Surat dari “Akal” untuk Qalb yang Hampir Sekarat

Ilma Aliya Fiddien
Gamais ITB
Published in
10 min readSep 1, 2020

Halo, manusia dunia. Perkenalkan, aku Akal. Aku adalah sebuah fungsi yang digunakan oleh tuanku, seorang manusia seperti kalian yang membaca. Aku yakin masing-masing kalian juga punya Akal yang hidup. Akal yang sehat. Aku harap begitu.

Akhir-akhir ini aku punya suatu masalah yang sangat menggangu. Aku punya firasat bahwa masalah ini juga mungkin sekali terjadi pada akal-akal lainnya. Ini tentang kawanku, Qalb.

Masalah itu

Masalah itu dimulai ketika aku memproses sebuah ayat milik Yang Maha Mencipta. Seperti inilah bunyinya.

“Maka apakah mereka (manusia) tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai qalb yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah qalb yang di dalam dada.” — Q.S. al-Hajj [22]: 46

Aku mengetahui Qalb itu ada di diri tuanku dari ayat ini. Tuhanku membicarankan tentang Qalb, maka tentu dia ada.

Aku tidak mengerti. Tuhanku mengatakan bahwa Qalb-lah yang digunakan untuk memahami. Bukankah itu tugasku, Akal? Bukankah itu yang selalu diberitakan oleh kuliah-kuliah, jurnal-jurnal, buku-buku, masyarakat, media, bahwa akal-lah yang berfungsi untuk memahami? Bukankah tuanku selalu mengandalkanku untuk memahami dunia? Apa maksud dari memahami di sini?

Ah, banyak sekali yang masih belum kumengerti.

Jika memang Qalb yang lebih mampu untuk memahami, aku ingin sekali-kali bisa bertemu dengannya. Aku akan berbincang tentang indahnya kerumitan alam dunia, bersama-sama menguak rahasia di balik keindahan itu.

Mencari Qalb

Meski telah disebutkan ayat tadi bahwa Qalb ada di dalam dada manusia, aku masih bertanya, di manakah tepatnya? Jantung? Atau paru-paru? Atau hati? Setelah aku google, masih banyak sekali perdebatan tentang tempat Qalb bersemayam. Aku masih belum cukup lihai untuk mencerna perdebatan itu.

Lalu, mengapa selama ini aku tidak bisa mendeteksi keberadaan Qalb? Apakah karena anak-anak buahku, para indra, sudah usang? Atau karena memang tuanku sengaja menyembunyikannya? Ataukah Qalb ini mati? Jangan-jangan, Qalb adalah bagian tuanku yang derajatnya lebih tinggi dari aku. Jangan-jangan, Qalb itu adalah aku sendiri!

Seperti biasa, penelitian mulai kulakukan. Aku ingin memahami kondisi yang sebenarnya. Sambil mengamati gerak-gerik tuanku, aku mencari berbagai referensi ilmu terverifikasi yang bisa diakses. Setelah mengumpulkan data-data yang dibutuhkan, dengan bantuan otak, aku merenung dan memproses semuanya dalam beberapa waktu. Akhirnya, aku berhipotesis bahwa tuanku ini terindikasi memiliki qalb yang hampir sekarat.

Segeralah aku membuat surat. Aku ingin berkomunikasi dengan Qalb.

Seiring dengan surat itu aku buat, aku menemukan beberapa titik terang. Tentang Qalb dan tentang diriku sendiri, Akal.

Oke, surat itu selesai. Ke mana ia harus kukirim? Aku perlu menyampaikannya pada alamat yang tepat. Meski masih bingung (seperti yang sudah aku ceritakan tadi), dengan bantuan logika, aku memilih untuk menitipkan surat itu kepada tuanku saja, yang juga tuannya Qalb. Apa yang akan ia lakukan dengan surat ini, terserah, aku percayakan padanya. Toh, aku tidak bisa secara langsung menjangkau Qalb, di dada tuanku.

Aku meragukan kalimat terakhir. Jangan-jangan, aku bisa berkomunikasi langsung dengan Qalb, hanya saja ia sedang tidur atau sekarat — seperti hipotesisku. Mungkin saja aku yang belum tahu dan memahami.

