Sejauh Mana Kita Perlu Merdeka?

Gamais ITB
Gamais ITB
Published in
5 min readAug 31, 2023

Oleh: Muhammad Faqih Ardi Nugraha

Di momen perayaan kemerdekaan Bangsa Indonesia seperti ini, saya mengingat-ingat kembali momen momen di SMP dulu. Masih menancap di benak saya salah satu kalimat dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang selalu dibacakan setiap kali upacara bendera,

“Bahwa sesungguhnya, kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Hal yang menarik di dalam rumusan kalimat tersebut menurut saya adalah penggunaan kata “Hak”. Kemerdekaan dan pemenuhan hak memang sangat berkaitan erat, terutama hak asasi manusia. Dimana saat ini, hak asasi manusia dibebaskan sebebas-bebasnya oleh banyak orang. Kebebasan berpendapat (seperti pada tulisan ini juga), kebebasan berkarya, bahkan kebebasan-kebebasan lain yang tidak didefinisikan seperti kebebasan mengidentifikasi diri sendiri, bermunculan dimana- mana. Akibatnya, terjadi berbagai macam kekacauan di dunia ini. Semua orang menginginkan kemerdekaan dengan diakui hak-haknya, meskipun itu hak yang sangat aneh sekalipun. Kenapa saya bilang aneh? Karena beberapa tuntutan hak sangat tidak berdasar. Salah satunya tuntutan untuk melegalkan pernikahan sesama jenis atas dasar pemenuhan hak asasi manusia.

Potret aktivis pembela LGBT (dilansir dari https://edition.cnn.com/2023/06/20/europe/estonia-same-sex-marriage-legal-intl/index.html)

Legalisasi pernikahan sesama jenis menurut saya sama sekali tidak berdasar. Alasan pertama secara naluri, setiap makhluk hidup di bumi, bahkan hewan yang tidak memiliki akal, selalu tertarik kepada lawan jenis. Kenapa manusia yang diberi akal begitu sempurna, hingga menciptakan peradaban yang begitu kompleks, tidak dapat memahami hal sederhana yang bahkan hewan pun tidak melakukannya. Seperti yang tercantum dalam Al-Quran Surah Al-Isra ayat 70 yang terjemahannya kurang lebih seperti berikut:

“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”

Bahkan di dalam Al-Quran, telah dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dengan kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Namun kini, beberapa manusia menghinakan dirinya dengan melakukan hal yang bahkan dihindari oleh makhluk lain. Alasan kedua secara biologis, hubungan sesama jenis tidak akan membawa manfaat apapun kecuali pemenuhan hasrat semata. Pada hubungan lawan jenis, manusia setidaknya menemukan cara untuk melestarikan kehidupan, menyambung nilai-nilai dan hal-hal lain yang tidak dapat dicapai selama periode singkatnya hidup seorang manusia. Alasan yang terakhir adalah karena secara agama, yang harusnya merupakan tuntunan hidup semua manusia, pernikahan sesama jenis dilarang. Dalam Al- Quran dijelaskan pada Surat Al-Araf ayat 80–81 tentang larangan hubungan sesama jenis. Dalam agama lain, berdasarkan referensi yang saya baca dari beberapa sumber menyebutkan bahwa hubungan sesama jenis juga dilarang, salah satunya pada Alkitab yang dijadikan pedoman bagi kaum Nasrani. Apakah kebebasan pernikahan sesama jenis ini perlu diterima? Mengingat tidak ada manfaat bagi umat manusia kedepannya dengan adanya hal ini. Apakah diperlukan pembenaran terhadap hal-hal yang berlawanan dengan logika dan naluri manusia? Kemerdekaan yang berlebihan pada manusia terkadang memunculkan hal-hal yang tidak baik di masyarakat.

