gimana mungkin mendapat hasil yang terbaik? Andai aja aku dulu berusaha dengan lebih baik. Pasti hasilnya ngga bakal kayak gini”

Menyadari bahwa kita melakukan kesalahan adalah hal yang baik. Tapi, kita ngga boleh terjebak di dalam penyesalan. Kita harus menyudahi pemikiran “Andai aja” kita itu. Soalnya, mau seribu kali pun kita berandai-andai, hasilnya ngga akan bisa berubah. Jadikanlah penyesalan itu sebagai bahan evaluasi supaya ngga mengulanginya lagi.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa IP itu penting untuk menjadi bahan evaluasi. Tapi, IP bakal jadi ngga penting kalau hanya dijadikan sebagai bahan untuk merendahkan diri sendiri.

Pokoknya, tetap semangat ya! Thank you for surviving until this far.

Yakinlah, ada sesuatu yang menantimu setelah banyak kesabaran (yang kau jalani), yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit. -Ali bin Abi Thalib

Referensi :

--

--

Gamais ITB
Gamais ITB

Keluarga Mahasiswa Islam ITB | #TransformasiProgresif