Lalu, kesempatan untuk menyampaikan tulisanku ke manusia secara luas itu datang.

Satu indra tuanku, penglihatan melalui mata (ia anak buahku juga), mengirimkan suatu informasi. Otak memproses informasi itu. Lalu otak memberitahuku tentang adanya kesempatan untuk membuat tulisan yang berkaitan erat denganku. Tulisan tersebut berkesempatan untuk dilihat oleh banyak manusia. Kemungkinan besar, manusia-manusia yang akan melihat ini karakternya mirip dengan tuanku.

Hm, menarik.

Memberi tahu dunia

Aku belajar lagi bagaimana caranya agar isi pesanku bisa dimengerti manusia, lalu bagaimana aku bisa menggunakan fasilitas teknologi agar tulisan ini sampai ke pihak yang akan mempublikasikan.

Meski sudah berhati-hati, aku tetap bertanya: Apakah aku pantas untuk berbicara dan menyebarluaskan ceritaku, isi pikiranku? Lagi pula aku tidak dikenal siapa-siapa, kecuali oleh tuanku. Pantaskah aku menulis jika aku tidak terkenal? Pantaskah aku untuk didengarkan?

Aku takut terjebak dengan fenomena yang sedang terjadi sekarang: matinya kepakaran. Dengan tulisan ini, bisa saja aku menjadi terkenal (meski kecil peluangnya) dan semua orang mengutip sana-sini, mempercayai isinya. Tetapi aku bukanlah akal yang setara dengan akal para pakar. Bisa saja ada kesalahan. Menyebar. Berlipat-lipat dan menjadi dosa jariyah. Aku tak ingin itu terjadi.

Baiklah. Setidaknya aku sudah berusaha untuk melakukan semua langkahku dengan benar. Aku telah melakukan research-ku. Jika memang ada kesalahan, justru itulah tugasku selanjutnya untuk terus memperbaiki diri dan terus bergerak mendekati kebenaran. Justru itulah tugas para pembaca untuk mengkritisi dan meluruskan.

Inilah surat untuk kawanku, Qalb. Semoga surat ini sampai ke tujuan. Semoga juga kalian, para anak Adam yang berakal, sudi untuk membaca.

Dan merenungkannya.

Photo by Kate Macate on Unsplash

Surat untuk Qalb

Bismillahirrahmanirrahim. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah, sumber subtansiku, semoga meridhoi surat ini.

Untuk Qalb, yang berada di dalam dada.

Assalamu’alaikum. Dear, Qalb.

Penulis surat ini adalah kawanmu yang hidup di dalam satu entitas yang sama, tuan kita: manusia. Aku tidak tahu banyak tentangmu. Ilmuku masih sangat terbatas untuk memahamimu.

Aku ingin sedikit bercerita, kiranya engkau belum mengetahui.

Tuanku

Aku adalah andalan tuanku, sejauh yang aku pahami (maaf jika itu terkesan sombong, begitulah adanya). Apa pun persoalannya, ia selalu bersandar padaku. Layaknya ia seorang raja, aku seorang perdana menteri, setiap keputusan dalam hidupnya, aku yang mengkaji, aku yang menentukan.

Tahukah engkau, Qalb, bahwa tuan kita adalah orang yang hebat? Ia bercita-cita ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi semua orang. Oleh karena itu, ia tak kenal lelah menimba ilmu. Tuan kita kini orang yang berpendidikan tinggi. Ia terus meningkatkan kapasitas dirinya, sambil memperbesar kontribusinya.

Aku sangat berterimakasih padanya, Qalb. Ia telah mengorbankan banyak hal sehingga aku, Akal, mempunyai nilai yang sangat berharga. Ia mengeluarkan uang yang tak sedikit untuk mendapatkan ilmu. Ia berhasil membuat dirinya terlihat menjanjikan, sehingga pajak negara dan rezeki orang tua turun kepadanya untuk memfasilitasi pendidikan yang mahal. Dari kecil hingga dewasa sekarang.