Selain kasus tersebut, kebebasan berpendapat terkadang juga melanggar batasan yang terjadi. Penyampaian pendapat justru berakibat sebagai sebuah penghinaan terhadap sesuatu. Seperti pada kasus yang terjadi di Swedia beberapa waktu yang lalu. Di negara tersebut, Al-Quran, sebagai
kitab suci dan pedoman hidup kaum Muslim, legal untuk dibakar. Secara logika, pendapat apa yang perlu dikemukakan hingga harus merusak properti dan berujung kerugian? Selain itu, bukannya perusakan properti yang menjadi identitas merupakan bentuk pelanggaran kemerdekaan pula? Seperti halnya perusakan bendera suatu negara, yang dapat memicu perang karena pelanggaran kemerdekaan. Pada akhirnya, hak berpendapat seringkali merampas hak dari pihak lain untuk dihormati.

Lantas sebenarnya, bagaimana batasan kita untuk mendapatkan hak kita? Dan seberapa jauh kita bisa ‘merasa’ merdeka? Dalam menjawab hal ini, kita perlu menyadari bahwa ada dua komponen penting yang saling mengikat pada peran kita sebagai manusia di dunia ini. Yaitu penerimaan hak dan pelaksanaan kewajiban. Kita perlu menyadari bahwa pada hak-hak kita, ada juga hak-hak orang lain yang perlu dipenuhi pula, sehingga pada akhirnya muncul suatu keseimbangan. Pada dasarnya, manusia cenderung lebih mudah menerima daripada memberi. Karena pada saat kita menerima sesuatu, kita tidak akan kehilangan apapun dan justru kepemilikan kita bertambah. Berbeda dengan saat memberi, kita akan kehilangan sesuatu yang telah kita miliki. Sama seperti hak dan kewajiban. Manusia cenderung menuntut hak, tapi tidak melaksanakan kewajiban. Dalam konteks kebebasan berpendapat, kita perlu memastikan pendapat kita tidak menyinggung maupun merampas kehormatan orang lain. Hal ini karena kehormatan juga merupakan salah satu komponen dari hak asasi manusia. Sama halnya dengan kasus-kasus lain seperti, kita perlu membayar pajak, untuk dapat merasakan fasilitas yang diberikan negara. Atau yang kita alami sebagai pelajar seperti, kita perlu mengerjakan tugas dan mengerjakan ujian dengan baik, untuk mendapatkan hasil evaluasi atas ilmu kita. Hal yang sama juga berlaku untuk ibadah. Kita melaksanakan kewajiban kita kepada Allah SWT dengan mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, Maka Allah SWT akan memberikan hak kita sebagai hamba-Nya. Baik diberikan di dunia maupun di akhirat.

Terkait dengan keseimbangan hak dan kewajiban, sejatinya telah banyak aturan yang menjelaskan tentang hal ini. Seperti hak dan kewajiban bernegara yang dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar
1945. Dalam Islam, aturan mengenai keseimbangan hak dan kewajiban juga telah diatur. Salah satunya mengenai zakat. Dalam zakat, diatur jumlah minimum penghasilan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Jumlahnya juga tidak besar, hanya 2.5 %, namun dapat menyeimbangkan
ekonomi umat jika dikelola dengan baik. Allah SWT mempersilahkan kita menikmati hak kita atas penghasilan kita, setelah kita melakukan kewajiban kita membantu umat Islam lain yang kondisi ekonominya sulit. Jumlah yang tidak terlalu besar seharusnya tidak menyebabkan hak atas penghasilan kita ikut menghilang. Lagipula kalau jumlah penghasilan kita belum memenuhi syarat, kita tidak perlu berzakat. Itulah salah satu bentuk keadilan Allah SWT kepada ciptaan-Nya.

Akhir kata, kemerdekaan memang diperlukan, namun perlu ada batas dari kemerdekaan itu sendiri. Berbagai peraturan telah dibuat untuk menyeimbangkan kemerdekaan tiap orang, namun tampaknya peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT tetaplah yang paling sempurna. Karena manusia adalah makhluk yang penuh khilaf dan salah, tidak jarang aturan buatan manusia juga tidak dibuat dengan benar. Maka dari itu, pedoman dari Allah SWT dan Rasul-Nya cukup untuk membuat kemerdekaan yang seimbang di muka bumi ini.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”

--

--

Gamais ITB
Gamais ITB

Keluarga Mahasiswa Islam ITB | #TransformasiProgresif