Kita Manusia, bukan Keturunan Kera

Ahmad Zaki
Gamais ITB
Published in
2 min readSep 1, 2020

Pikiranku menyasar ke pelajaran sejarah sewaktu SMA dulu. Pelajaran yang mencerahkan sekaligus menambah wawasan terkait asal-usul manusia yang diperdebatkan. Guruku selalu menekankan, teori Darwin tentang evolusi manusia tak perlu kita imani, cukup sebatas teori kontroversial yang dipaksakan ke dalam kurikulum pendidikan umum.

Teori Darwin memang masuk akal, bukan begitu? Meski Darwin sendiri mengakui adanya missing link (keterhubungan yang hilang) pada manusia, teorinya tentang seleksi alam dapat dibuktikan secara empiris, berdasarkan pengamatan Darwin sendiri terhadap hewan-hewan.

Akan tetapi, Al-Qur’an telah mengajarkan kepada kita bahwa nenek moyang manusia bukanlah kera, melainkan Nabi Adam yang diciptakan langsung oleh Tuhan. Nabi Adam dan ibunda Hawa kemudian diturunkan Allah SWT ke bumi sebagai khalifah yang mengelola bumi dan membimbing keturunannya menuju cahaya Islam.

Terjadi kontradiksi, bukan? Darwin menyodorkan kajian ilmiah berbuah teori sehingga mudah dipahami akal. Al-Qur’an memberikan gambaran penciptaan Nabi Adam yang hanya mampu kita terima, tanpa berpikir terlalu panjang. Jika akal kita jadikan panglima untuk membenarkan sesuatu, maka teori Darwin rasanya lebih memuaskan.

Pada tahap ini, perangkat akal yang dianugerahi Allah kepada manusia — umat Islam khususnya — tengah diuji. Apakah ia hendak bersandar pada firman-Nya atau hanya pada akal?

Padahal sudah jelas bahwa akal manusia itu terbatas. Ia takkan mampu memahami semua hal, termasuk dirinya sendiri yang masih diselimuti misteri (tentang ruh misalnya). Sebagai sindiran keras terhadap manusia yang membangkang dan menggunakan akal untuk berpaling dari-Nya, Allah berfirman:

“Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui” (QS. Al Mulk 67:14).

Ibarat pembuat jam yang pastinya lebih mengetahui seluk-beluk jam buatannya daripada orang-orang yang membeli jam tersebut. Allah tentu lebih tahu bagaimana asal-usul kita yang telah diwahyukan melalui Nabi Muhammad SAW dengan kisah penciptaan Nabi Adam.

Agar akal tak salah langkah, Allah hadirkan iman dari cahaya-Nya untuk membimbing umat manusia. Akal mendukung iman agar semakin teguh dan membuat segalanya tampak jernih setelah proses berpikir yang mendalam. Akal yang diarahkan oleh iman dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk sesuai syariat Islam. Ia takkan ragu memberikan penjelasan logis dari Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, dan fenomena kehidupan sehari-hari dalam mengokohkan posisi agama Islam yang tak lekang oleh zaman.

Oleh karena itu, sudah sepantasnya akal berada di bawah iman dan bukan sebaliknya. Sebagaimana hawa nafsu, akal memiliki potensi untuk menyimpang jika tidak dikendalikan oleh iman. Dan hanya bersama iman, akal dapat fokus memikirkan hal-hal yang memang penting untuk diperhatikan dalam agama.

Di dalam surat Al-Baqarah ayat 30, Allah tegaskan kepada para malaikat-Nya bahwa manusia hendak menjadi pemimpin atau wakil-Nya di muka bumi. Para Nabi, khususnya Rasulullah SAW telah memberikan sebaik-baik contoh tentang bagaimana menjadi khalifah. Beliau mendakwahkan kebenaran Islam sekaligus menyediakan solusi kepada problematika kaumnya yang dijajah kebodohan dan kelalaian.

Dan selendang dakwah itu telah diwariskan kepada umat Muslim ahlussunnah wal jamaah. Mari gunakan akal yang berdasarkan keimanan untuk memperbaiki masalah-masalah umat di masa ini. Tidak perlu mencurahkan segenap pikiran untuk memahami segala sesuatu yang memang menjadi rahasia Tuhan.

Sebagai penutup, Buya Hamka pernah berujar, “Kalau hidup sekadar hidup, kera di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kerbau di sawah juga bekerja.”

--

--