Kini tuanku akan kembali menimba ilmu dengan lebih intensif lagi. Aku sedang mempersiapkan diri untuk melayaninya dengan seluruh kemampuanku. Setelah beberapa bulan bersantai — tapi tetap bekerja, hari-hariku akan kembali menegangkan, layaknya menaiki roller coaster.

Tapi, Qalb, aku menemukan sesuatu aneh terjadi pada tuanku.

Keanehan

Memang banyak sekali kejadian yang menimpanya baru-baru ini. Perubahan dunia yang sangat cepat akibat pandemi virus. Perubahan pola hidupnya. Perubahan kondisi sosialnya. Perubahan mentalnya. Semua itu lama-lama menggangguku jua.

Ia terlihat sering cemas, sering mengalami kegundahan. Informasi-informasi yang ia terima, perintil-perintilan tentang dunia, membuatnya semakin diliputi keraguan.

Ia kini tak jarang memaksaku untuk memutuskan perkara tentang baik-buruk. Aku memang pandai untuk memutuskan apakah sesuatu itu benar atau salah, tapi tidak untuk baik atau buruk. Terkadang untuk suatu perkara, menurut pihak A benar, tapi menurut pihak B salah. Di sinilah aku menemukan keterbatasanku.

Aku mulai curiga bahwa ada sesuatu yang kurang dari cara tuanku menyelesaikan persoalan-persoalannya. Aku tak lagi cukup sebagai andalannya.

Aku yang selalu menggunakan logika, seringkali terjebak pada pertanyaan-pertanyaan yang menggurat keyakinan. Proses berpikir tersebut sangat rumit. Aku tak ingin membeberkannya di surat ini. Sangat menjemukan. Tapi oke, aku berikan versi sederhananya.

Produktivitas tuanku tidak karuan selama ia libur kuliah. Kadang ia sangat bersemangat untuk mengerjakan suatu hal, kadang ia enggan bahkan untuk enyah dari tempat tidurnya. Dengan gayanya yang ingin serba efisien dan efektif, tuanku bertanya padaku: Apa yang membuat produktivitas seseorang itu tinggi dan tetap stabil? Dengan pengetahuan yang ia simpan di memori dan sedikit pencarian dari sumber luar, aku menjawab dengan lugas: manajemen waktu, energi, dan fokus.

Dia lalu memperhatikan kebiasaannya — membangun sistem sedemikian sehingga target-targetnya bisa ia capai dengan baik. Habit-building, time-block, pomodoro timer, daily exercise, et cetera. Ia melaksanakan tugas sebagai seorang anak, seorang teman, seorang pelajar, seorang pemegang amanah-amanah lain. Mungkin. Itulah yang aku tangkap dengan indera.

Tapi hal itu terulang lagi, Qalb. Hari-harinya menemui titik-titik kelam. Setelah berkali-kali mengalami siklus naik-turun, ia kembali bertanya padaku, dengan nada yang lebih menyedihkan: Apakah memang ini yang Tuhan mau? Mengapa aku selalu diliputi rasa bersalah dan ketidaktenangan? Apa yang kurang?

Aku tidak bisa menjawab, Qalb. Tidak ada jawaban logis yang bisa aku berikat. Aku malah bertanya balik pada tuanku. Kenapa kamu bisa merasakan itu? Dari mana rasa itu ada? Kenapa kamu malah mencurigai Tuhan? Kenapa kamu bertanya tentang kehendak Tuhan?

Ah, Qalb.

Dari situ ia teringat. Aku pun teringat.

Kita punya Tuhan

Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Beruntunglah tuanku masih mengingat-Nya. Beruntunglah ia masih bertauhid. Beruntunglah dia, dengan menggunakanku saja, Akal, dapat memberikan kesimpulan bahwa Tuhan itu ada. Dan untung juga, Tuhan yang ia temui adalah Allah Azza Wajalla, Tuhan yang Islam kenalkan.

Bagaimana caranya ia bisa tiba-tiba ingat, ya? Apakah kau bisa menjawab, Qalb?

