Kebenaran yang Bermanfaat (Part 1)

Khazanah Fadhilah Nurrahmah
Gamais ITB
Published in
2 min readDec 25, 2020

Bagiku dan kamu, mahasiswa penghuni sebuah perguruan tinggi negeri di dekat jantung Kota Bandung alias ITB, terhitung sejak 17 Maret 2019 kita serasa tidak lagi mempunyai kampus. Lockdown. Kita yang jelas-jelas tuan rumah di sana, terusir karena makhluk tak kasat mata (tepatnya berukuran mikroskopis) bernama Corona. Bukan hanya ITB, satu planet Bumi pun bertekuk lutut.

Seluruh sektor, sendi-sendi penggerak kehidupan, khususnya di Indonesia terkena dampaknya. Termasuk para mahasiswa yang, entah bersyukur atau tidak, tidak perlu (baca: boleh) merantau dari kampung ke kos dekat kampusnya. Belajar dengan metode daring dari rumah masing-masing.

Para aktivisi BEM kampus, himpunan, UKM, komunitas, dan golongan ambisius pun kehilangan basis fisis kegiatannya di dunia nyata. Rapat, seminar, hingga mabar pun wajib via online seluruhnya. Terkekang? Sangat. Kita jadi tidak bisa maksimal saling menebar manfaat.

Intinya, pandemi ini memberikan sedikit dampak positif yang bisa kita syukuri di tengah banyaknya dampak negatif. Tentunya dengan rasa optimis wabah ini segera berakhir berkat solusi dari para ahli. Namun saking optimisnya, ada pula kejadian yang tidak mengenakan terutama untuk umat Muslim.

“Kabar baik! Dalam sebuah hadits, akan terbit suatu bintang penanda berakhirnya pandemi COVID-19 di awal bulan Juni nanti.”

Kira-kira begitulah kabar yang dihembuskan oleh seorang ulama di bulan Mei. Secara logika, sebagai seorang mahasiswa astronomi, aku merasa sangat tidak masuk akal hal itu terwujud. Bintang yang dimaksud adalah gugus bintang Pleiades, diviralkan dengan nama bahasa Arab-nya: Ats-Tsurayya. Jaraknya kurang lebih 444 tahun cahaya (orde 10 pangkat 15 meter!), mana mungkis bisa memberikan pengaruh fisik kepada Bumi.

Namun, sebaliknya kabar ini yang meriwayatkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam sendiri. Apakah kita sebagai Muslim justru tidak percaya kepada sabda Rasulullah? Banyak kok kejadian tak logis yang diriwayatkan beliau 1400 tahun lalu, baru bisa dibuktikan secara ilmiah kebenarannya di zaman ini. Contohnya peristiwa Bulan terbelah.

Tidak bisa. Aku tidak bisa mendiamkan begitu saja isu ini. Semua berharap wabah Corona segera sirna, tapi bukan berarti hanya dengan menunggu munculnya fenomena astronomis biasa. Inilah tugasku sebagai mahasiswa muslim astronomi untuk meluruskannya. Jalan untuk melihat seberapa bermanfaatnya ilmuku untuk umat.

Tapi… Apa yang bisa kulakukan di tengah lockdown yang membatasi ini?

[Bersambung]

--

--