Lalu, aku memberi saran sederhana pada tuanku. Jika memang ia masih mempercayai Allah itu Maha Kuasa, Maha Menolong, Maha Menyayangi, maka bertanyalah pada-Nya. Jika memang Ia menyayangi hamba-Nya, tentu Ia menyayangi tuanku, kan?

Ia pun kembali melirik kalam-Nya — yang sudah lama ia suarakan dengan irama yang indah; yang dulu, tak pernah menyuruhku untuk memahami isinya.

Dari situlah aku mulai mengenalmu.

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka) Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati (qalb), tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami.“ — Q.S. al-A’raf [7]: 179

“Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah qalb yang di dalam dada. “ — Q.S. al-Hajj [22]: 46

“Orang-orang Arab itu berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk, karena Al-Iman itu belum masuk ke dalam qalb-mu…” — Q.S. Al-Hujuraat [49]: 14

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada qalb-nya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” — Q.S. At-Taghaabun [64]: 11

“Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an ataukah qalb-qalb mereka terkunci? “ — Q.S. Muhammad [47]: 24

“Kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu qalb-nya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. “ — Q.S. Az-Zumar [39]: 22

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya “raan” itu menutupi qalb mereka.“ — Q.S. Al-Muthaffifin [83]: 14

Qalb untuk memahami. Qalb yang buta. Iman yang belum masuk ke dalam qalb. Petunjuk pada Qalb. Qalb yang terkunci. Qalb yang membatu untuk mengingat Allah. “Raan” yang menutupi Qalb. Apa arti semua ini?

Tuanku berdiam lama setelah membacanya. Ia terlihat berpikir keras. Sejak kapan ia berpikir tanpa aku, Sang Akal?

Aku pun mulai mencari sendiri.

Pencarian

Anehnya (lagi), dalam pencarian kali ini, ada sesuatu yang berbeda, Qalb. Seperti ada suatu yang secara halus menuntunku pada kebenaran.

Aku mencoba mendalami berbagai tulisan. Aku menemukan suatu kumpulan empat sekawan, empat elemen yang mendefinisikan manusia.

Soul/jiwa, nafs. — Spirit, ruh — Reason/akal, ‘aql — Heart/jantung, qalb.

Kuceritakan saja apa yang telah kubaca.

Nafs. Sesuatu yang menjadikan manusia hidup. Sesuatu yang bergerak selalu. Bahkan ketika manusia tidur. Al Ammarah bi suu’, sifat jiwa yang suka menyuruh kepada keburukan. Lawwamah, sifat jiwa yang suka menyesali diri. Muthmainnah, sifat jiwa yang memperoleh ketenangan.

Ruh. Sesuatu yang menempel pada jantung, yang mengalirkan kehidupan ke seluruh tubuh yang sebelumnya mati, seperti cahaya. Sesuatu yang tidak bisa diteliti ataupun dipertanyakan lagi selain apa yang telah Allah katakan.

‘Aql. Aku sendiri. Dibanding yang lain, aku tidak bisa ditunjuk sebagai “sesuatu”. Karena aku hanyalah suatu fungsi, kata kerja ya’qilu. Tidak ada al-’aql, aku bukanlah benda. Barangkali bahkan tidak pantas untuk merujuk sebagai “aku”.

Apa itu artinya, surat ini adalah suatu kebohongan? Tidak.

Ssst. Sebenarnya aku curiga, bahwa aku adalah tuanku yang malu-malu untuk bersuara, di tengah krisisnya. Karena bagaimana caranya akal yang merupakan suatu fungsi bisa memiliki keingingan dan harapan?

Membingungkan ya? Aku juga bingung.

Aku adalah sarana untuk meperoleh pengetahuan. Tetapi aku juga dikaitkan dengan kata “mengikat”, “mencegah”, “menahan”, “melarang”. Manusia yang berakal (al-‘aaqil) adalah manusia yang mengekang dirinya dan menolak keinginan hawa nafsunya, dari nafs, atas dasar ilmu yang dimilikinya.

Apakah semua itu membuatmu pusing, Qalb? Karena bagiku yang baru mempelajari semua ini, ya, membuat pusing.

Dan terakhir, tentang engkau, qalb. Engkau dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai daging yang bersuhu panas berbentuk kusam berada di sisi sebelah kiri dada, di dalam isinya ada rongga yang berisi darah hitam sekali.

Apakah itu jantung? Jantung sebagai pusat kehidupan. Apakah engkau pusat dari tuan kita, Qalb?

Mari kita lanjutkan pencarian.

Engkau adalah tempatnya ruh bersemayam. Mulia sekali.

Engkau pun memiliki fungsi akal.

Hah?

Aku, adalah fungsi darimu?

Aku paham.

Aku ingat. Qalb untuk memahami. Petunjuk pada Qalb.

Kemudian: Qalb yang buta. Qalb yang terkunci. Iman yang belum masuk ke dalam qalb. Qalb yang membatu untuk mengingat Allah.

Jikalau keanehan pada tuanku disebabkan oleh engkau, Qalb, yang buta dan terkunci, apakah berarti sumber masalahnya adalah belum masuknya iman kepadamu, Qalb? Apakah itu karena sedikit sekali usaha yang tuanku lakukan untuk mengingat Tuhanya? Apakah karena ibadahnya — meski ia laksanakan dengan lengkap — tak pernah ia resapi atau renungkan sedikitpun?

Tapi, bagaimana caranya engkau bisa membatu sehingga mengingat Allah saja tak mampu?

“Raan” yang menutupi Qalb.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya seperti ini.

“Seorang hamba apabila melakukan suatu dosa, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar-raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya ar-raan itu menutupi qalb mereka.” — H.R. At-Tirmidzi

Ya. Titik hitam, noktah itu, adalah dosa.

Seram sekali menanyakan tentang hal ini: Apa kabar dosa tuanku?

Kita tahu, ia kita terus melakukan dosa. Sebenarnya, siapapun terus melakukan dosa. Selama seorang manusia hidup, sebesar apa dosa itu jika diakumulasikan — jika tak dibersihkan?

“Apabila ia meninggalkan sebuah dosa dan meminta ampun serta bertaubat, maka qalb-nya dibersihkan” — H.R. At-Tirmidzi

Ah, menanggalkan dosa. Menghentikannya, menjauhinya. Bertobat. Tidak lagi mengulangi. Masuk akal. Itulah seharusnya yang ia lakukan, bukan?

Ya, akan kupastikan logika ini terus terpatri dalam benaknya.

Tetapi, aku jadi khawatir. Bagaimana dengan keadaanmu, Qalb? Jika semua spekulasiku di atas benar, berarti engkau sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Aku pikir engkau belum mati, karena baru saja, tuan kita mengingat akan adanya Allah, Rabbnya.

Ya, mungkin engkau hampir sekarat.

Baiklah, surat ini sudah terlalu panjang. Aku menikmati proses dalam membuat surat ini, Qalb. Semoga engkau bisa segera membalas dan membawa kabar yang membahagiakan, bahwa engkau sehat dan baik-baik saja.

Wassalam, Akal.

Referensi

Al-Qur’anul Karim.

Cholik, Ahmad. (2015). Relasi Akal dan Hati menurut al-Ghazali. KALIMAH. 13. 287. 10.21111/klm.v13i2.290.

Dinar Dewi Kania, Konsep Aql dan Qalb dalam Perspektif Islam (1), https://insists.id/konsep-aql-dan-qalb-dalam-perspektif-islam-1/. Diakses pada 21 Agustus 2020.

Dinar Dewi Kania, Konsep Aql dan Qalb dalam Perspektif Islam (2), https://insists.id/konsep-aql-dan-qalb-dalam-perspektif-islam-2/. Diakses pada 21 Agustus 2020.

Nashih Nashrullah, 3 Macam Nafsu Manusia yang Diabadikan dalam Alquran. https://republika.co.id/berita/q4hphf320/3-macam-nafsu-manusia-yang-diabadikan-dalam-alquran. Diakses pada 21 Agustus 2020.

____, Fungsi Qalb, https://www.qudusiyah.org/id/ajaran/qalb/. Diakses pada 21 Agustus 2020.

--

--